Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM bulan sudah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) bekerja. Sudah 11 kasus ditangani, 145 kasus pengaduan masyarakat diusut, dan tiga orang pejabat negara dijadikan tersangka. Kendati begitu, terlalu pagi untuk mengatakan komisi itu sudah maju selangkah lagi dalam memberantas pencurian uang negara. Apalagi, dalam kasus korupsi dengan tersangka Abdullah Puteh, Gubernur Aceh merangkap penguasa darurat sipil di wilayah konflik itu, terasa sekali kerja KPK berjalan kurang mulus?kalau tidak bisa dikatakan tersendat-sendat. KPK dan birokrasi pemerintah kelihatannya belum "mendayung perahu" ke arah yang sama.
Seperti telah diberitakan, Abdullah Puteh diduga terlibat praktek penggelembungan harga dalam pembelian helikopter Pemerintah Daerah Aceh. Pekan yang lalu, KPK menetapkan Puteh sebagai tersangka. Ada satu kasus lagi yang menimpa Puteh, ia diduga melakukan korupsi dalam pengadaan genset di wilayahnya. Kasusnya sekarang ditangani Markas Besar Polisi.
Ketika Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengirim surat kepada KPK yang meminta agar jadwal pemeriksaan Puteh diatur agar tidak mengganggu tugasnya sebagai gubernur, ada berbagai penafsiran yang segera timbul. Ada tafsir yang mengatakan surat Hari Sabarno, yang saat ini merangkap jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim, merupakan intervensi terhadap kerja KPK. Tafsir yang lain, itu surat dinas biasa saja dari seorang atasan yang ingin kerja anak buahnya di daerah tidak terhalang pemeriksaan KPK.
Jika ingin kerja Abdullah Puteh tidak terganggu, sedangkan di sisi lain KPK juga butuh banyak waktu untuk memeriksa Puteh, soalnya kemudian mana yang harus didahulukan dan siapa yang menentukan. Kalau ucapan Presiden Megawati dalam acara debat calon presiden pekan lalu bisa dijadikan pegangan, kelihatannya prioritas pemerintah memang pada pemberantasan korupsi. Seandainya semua sepakat presiden adalah penentu kebijakan di negeri ini, seharusnya tidak ada lagi keraguan tentang kasus ini. Prioritas ada pada memeriksa Puteh sampai tuntas, dan tugasnya sebagai gubernur dan sekaligus penguasa darurat sipil bisa dipikirkan setelah prioritas yang pertama dikerjakan.
Namun, sebenarnya KPK tidak perlu larut dalam tarik-menarik kepentingan birokrasi itu. Komisi ini seharusnya dengan keyakinan bulat melakukan langkah-langkah yang penting diambil sesuai dengan kewenangan yang dipunyainya?diatur dalam Undang-Undang Nomor 30/2002. KPK bisa memerintahkan atasan Puteh agar memberhentikan sementara sang Gubernur Aceh supaya pemeriksaan berjalan intensif. Dalam hal ini, jika dipandang perlu, KPK boleh saja segera mengirim surat kepada presiden untuk pemberhentian sementara itu, tanpa perlu menunggu sampai pemeriksaan selesai.
Jika intensifnya pemeriksaan atas Puteh yang jadi kebutuhan utama KPK, malah seharusnya surat kepada presiden tersebut secepat-cepatnya diajukan. Sebab, proses setelah surat dikirim itu tidaklah sederhana dan pasti memakan banyak waktu. Tanpa surat itu, presiden hanya akan memberhentikan sementara Puteh jika ada usulan dari DPRD Aceh, padahal lembaga ini belum juga bersuara bulat untuk menonaktifkannya, walaupun beberapa kelompok masyarakat menghendaki Puteh turun panggung sementara.
Kesulitan dari sisi birokrasi dan percaturan politik tersebut hanya satu bagian. Kesulitan yang lain akan datang dari ketidaksiapan perangkat hukum pemberantasan korupsi ini. Hakim-hakim ad hoc korupsi yang akan menyidangkan kasus-kasus yang diusut KPK belum lagi dilantik oleh Mahkamah Agung. Jumlahnya pun baru sembilan orang?dari 16 orang yang dibutuhkan.
Apa pun, KPK tidak harus surut akibat segala kesulitan ini. Jika KPK surut, mundur, dan perlahan hilang dari ingatan, entah cara apa lagi yang diperlukan untuk menyiangi korupsi di negeri ini. Karena itu KPK perlu terus didorong maju dan justru pejabat-pejabat yang menghalanginya yang harus mundur, atau diundurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo