KETIKA ia masih bocah yang bernama Sukhwant Singh, ia menggembala lembu, dan hidup miskin di sepanjang jalanan Kota Delhi, India. Kemudian anak keras hati ini bisa menjadi guru pendidikan jasmani. Pada umur 25, ia meninggalkan tanah airnya dan berimigrasi ke Kanada dan menetap di Nova Scotia. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1970-an, ia ke Kota Vancouver. Di sinilah ia menjadi kaya raya. Ia membeli sebuah rumah seharga 4 ribu dolar agak di luar kota, dan kemudian menjualnya 25 ribu dolar. Maka, masuklah Sukhwant Singh ke dalam usaha tanah & bangunan. Ia kemudian -- untuk memperlancar bisnisnya -- mengganti namanya menjadi Stephen Sander. Nasibnya baik. Ke Vancouver berbondong pendatang kaya dari Hong Kong yang tak mau tinggal lagi di negeri mereka yang akan berada di bawah kekuasaan Cina. Pasaran tanah & bangunan Vancouver pun gemuruh. Selama dua dasawarsa terakhir, 2,5 milyar dolar uang gemerincing menghidupkan bisnis ini. Dan tentu saja Stephen Sander ikut menangguknya. Dengan cepat, investor real estate yang termasuk paling sukses ini menghimpun kekayaan yang dinilai 70 juta dolar. Namun, Stepen Sander tetap hidup sederhana. Kini mobil yang dipakainya sebuah Jaguar yang sudah berumur 10 tahun -- barang bekas -- menggantikan VW Beetle reyotnya yang dulu. Rumahnya cuma terdiri dari tiga kamar tidur, tanpa kolam renang, tanpa lapangan tenis tanpa pembantu. Satu-satunya kemewahan hanya peralatan olahraga Nautilus. Stephen dan istriya yang sekarang, Nancy, bekas guru aerobik, memang menyukai olahraga di rumah. Untuk apakah uang, Stephen Sander? Dia tak menjawab pertanyaan ini. Tetapi, seperti dikisahkan koran bisnis terkemuka Wall Street Journal 8 April 1990, ia melakukan sesuatu yang menakjubkan: ia menghibahkan 23 gedung apartemen mewah yang dimilikinya, yang bertaburan di Kota Vancouver -- seharga 170 juta dolar -- kepada sebuah yayasan. Yayasan ini ia beri nama "Consciousness International Foundation", yang akan mendapatkan uang sewa. Dana yang terkumpul, yang diperkirakan akan mulai masuk Oktober nanti, akan dipakai buat proyek-proyek membantu Dunia Ketiga. "Umur saya 55," kata Sander, "dan memperoleh banyak uang tak berarti apa-apa lagi bagi saya." Bukannya ia mau hidup melarat. Seperti dikatakannya, ia menyisakan satu dana buat dirinya sendiri dan keluarganya. Buat ketujuh anaknya dari perkawinannya yang terdahulu, ia sediakan 5,5 juta dolar. Buat dirinya sendiri, dan buat Nancy serta anak mereka yang baru berumur 4 tahun, ia mengambil rumah yang kini mereka tinggali dan tiga mobil yang kini mereka pakai serta dana 500 ribu dolar. "Saya dapat hidup enak dengan 40 ribu dolar setahun," kata Sander. Bagaimana kejadian ini (bukan dongeng, bukan dongeng) bisa terjadi? Dan di Kanada pula, bukannya di Indonesia, di mana orang banyak bicara tentang gotong-royong, Pancasila, puasa, zakat, pemerataan dan persatuan -- tapi si kaya tak puas hidup hanya dengan 40 ribu dolar setahun (yang berarti sekitar Rp 3,5 juta sebulan) dan si sukses suka menghimpun Mercy Tiger hingga 10 biji? Entahlah. Jawabnya begitu banyak. Barangkali karena Stephen Sander memang orang istimewa. Barangkali karena ia -- di tengah yoga yang ia lakukan sehari-hari -- kepada dirinya sendiri bertanya: uang itu akhirnya memang buat apa, sih? Atau mungkin karena ia datang dari India, negeri tempat hidup Budha, Mahatma Gandhi, dan Bunda Theresa -- di mana agama-agama punya tradisi pertapaan dan pengorbanan. Atau barangkali apa yang dilakukan Sander cuma bisa terjadi di negeri seperti Kanada. Di sana orang bisa hidup aman dengan uang yang tak berlebihan. Posisinya dilindungi hukum, juga pada saat ia tak beruang. Kesehatan serta pendidikan anaknya dibantu oleh sistem kesejahteraan sosial yang disediakan -- dari uang pajak rakyat -- oleh adminstrasi negara. Sander bersedia hidup tanpa uang yang berlimpah, karena ia tahu ia akan aman. Jika benar begitu, maka pemerataan -- impian besar abad ke-20 ini -- memang tak bisa dipisahkan dari jaminan akan rasa aman. Sosialisme yang hanya menyebabkan kekuasaan pemerintah jadi besar seperti gergasi oleh sebab itu gagal: setiap pribadi bisa sewaktu-waktu terlindas. Setiap pribadi karena itu berusaha setengah mati buat menyusun bentengnya sendiri -- dan kekayaan serta kekuatannya sendiri. Di tengah rimba belukar, di mana hukum seenaknya dan hanya yang kuat yang akan hidup, bersikap dermawan sama dengan memperkuat calon lawan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini