BANGUNAN beton di bawah tanah istana presiden di Baghdad, di tempat Saddam Hussein harus bersembunyi, mungkin akan merupakan tempat tinggalnya terakhir di Baghdad. Bangunan di bawah tanah ini, yang konon bisa menghidupi 25 penghuni selama satu tahun, adalah sebuah simbol. Satu tempat yang sempit, tertutup, dan terisolasi dari ide-ide dunia luar. Itulah dunia Saddam Hussein. Itulah dunia yang dikenalnya, dan yang tak pernah berubah sejak dia keluar dari Tikrit, kota kelahirannya, yang terpencil di padang pasir Irak. Bagi siapa pun, padang pasir adalah tempat yang ganas buat hidup, penuh ancaman dan bahaya. Insting untuk mempertahankan hidup terus di padang pasir dengan gampang akan membentuk watak keras, selalu waspada dan curiga. Nilai-nilai hidup yang dianut Saddam tentunya tidak saja dibentuk oleh kultur padang pasir. Saddam Hussein, yang bapaknya meninggal beberapa hari sebelum dia lahir pada 1937 di Tikrit, sejak kecil dipiara oleh pamannya, Khoir Allah Talfah. Dan Talfah, sang paman, memang bukan tokoh sembarang. Dia merupakan salah satu tokoh penting dari gerakan Rashid Ali, gerakan nasionalis yang sangat anti-Barat, dan pro-Nazi. Usaha kudetanya terhadap pemerintahan kolonial Inggris di Irak di awal Perang Dunia Kedua sempat mengundang tentara Jerman ke Baghdad, yang akhirnya bisa dihancurkan Inggris. Talfah harus masuk penjara. Tapi kebenciannya terhadap Barat dan nasionalisme Arabnya yang membara sempat diwariskan kepada keponakannya. Dan kalau sang paman sempat bercumbu dengan ideologi Nazi, bisa terbayang kultur politik yang lalu diserap oleh keponakannya. Inilah suatu kultur yang mengajarkan Saddam Hussein, bahwa setiap interaksi politik harus diakhiri dengan berdarah. Pada umur 19 tahun, Saddam direkrut Partai Baath, partai yang didirikan oleh sekelompok intelektual Syria di Paris pada 1930-an, yang memimpikan satu nasion Arab yang kuat, lewat pem- baruan. Bahwa kemudian partai ini berkembang menjadi partai yang militan, mungkin hal itu di luar bayangan para pendirinya. Saddam untuk pertama kalinya berkenalan dengan pembunuhan politik, ketika dia menghabisi rivalnya, tokoh Baath setempat di Tikrit. Usahanya untuk melakukan kudeta dan membunuh Perdana Menteri Abdul Karim Kasim di jalan raya Baghdad pada 1959 gagal. Sambil luka parah, Saddam berhasil lari ke Kairo. Dari sana dia memimpin Partai Baath di bawah tanah. Jalan panjang yang mengantar Saddam Hussein ke kekuasaan mutlak di Baghdad dua puluh tahun kemudian merupakan jalan berdarah, setelah ratusan lawan politiknya ditangkap dan dieksekusi. Saddam menjadi seorang tiran yang tak tertandingi di negeri Mesopotamia, suatu lembah subur yang dikelilingi Sungai Eufrat dan Tigris, tempat manusia untuk pertama kalinya bercocok tanam empat ribu tahun lalu. Tapi, di bawah Saddam, negeri subur ini harus mengimpor 90% makanannya dari luar. Negeri Saddam juga dikaruniai sumber minyak yang melimpah. Tapi dengan karunia minyak tiga juta barel sehari ini, Saddam Hussein tidak bisa menjadikan Irak sebuah macan ekonomi. Tapi dengan menghabiskan sebagian besar penghasilan minyak buat membeli segala macam senjata yang tangguh, Saddam telah menjadikan negerinya seekor singa yang siap menerkam siapa saja. Pengaruh Talfah yang militan masih belum terkikis dari Baghdad. Salah satu tulisan Tal- fah yang sempat diterbitkan di Baghdad pada 1981 berjudul: "Tiga Golongan Yang Seharusnya Tidak Diciptakan Tuhan: Orang Persia, Yahudi, dan Lalat". Selama pengasingannya di Kairo, Saddam sangat terpesona dan kagum terhadap Jamal Abdul Nasser, pemimpin Mesir yang penuh karisma. Nasser, yang sangat nasionalis, anti-Barat, dan anti-Israel, baru saja memperoleh kemenangan politik yang luar biasa dengan nasionalisasi Terusan Suez. Aksi militer Inggris dan Prancis pada 1956 telah gagal mematahkan perlawanan Mesir. Nasser merupakan kebanggaan Arab, dan seluruh dunia Arab berdiri di belakang Nsser. "Dengan bermukimnya Saddam di Kairo, pengaruh Nasser menjadi terpaku rapat pada diri Saddam Hussein," tulis Daniel Yergin dalam bukunya The Prize. Tapi impian Nasser tak pernah terlaksana. Dalam satu gebrakan pada 6 Juni 1967, pesawat-pesawat Israel menghantam Kairo dan menghancurkan angkatan udara Mesir. Satu kekalahan yang pahit bagi Nasser, dan sampai akhir hayatnya, dia tak melihat satu pun bom Mesir jatuh di Israel. Nasser meninggal dengan getir, dengan impian yang terputus. Tapi impiannya adalah impian dunia Arab, dan juga masih impian Saddam Hussein. Nasser belum ada duanya sampai sekarang. Tapi Saddam melihat bahwa dunia Arab perlu seorang Nasser kedua. Dia melihat dirinya berpeluang paling besar untuk memakai mantel Nasser. Dan sebagian rakyat Arab memang sudah menyamakan Saddam dengan Nasser. Nasser dengan gigi. Beberapa rudal Scud Irak sudah meledak di Israel. Dan apa yang lebih menggelegar di hati jutaan orang Arab daripada melihat meledaknya peluru kendali Arab di jantung tanah orang Yahudi itu? Akan berhasilkah Saddam Hussein menjadi Nasser kedua? "Usaha Saddam Hussein untuk menjadi Nasser kedua akan gagal," tulis Fouad Ajami, ahli Timur Tengah dari Universitas John Hopkin di Foreign Affairs baru-baru ini. "Cara yang digunakan Saddam Hussein terlalu kasar dan kejam. Baghdad bukanlah Kairo. Kairo adalah metropolis, yang berbudaya. Tapi apa yang diberikan Baghdad? Pelajaran bagaimana melakukan kudeta berdarah di jalan raya." Tapi, sebagaimana perkembangan politik dan ekonomi di bagian dunia lain telah menciptakan dikotomi, kali ini hal serupa juga dialami dunia Arab. Mereka kini terpecah manjadi Arab Utara (Arab al-Shimal), yang penuh sesak dengan penduduk dan miskin, dan frustrasi, dan Arab Selatan (Arab al-Khalij), yang kaya dan jarang berpenduduk. Bagi Arab Selatan, Saddam Hussein mungkin sudah tidak relevan. Tapi bagi massa penduduk yang miskin di Arab Utara, dia masih merupakan simbol dan impian. Kenyataan ini akan mendorong Saddam untuk terus menerapkan nilai-nilai dunianya sendiri. Sebuah dunia yang tidak diikat oleh berbagai konvensi yang konvensional. Sebuah dunia yang menganggap perusakan lingkungan penggunaan senjata kimia, dan gas beracun sebagai sesuatu yang rutin. Sebuah dunia yang diatur oleh suatu konvensi: bahwa untuk mencapai suatu tujuan, semua cara yang digunakan adalah halal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini