Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri Winarno
Pengamat kebijakan ekonomi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memahami strategi yang tepat dalam pengelolaan arus modal asing, kita perlu belajar dari kasus Cina di satu sisi dan dari kasus Argentina di sisi lain. Setelah menahan diri selama beberapa dasawarsa, akhirnya Cina meleburkan diri ke dalam sistem keuangan global dan baru-baru ini mengumumkan akan menghapuskan kontrol arus modal asing, bahkan untuk dana asing yang dikategorikan hot money, yaitu investasi portofolio. Sebaliknya, setelah selama beberapa dasawarsa terombang-ambing oleh fluktuasi arus dana asing, Argentina menghadapi krisis ekonomi lagi dan akhirnya memutuskan melakukan pengendalian aliran dana asing untuk mencegah mata uang peso terpuruk lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kedua contoh yang bertolak belakang tersebut, globalisasi keuangan masih menjadi tema penting dalam penentuan arah ekonomi suatu bangsa. Mengapa setelah sekian lama menikmati dinamika ekonomi global, Cina baru sekarang menghapus pembatasan aliran modal asing dan mengapa Argentina baru sekarang membatasi arus modalnya?
Keajaiban perkembangan ekonomi Cina bersumber dari berbagai faktor. Selain berpaling ke ekonomi pasar yang semula menganut ekonomi komando gaya komunis, Cina diuntungkan oleh ekspor dan investasi asing, migrasi internal, serta warisan Maois berupa pendidikan publik dan sistem kesehatan nasional. Cina juga mewarisi sistem pemerintahan yang kuat dan efektif walaupun dengan kepemimpinan tangan besi. Penduduk Cina secara bersama-sama menjaga stabilitas nasional. Namun, dari semua faktor tersebut, faktor pentingnya adalah keputusan Cina untuk membuka ekonominya dari arus modal asing secara bertahap.
Perhatikan strategi Cina dalam mengelola aliran modal asing. Pada 1990-an, ketika Cina memulai keajaiban pembangunan ekonominya, sebenarnya mudah bagi negara itu untuk tergoda membuka kebijakan arus modal asing. Tapi Cina memilih mengontrol arus modal tersebut. Seandainya Cina tidak mengontrolnya, dapat dipastikan modal asing akan mengalir deras ke Cina untuk memperoleh pendapatan dari investasi yang sangat tinggi, sehingga renminbi akan mengalami apresiasi dengan cepat. Konsekuensinya, pertumbuhan ekspor Cina akan lambat dan kehilangan dinamika ekonominya.
Hampir setiap krisis keuangan yang menimpa pasar negara berkembang (emerging market) selalu didahului atau bersamaan dengan lonjakan aliran masuk dana asing. Ini pernah terjadi di Amerika Latin pada 1980-an, India pada 1991, Meksiko pada 1994, serta Asia Timur, juga ASEAN dan Rusia, pada akhir 1990-an. Hal ini juga terjadi di Brasil, Turki, dan Argentina pada awal 2000-an; Baltik, Islandia, Yunani, dan Spanyol pada akhir 2000-an dan awal 2010; serta di pasar negara berkembang "Fragile Five", seperti Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki, pada 2013. Dan saat ini, Argentina tertimpa krisis ekonomi lagi.
Aliran modal asing sering mencerminkan masalah kebijakan yang sangat dalam dan ketidakseimbangan dalam perekonomian di pasar negara berkembang. Aliran modal asing juga selalu menjadi penyebab utama krisis keuangan yang berakibat buruk pada dinamika dan stabilitas ekonominya. Walaupun kredo utama konsensus neoliberal-yang meliputi privatisasi, deregulasi, integrasi perdagangan, imigrasi, disiplin fiskal, dan mengutamakan pertumbuhan dari pasar distribusi-sekarang sedang menghadapi tantangan sengit, bahkan penolakan, globalisasi keuangan tetap dikecualikan.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) mulai menetapkan keringanan untuk melakukan beberapa pembatasan pada aliran modal, yang sifatnya sementara dan sebagai pilihan terakhir untuk mengendalikan lonjakan siklus aliran dana asing tersebut. Alasannya, modal asing masih diperlukan untuk menutup kebutuhan pendanaan pembangunan.
Namun ada alasan lain di balik globalisasi keuangan, terutama bagi elite penguasa negara-negara berkembang, seperti di Amerika Latin dan Afrika Selatan. Alasan tersebut adalah aliran modal asing memudahkan mereka melarikan asetnya ke luar negeri.
Sulitnya mengontrol aliran modal asing sangat berkaitan dengan persepsi elite penyokong liberalisasi aliran modal bahwa kontrol aliran modal berarti sama dengan "perampasan". Maka, para pemangku kebijakan tidak mau dianggap sebagai pelanggar hak kepemilikan.
Namun, akhir-akhir ini, pembatasan terhadap aliran modal asing sudah tidak tabu lagi karena beberapa pengambil kebijakan di negara-negara berkembang mulai membatasi pinjaman dalam mata uang asing. Aliran modal asing dalam satuan mata uang lokal lebih disukai daripada dalam mata uang asing karena tidak menyebabkan ledakan pada beban utang ketika nilai tukar mengalami pelemahan yang signifikan.
Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam kondisi sekarang, saat pertumbuhan ekonomi lesu dan tingkat suku bunga jangka panjang di negara-negara maju ("Japanification") rendah, tersirat bahaya dari godaan untuk meningkatkan pinjaman modal asing. Sebab, langkah tersebut akan mengakibatkan ekonomi negara-negara berkembang semakin labil, semakin sering tertimpa krisis, dan semakin kehilangan dinamisme.
Jadi, sangat dibutuhkan strategi yang tepat dalam mengelola aliran modal asing agar bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional, bukan semata-mata mendasarkan pada pasokan aliran modal asing dan keinginan.