Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APARAT kepolisian sangat mumpuni membongkar jaringan terorisme. Mereka dengan cepat menangkapi orang-orang yang diduga terlibat teror di Tanah Air, tak lama setelah peristiwa. Tapi kemampuan itu seolah-olah lenyap ketika mengusut berbagai teror kepada personel Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah serangan dalam berbagai bentuk yang ditujukan kepada komisi antikorupsi itu tak pernah terungkap. Pelaku penyiraman dengan air keras terhadap penyidik senior Novel Baswedan, misalnya, tak kunjung tertangkap hampir dua tahun setelah serangan itu. Bukan kebetulan jika ancaman baru kepada komisi antirasuah kemudian terus terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan terbaru ditujukan ke rumah dua pemimpin komisi antikorupsi, Rabu dinihari pekan lalu. Dua orang bersepeda motor melempar bom molotov ke rumah Wakil Ketua Laode Muhammad Syarif. Peneror lain meletakkan tas berisi benda, yang menurut polisi sebagai bom palsu, di pagar rumah Ketua Agus Rahardjo. Spekulasi pun muncul: teror ditujukan kepada keduanya yang, antara lain, sedang berkeras mengajukan satu perkara korupsi yang melibatkan petinggi perusahaan negara ke tahap penyidikan.
Tak ada pilihan lain, kepolisian harus segera mengungkap teror terbaru kepada personel komisi antikorupsi itu. Berbagai jejak ditinggalkan para pelaku, termasuk rekaman mereka di kamera keamanan rumah Syarif dan Agus. Kemampuan antiteror kepolisian semestinya cukup untuk mengejar para pelakunya. Keseriusan tidak cukup ditunjukkan dengan membentuk tim khusus kepolisian untuk menangani kasus ini. Jauh lebih penting adalah sesegera mungkin menemukan pelakunya, kemudian mengungkap motif teror itu.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan jajarannya pun masih memiliki utang besar untuk mengungkap kasus penyerangan Novel. Serangan ke jantung pemberantasan korupsi itu telah berlalu 22 bulan. Waktu terus berjalan dan tak ada perkembangan apa pun dalam penyelidikannya. Pemerintah Joko Widodo pun mengabaikan tuntutan pembentukan tim independen. Akibatnya, kasus ini berlarut-larut hingga masuk perdebatan politik pada masa kontestasi pemilihan calon presiden.
Baru pekan lalu, Jenderal Tito membentuk tim beranggotakan 65 orangsebagian besar personel kepolisianuntuk mengusut penyerangan Novel. Padahal kepolisian terbukti gagal menjalankan perintah Jokowi untuk secepatnya menemukan para penyerang. Dalam jumlah kecil, dimasukkan pula anggota non-kepolisian, seolah-olah mengakomodasi tuntutan pembentukan tim independen. Tak mengherankan, sebagian kelompok antikorupsi mengaitkan pembentukan tim dengan kemungkinan hal tersebut ditanyakan dalam debat calon presiden, Kamis pekan ini.
Teror terhadap para pemberantas korupsi seharusnya tidak dianggap sebagai tindak kriminal biasa. Tidak boleh pula pengungkapannya sekadar dilakukan demi kepentingan politis. Serangan itu merupakan usaha untuk menghambat perang melawan kejahatan yang merugikan masyarakat luas. Korupsi jelas telah merugikan dunia pendidikan, kesehatan, bisnis, dan banyak sektor lain. Karena itu, usaha mengungkap teror kepada mereka yang memeranginya harus dilakukan dengan ekstrakeras.
Bagi komisi antikorupsi, meningkatnya ancaman ini membuat standar pengamanan mereka perlu ditingkatkan. Komisi harus mengevaluasi dan memperkuat keamanan komisioner dan perangkatnyaterutama personel berintegritas tinggi yang sedang menangani perkara kakap. Tentu saja, perlawanan terbaik terhadap teror adalah dengan tetap mengungkap kasus-kasus besar. Itulah tanda mereka tidak takluk pada ancaman.