Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sensasi Baru Orang Kota

Paling tidak ini sebuah kemajuan, di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, dan kehidupan politik yang masih begitu-begitu saja.

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Sensasi Baru Orang Kota
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

AYO bicara yang santai-santai, mumpung musim libur sekolah dan musim cuti orang kantoran tiba. Misalnya tentang spa. Ya, kenapa tidak. Solus per aqua alias perawatan dengan air, yang berawal dari kebiasaan penduduk di perbukitan Liege, Belgia, pada abad ke-16, sudah menjadi ikon baru terapi kebugaran di kota-kota besar Indonesia. Dari sekadar berendam di kolam air panas, berbagai variasi muncul dengan suburnya. Orang kini mengenal mandi Korea di Jakarta.

Yang berkembang bukan hanya variasinya, melainkan juga fungsinya. Orang tak hanya bicara tentang perawatan kesehatan. Di spa mereka bercengkerama, membentuk komunitas, menggelar arisan, bahkan berpesta. Sebuah gaya hidup baru telah lahir. Kaum urban menemukan bahasa baru dalam pergaulan mereka: spa.

Boleh jadi ini semacam tempat pelarian. Orang kota perlu sejenak waktu berleha-leha mengelakkan rutinitas, polusi kota, persaingan bisnis, atau terbatasnya ruang terbuka di antara impitan beton gedung pencakar langit. Mereka perlu jeda yang cukup demi merawat kesehatan raga dan kenyamanan jiwa.

Mungkin itu sebabnya spa menjamur, jumlahnya berlipat-lipat dalam lima tahun terakhir. Paling tidak ini sebuah kemajuan, di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, dan kehidupan politik yang masih begitu-begitu saja. Tidak perlu berpikir negatif dengan merebaknya spa di hotel berbintang, butik eksklusif, sampai di tempat seperti rumah toko alias ruko. Anggaplah ini bagian dari tren dunia global yang cepat atau lambat akan mendarat juga di sini.

Sudah barang tentu tak semua kita bisa menikmati spa. Merogoh Rp 200 ribu sampai Rp 1 juta sekadar untuk bernikmat-nikmat dipijat atau dilulur masih merupakan kebiasaan teramat mahal bagi kebanyakan warga kota. Maka, wajar saja kalau ada yang menganggap spa merupakan bagian dari snobisme dan kegenitan orang kota. Boleh saja berpandangan spa adalah cara orang kota meninggikan statusnya. Tapi mereka yang suka berendam di jacuzzi atau mandi lumuran cokelat tak bisa disalahkan. Ini soal gaya hidup dan selera yang tak bisa diperdebatkan, dan tentu saja soal kemampuan membayar.

Dari orang-orang kota yang rela membayar itulah mengalir bisnis yang menghidupi banyak orang. Dari sekitar 1.300 spa yang ada sekarang di sini, sudah pasti ribuan tenaga kerja terserap. Belum lagi efek daya tangkar berupa kegiatan penunjang lain yang secara tidak langsung menopang bisnis ini.

Geliat bisnis spa di Indonesia sesungguhnya belum seberapa. Di Amerika, akhir tahun lalu industri spa berkembang hingga 13.700 lokasi. Pendapatannya ditaksir Rp 90 triliun setahun. Jumlah itu berarti 130 kali lipat lebih besar ketimbang pendapatan bisnis spa di Tanah Air.

Potensi berkembang masih luas. Selain banyak tersedia tenaga perawatan tubuh, Indonesia juga kaya aneka bahan yang dibutuhkan spa. Bunga-bungaan, rempah-rempah, aneka lumpur dari gunung berapi, garam dan pasir melimpah ruah di negeri subur ini. Jangan lupakan lumpur Lapindo. Ya, siapa tahu, dengan sedikit pengolahan, ”lautan lumpur” di Sidoarjo bisa digunakan untuk lulur atau merendam badan di spa?

Indonesia juga memiliki banyak sumber air panas, satu sarana penting untuk bisnis spa. Bila Onseng amat digemari di Jepang seperti juga Hot Spring di Amerika atau Eropa, mungkin kelak Indonesia terkenal karena punya Ciater atau Sawangan. Sekarang saja sejumlah resor spa di Indonesia masuk daftar 150 spa terbaik menurut majalah Spaasia.

Bila benar-benar digarap, bukan tak mungkin spa menjadi ikon baru pariwisata Indonesia. Karena itu spa jangan dipandang sebelah mata. Beberapa departemen yang selama ini membina industri spa di Tanah Air—seperti Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pendidikan Nasional, serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan—harus bekerja keras agar industri ini berkembang lebih pesat.

Salah satu caranya adalah mempermudah perizinan spa yang selama ini kerap berbelit-belit. Banyak pengelola spa, terutama di kelas ruko, terpaksa mendaftarkan bisnisnya sebagai panti pijat--yang gampang dicurigai menjadi tempat ”esek-esek” terselubung. Ini tentu salah kaprah dan ironis karena di negara lain fungsi spa bukan lagi sekadar pemijatan tapi sudah bergeser menjadi terapi penyembuhan jiwa.

Pemerintah perlu mengajak bicara pengusaha spa ini, dalam upaya lebih mengembangkan industri spa di Tanah Air. Pada tahap awal pengembangan, misalnya, pengusaha spa boleh tidak dikenai pajak yang kelewat tinggi. Mereka juga perlu diajak menetapkan standar kualitas dan standar usaha industri spa. Dengan standar kualitas tinggi, spa Indonesia akan menarik, dan siapa tahu itu daya tarik baru untuk berkunjung ke Indonesia.

Pada masa liburan dan cuti ini, sudahkah Anda mencoba spa, sensasi dan ”kegilaan” baru orang kota itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus