Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Salah Kaprah Mengatasi Ketimpangan

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada jalan pintas untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan. Problem ketimpangan tak selalu bisa diatasi oleh mekanisme pasar dan karena itu harus ada intervensi dari pengelola negara. Namun, agar berhasil, intervensi itu harus dilakukan dengan konsisten dan berpegang pada akal sehat ekonomi.

Yang kini tampak adalah sebaliknya: pemerintah Joko Widodo masuk ke langgam populisme yang dianggap bisa menjadi jalan pintas. Saat ini, pemerintah berfokus pada solusi populer jangka pendek: membagi-bagi bantuan alias subsidi. Dengan ongkos yang besar, program semacam ini sesungguhnya tidak efektif mempersempit jurang kesenjangan.

Program jaminan kesejahteraan sosial tentu penting dan harus dikembangkan. Namun mengupayakan sistem jaminan sosial tidaklah sama dengan mengatasi kesenjangan. Apalagi jika model jaminan sosial itu sekadar bagi-bagi kartu subsidi.

Pemberian bantuan memang dapat memperbaiki indeks Gini, indikator tingkat ketimpangan. Tapi bantuan atau subsidi tidak akan memperbaiki indeks Gini secara signifikan dan permanen. Ada dua alasan. Pertama, penerima bantuan yang taraf hidupnya naik menjadi tidak miskin sebetulnya masih berada di area rentan, yang setiap saat dapat jatuh miskin kembali. Ini terjadi karena bantuan itu sesungguhnya tidak menaikkan produktivitas, tapi sekadar daya beli, yang sejatinya pun tak besar. Diguncang sedikit inflasi atau perubahan kebijakan karena keterbatasan anggaran, penerima bantuan itu dapat terempas kembali ke bawah garis kemiskinan.

Kedua, perbaikan sedikit daya beli itu hanya memperbaiki indeks Gini berdasarkan kesenjangan konsumsi. Statistik ini berbeda secara hakiki dengan kesenjangan pendapatan atau dengan-yang lebih mendasar-kesenjangan kekayaan. Walhasil, perbaikan itu lebih bernuansa permainan statistik-jalan pintas yang sayangnya disukai politikus untuk memulas wajah mereka menjelang pemilihan umum.

Kesenjangan kesejahteraan seharusnya diatasi dengan mendorong transformasi ekonomi yang lebih struktural: menciptakan pertumbuhan berkualitas berbasis industri. Program ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan tersebut sayangnya kurang populer karena dianggap membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin rudin. Padahal letak kesalahannya bukanlah pada pertumbuhan itu sendiri, melainkan pada sifat pertumbuhan seperti apa yang hendak kita capai.

Sejak Orde Baru, pertumbuhan ekonomi di Indonesia memang belum mampu menyejahterakan orang ramai. Maklum, mesin pertumbuhan Indonesia masih bergantung pada ekspor sumber alam. Model pertumbuhan seperti ini celakanya justru menciptakan ketimpangan lebih dalam. Distribusi nilai tambah lebih terpusat di tangan pemilik modal. Daya ungkitnya untuk menggulirkan ekonomi, terutama ekonomi lokal, tidak maksimal karena rantai pemasok yang relatif pendek dan umumnya berasal dari luar daerah atau bahkan impor.

Maka pemerintah harus mengupayakan pertumbuhan yang menyejahterakan lewat investasi riil seluas-luasnya di berbagai bidang industri. Misalnya penghiliran produk hasil alam, termasuk pertanian dan perkebunan, bahan baku, kimia, hingga barang elektronik dan otomotif. Industrialisasi yang sehat, di berbagai sektor dan wilayah, membutuhkan pekerja yang lebih terampil dan produktif. Artinya, akan ada upah yang lebih besar kepada buruh.

Industri yang sehat juga akan memunculkan rantai pasokan yang panjang dan menciptakan nilai tambah di segala lapisan. Akibatnya akan terjadi perbaikan kesejahteraan dan pengurangan kesenjangan yang bergulir tanpa henti. Hasil industri juga dapat menjadi substitusi impor, bahkan diekspor, sehingga mengobati defisit transaksi berjalan yang sudah akut sejak 2011.

Investasi yang masif baru datang jika iklim berusaha benar-benar nyaman bagi pengusaha di semua kelas dan asal-usul. Apa mau dikata, belakangan ini arah kebijakan ekonomi justru semakin menyurutkan niat pengusaha mengembangkan bisnis. Sekadar contoh: regulasi perburuhan yang sangat ketat, pajak yang semakin agresif meski ekonomi sedang sulit. Regulasi dengan semangat anti-asing menguat, sementara badan usaha milik negara semakin mendominasi berbagai proyek pemerintah.

Kebijakan ini tak banyak berfaedah terhadap perbaikan rasio Gini. Jika tak diatasi, dalam jangka menengah dan panjang, bukan tak mungkin solusi ekonomi jalan pintas ini justru akan menjerumuskan Indonesia ke jurang ketimpangan yang semakin dalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus