Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya Presiden Joko Widodo berbicara soal keresahan yang sudah berbilang tahun terjadi. Soal sulitnya mendirikan rumah ibadah di berbagai daerah. Hal itu disampaikan Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah Seluruh Indonesia di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, Selasa lalu. Pertemuan yang sangat penting untuk membicarakan masalah yang genting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi mencontohkan ada rapat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang bersepakat untuk tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Juga ada wali kota atau bupati yang ikut andil tidak memperbolehkan pendirian rumah ibadah. “Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan," kata Jokowi. Presiden menegaskan, "Beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi kita, dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 ayat 2.”
Seberapa gawat keresahan itu? Berjuta kata habis digunakan jika semua kasus itu ditulis. Contoh kecil di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Tak satu pun ada rumah ibadah warga nonmuslim, sementara ada 382 masjid dan 267 musala. Ada permohonan mendirikan gereja, tapi Wali Kota Cilegon Helldy Agustian menolaknya dengan alasan belum memenuhi syarat. Wakil Presiden Ma'ruf Amin ikut menegaskan bahwa hanya rumah ibadah yang memenuhi syarat yang dapat dibangun. Apa syarat itu? Ada tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Apakah Presiden Joko Widodo tak tahu ada peraturan bersama kedua menteri itu? Peraturan yang melanggar konstitusi?
Peraturan bersama itu meliputi tiga hal. Karena itu, judulnya panjang: “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat”. Aturan menyangkut pendirian rumah ibadah ada di Bab IV. Yang dipermasalahkan Pasal 14 ayat (2) yang mengatur pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat, dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Dukungan pengguna rumah ibadah umumnya bisa dipatuhi. Namun dukungan 60 orang masyarakat setempat ini yang sulit. Sebab, tempat ibadah di kalangan minoritas itu umumnya dibangun bukan di permukiman khusus warga seagama. Dibutuhkan toleransi dalam kasus ini.
Tidak semua daerah kaku dalam melaksanakan aturan itu. Jika kaku, di kota-kota kecamatan di Bali yang di luar wilayah perkotaan, tak akan ada masjid atau vihara, sebagaimana sekarang ini. Di banyak daerah, toleransi juga tinggi. Umat Hindu bisa mendirikan pura yang besar di Senduro, Kabupaten Lumajang, karena berhasil meyakinkan mayoritas muslim bahwa di sana ada peninggalan Mpu Semeru, yang menyebarkan agama Hindu ke Bali pada masa lalu. Dukungan umat Islam membuat pura tersebut menjadi megah dan kawasan itu pun menjadi destinasi wisata yang ramai. Nikmat ekonominya dirasakan penduduk setempat.
Begitu pula ketika Pura Jagatkarta dibangun di lereng Gunung Salak, Desa Ciapus, Kabupaten Bogor. Muslim setempat menyetujui rumah ibadah di peninggalan Raja Siliwangi itu. Ini pura terbesar kedua di Indonesia setelah Pura Besakih di Bali. Seperti halnya di Lumajang, warga muslim di lereng Gunung Salak itu menikmati dampak ekonominya. Bahkan seluruh kegiatan selain ritual dibantu oleh warga muslim setempat. Apakah rumah ibadah Hindu di Senduro dan Ciapus itu membuat ada umat Islam pindah ke Hindu? Tak pernah ada cerita itu.
Peraturan kedua menteri ini seharusnya segera direvisi. Rumah ibadah bukan lagi berdasarkan persetujuan masyarakat sekitarnya, melainkan mengacu ke tata ruang dan lingkungan. Semakin banyak “rumah Tuhan” dibangun, seharusnya kita semakin tenteram jika kita meyakini ajaran agama berlandaskan kedamaian. Mudah-mudahan koreksi dari Presiden Joko Widodo kali ini memang serius.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo