Hampir semua tulisan pada Rubrik Komentar TEMPO, 25 Juli 1992, mencerminkan keresahan terhadap UU Lalu Lintas yang baru. Kenapa resah? Padahal semua ahli hukum sepakat menyatakan bahwa hukum tersebut bertujuan untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat, bukan sebaliknya. Ditilik dari sudut yuridis, psikologis, dan sosiologi, undang-undang itu sebetulnya melindungi rakyat kecilsi pemakai jalan dari kebrutalan para pengemudi yang brutal dan sekaligus melindungi pengemudi dari perbuatan melanggar hukum. Jadi, apa yang diresahkan masyarakat itu adalah undang-undang yang melindungi segenap masyarakat. Maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman, harus memberi penjelasan melalui media cetak atau media elektronika agar masyarakat tidak ngeri menghadapi Undang-Undang Lalu Lintas yang baru itu. Selama ini banyak masyarakat mengira bila tak punya atau lupa membawa SIM, hakim langsung menghukum denda Rp 6 juta dan hukuman penjara enam bulan. Inilah yang harus dijelaskan pemerintah. Sanksi tersebut adalah sanksimaksimal. Belum tentu seorang hakim langsung memutuskan hukuman maksimal terhadap si pelanggar lalu lintas. Pasti dilihatnya dulu kualitas dan jenis pelanggaran sesuai dengan rasa keadilan yang dipertimbangkan hakim. Hakim bisa saja memvonis seseorang yang lupa membawa SIM dengan sekadar memperingatkan atau denda Rp 25 ribu, bukan Rp 6 juta. Kecuali bila pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan. Misalnya, seorang pengemudi bus tidak punya SIM, lalu membawa bus ugal-ugalan sehingga mengakibatkan puluhan orang tewas. Hakim tentu memvonis dengan hukumanmaksimal. Inilah yang harus dijelaskan oleh pemerintah karena tidak semua masyarakat mengerti cara hakim kita mengadili perkara. Namun yang lebih penting lagi dipikirkan oleh pemerintah adalah membuat peraturan pelaksanaan untuk menjalankan denda tersebut -- karena UU Lalu Lintas yang baru itu akan impoten tanpa peraturan pelaksanaan itu. Saya sarankan agar dalam penyusunan PP, proses hukum untuk menangani pelanggaran lalu lintas ini persis dengan tilang: dari kepolisian langsung ditangani hakim, sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan murah. Jadi, takperlu lagi lewat jaksa yang dapat membuat lambannya acara. Polisi hanya berhak menahan surat-surat dan tidak berhak menahan kendaraan kecuali ada unsurkejahatan dan sebagainya. Dalam hal ini kita boleh apriori pada polisi. Sebab pada hakikatnya polisi banyak membantu masyarakat. DJAMIK ASMUR, SH Jalan Sei Gerong 131 Batupahat Lhoks eumawe Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini