Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI harus serius mengusut skandal pemerkosaan puluhan anak di gereja Paroki Santo Herkulanus di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Apalagi aparat penegak hukum sudah mendapat dukungan penuh dari Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Herkulanus sendiri serta Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahril Parlindungan Marbun, 42 tahun, tersangka pelaku pemerkosaan para putra altar itu, memang sudah ditangkap dan kini ditahan di Kepolisian Resor Metro Depok. Tapi dia baru diproses untuk dua kasus pemerkosaan dan perundungan seksual. Padahal gereja menemukan sedikitnya ada 21 korban anak yang diperkosa ketika berusia 11-14 tahun sejak tahun 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika kelak terbukti di persidangan, kejahatan Syahril harus diganjar hukuman setimpal. Selama hampir dua dasawarsa, tersangka memanfaatkan posisinya sebagai pembimbing misdinar Paroki Santo Herkulanus untuk memangsa anak-anak yang sedang mengabdi menjadi putra altar. Dia menyalahgunakan kepercayaan dan rasa hormat anak-anak untuk melakukan tindakan cabul yang merusak kondisi fisik dan psikis mereka. Perilaku ini sungguh biadab karena korban adalah anak-anak yang seharusnya dia jaga dan lindungi.
Ada dugaan pelaku bisa leluasa beraksi selama bertahun-tahun karena pengaduan korban pemerkosaan sebelumnya malah diselesaikan gereja melalui jalur perdamaian di luar hukum. Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia harus memeriksa kebenaran dugaan ini dan menelusuri mengapa pembiaran atas kejahatan seksual itu bisa terjadi di masa lalu. Para pastor yang diduga terlibat upaya memendam skandal ini juga harus diberi sanksi sesuai dengan porsi kesalahannya.
Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus meningkat saban tahun mengingatkan kita untuk lebih serius menangani masalah ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menemukan sedikitnya 350 kasus sepanjang tahun lalu. Jumlah itu naik 70 persen dari tahun sebelumnya. Salah satu wujud keseriusan itu adalah pemberian hukuman maksimal kepada pelaku agar tercipta efek jera.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur pelaku pencabulan anak dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda sebesar Rp 5 miliar. Jika korbannya lebih dari satu orang, hukuman itu bisa diperberat. Apalagi jika korban mengalami luka berat, terganggu jiwanya, atau meninggal. Setelah menjalani hukuman pun pelaku bisa dipasangi alat elektronik pendeteksi keberadaan agar mereka tidak mendekati tempat-tempat kerumunan anak-anak. Vonis pidana maksimal bisa menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang coba-coba berbuat bejat.
Terungkapnya kasus pemerkosaan anak di Gereja Santo Herkulanus harus menjadi momentum untuk semua pihak berbenah. Para pemuka agama, bukan hanya pengelola gereja, harus bersikap terbuka jika ada pelanggaran hukum di dalam wilayah tempat ibadah. Pemimpin umat tak boleh ragu menyerahkan kasusnya kepada polisi dan mendukung agar proses hukum berlangsung tuntas. Jangan sampai pelaku kejahatan berlindung di balik tembok rumah Tuhan.
Ke depan, pencegahan kekerasan seksual terhadap anak harus melibatkan semua pemangku kepentingan: dari keluarga, sekolah, pemuka agama, hingga anggota masyarakat. Edukasi mengenai apa itu perundungan seksual dan cara pencegahannya harus disebarluaskan. Apalagi ada riset yang menemukan bahwa 80 persen pelaku pemerkosaan justru dikenali oleh korban.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengubah anggapan bahwa mengadukan pelaku kejahatan seksual ibarat membongkar aib sendiri. Perilaku seperti itu yang membuat kasus yang menimpa anak-anak Gereja Santo Herkulanus sempat sulit terbongkar.