Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sahkan Aturan Perlindungan Perempuan

RENCANA Dewan Perwakilan Rakyat mencabut Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, memperlihatan ketidakpedulian para wakil rakyat kepada persoalan masyarakat.

3 Juli 2020 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam acara peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) 2020 di Hotel Mercure, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 6 Maret 2020. TEMPO/Putri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA Dewan Perwakilan Rakyat mencabut Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, memperlihatan ketidakpedulian para wakil rakyat kepada persoalan masyarakat. Rancangan ini sudah diajukan sejak 2007. Sekarang, tiba-tiba, DPR mengatakan mengalami kesulitan membahasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU PKS penting untuk segera disahkan karena memuat perlindungan terhadap perempuan, yang tidak diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan ini mengatur pidana atas berbagai jenis kekerasan seperti: perbudakan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk mengenai pencegahaan kekerasan seksual. DPR mesti menyadari, membatalkan pembahasaan RRU ini sama artinya dengan menimpakan tangga ke atas korban kekerasan seksual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat penegakan hukum yang lemah, seperti yang ditunjukkan dalam data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, setiap tahun rata-rata hanya 10 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Setengah dari itu berlanjut hingga pengadilan. Tapi cuma sekitar 3 persen yang pelakunya divonis bersalah. Tak heran kekerasan seksual meningkat rata-rata 13 persen setiap tahun.

Pernyataan Komisi VIII DPR yang membidangi agama, sosial dan penanggulan bencana, bahwa pembahasaan RUU PKS mesti ditunda karena masih banyak perdebatan, amat mengada-ada. Semua RUU memang harus dievaluasi dan diperdebatkan oleh Dewan maupun publik sebelum disyahkan. Aneh kalau yang ini dianggap menyulitkan sementara yang lain malah bisa selesai dalam hitungan hari.

Sebagai contoh, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September tahun lalu selesai hanya dalam 12 hari sejak pembahasan hingga pengesahan. Padahal publik menolak keras rencana revisi tersebut. Demonstrasi besar terjadi di mana-mana hingga lima orang meninggal akibat kekerasan aparat.

Pembahasan RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga tergolong cepat. Pada Mei 2020, di tengah masyarakat berjibaku melawan pandemi virus Corona baru, rapat paripurna DRP mengesahkannya menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Meskipun, UU ini sepenuhnya untuk kepentingan pengusaha tambang. Antara lain, pasal sisipan 169A menjamin perpanjangan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara tanpa lelang.

Apakah karena ada kepentingan politik dan bisnis yang kuat sehingga UU KPK dan Minerba segera disahkan? Wallahualam. Ironisnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tenang-tenang saja. Padahal melindungi perempuan dan anak-anak yang adalah korban utama kekerasan seksual merupakan tugas utama mereka.

Korban kekerasan seksual adalah juga warga negara yang wajib dilindungi. Karena itu DPR justru harus segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bukan membatalkan pembahasannya. Jangan sampai hak mereka atas keadilan dan perlindungan hukum oleh negara kalah oleh tawar-menawar bisnis dan politik.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus