Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Risiko Memakai Dana Jaminan Hari Tua untuk Proyek 3 Juta Rumah

Pemerintah akan memakai saldo Jaminan Hari Tua untuk membiayai program 3 juta rumah. Godaan kebijakan populis.

6 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah akan memakai dana jaminan hari tua untuk membiayai program 3 juta rumah.

  • Pemakaian dana JHT di BPS Ketenagakerjaan ini membuka peluang penyalahgunaan wewenang pemerintah terhadap hak publik.

  • Dana JHT merupakan penyangga terakhir para pekerja setelah pensiun.

PEMERINTAH mesti mengkaji ulang rencananya menggunakan saldo Jaminan Hari Tua (JHT) demi merealisasi program ambisius penyediaan 3 juta rumah setiap tahun. Sebab, pemakaian dana tersebut mengkhianati tujuan penyelenggaraan asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk mendorong terciptanya saldo Jaminan Hari Tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabinet Presiden Prabowo Subianto tengah bersiap menjalankan program pengadaan jutaan rumah pada 2025. Penyediaan 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta rumah di perkotaan seperti yang dijanjikan saat kampanye lalu membutuhkan dana Rp 53,6 triliun. Adapun alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 hanya Rp 5,27 triliun. Ketimpangan tersebut akan ditambal dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang terus meningkat mencapai Rp 776,8 triliun per September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo sempat mengungkapkan rencana kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk membuka opsi bagi masyarakat memanfaatkan saldo JHT guna memperoleh rumah. Selanjutnya, pemerintah berencana menempatkan dana saldo tersebut ke bank sebagai uang muka.

Suka-suka memakai dana saldo Jaminan Hari Tua menggambarkan para menteri di Kabinet Merah Putih hanya mementingkan bagaimana merealisasi program kerja populis junjungannya. Mereka mengabaikan fungsi mendasar dari pemotongan upah para pekerja untuk hari tua.

Dana yang terhimpun BPJS itu seharusnya menjadi "penyangga terakhir" bagi pekerja pada masa tua ketika kemampuan kerja menurun atau berhenti sepenuhnya. Atau saat pekerja pensiun atau tidak lagi memiliki penghasilan tetap, mereka masih memiliki cadangan dana untuk membiayai hidup.

Pemerintah juga melupakan saldo JHT mayoritas milik masyarakat berpenghasilan rendah dan nilainya relatif kecil. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, rata-rata saldo JHT peserta aktif pada 2024 berkisar Rp 10-20 juta. Akibatnya, pekerja mungkin masih harus mengambil pinjaman tambahan untuk menutup kekurangan uang muka rumah dan pembayaran cicilan kredit yang menyusul kemudian.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait yang sedang mati-matian memuaskan ambisi Presiden seharusnya menyadari bahwa urusan perumahan bukan hanya soal ketersediaan, melainkan juga harus ada kebutuhan. Misalnya di daerah mana saja kekurangan hunian (backlog) tertinggi. Perumahan yang dibangun hanya berdasarkan ketersediaan lahan, atau mengandalkan hitung-hitungan ekonomis pengembang agar rumah bisa dijual murah, berpotensi memicu persoalan lain, seperti beban baru biaya transportasi.

Persoalan lain yang bisa muncul adalah perumahan menjadi telantar karena tak ditempati. Atau bisa juga melahirkan praktik lain di luar tujuannya, seperti unit hunian diperjualbelikan kembali atau jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Pengalaman dari program sejuta rumah era Presiden Joko Widodo dan program DP nol rupiah di Jakarta dalam skala yang lebih kecil bisa ditarik pelajaran karena ujung-ujungnya beban pekerja dan data backlog perumahan tak berkurang. Sebaliknya, dari data yang ada, malah menunjukkan kenaikan backlog perumahan dari 11,4 juta pada 2015 menjadi 12,7 juta pada 2023.

Secara keseluruhan, rencana pemerintah menarik dana Jaminan Hari Tua memberikan edukasi buruk dalam pengelolaan keuangan jangka panjang. Selain itu, rencana tersebut membangkitkan kembali trauma atas korupsi dalam pengelolaan dana publik. Moral hazard penyalahgunaan dana JHT senilai ratusan triliun rupiah itu jelas sangat besar di tengah indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih stagnan di level terburuk sepanjang satu dekade belakangan.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus