Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanah kelahiran

Jacobo timmerman seorang zionis menjadi wartawan terkemuka koran la, opinibn. dia menulis pengalaman dalam sel dengan judul tahanan tanpa nama, sel tanpa nomor. dikembalikan ke israel, negeri yang keji.

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seorang Zionis. Nenek moyangnya lari dari Negeri Belanda ketika Spanyol menduduki tanah rendah itu dan orang Yahudi diburu atas nama Kristus. Ia sendiri lahir di Ukraina, tapi kemudian - belum lagi berumur 10 - ia harus ikut mengungsi pula ke Argentina. Jacobo Timmerman karena itu punya alasan buat merindukan sebuah tanah air, sebuah tanah air yang tak membiarkan satu kaum membasmi kaum lainnya atau menyimpannya di pojok terpisah. Ia seorang Zionis yang pada dasarnya seorang demokrat dan sosialis, yang menjadi demikian sejak umur belasan tahun. Ia memilih sebuah dunia yang nampaknya tak bakal tenteram. "Sebuah dunia yang kadang mengambil bentuk Zionisme, kadang perjuangan hakhak asasi manusia, kadang pergulatan untuk kemerdekaan bicara, dan kadang juga solidaritas dengan para pembangkang yang melawan semua totaliarianisme." Begitulah Timmerman merumuskan kehidupan yang ia pilih dan tak akan ia tinggalkan. Mungkin karena itu, seraya memuja Israel, tetap tinggal di Argentina yang penuh kontroversi. Ia memang ternyata jadi wartawan terkemuka. Korannya, La Opinin, cepat jadi makmur dengan oplah 150 ribu. Timmerman toh tetap seorang sosialis. Tapi pendiriannya yang kiri-tengah dengan segera memakunya pada kesulitan di Argentina yang robek oleh konflik dan luka oleh teror. Ia jadi sasaran dari kiri serta kanan. Juli 1972 rumahnya dibom kaum Montoneros yang ultra-kiri. April 1977 ia ditahan pemerintah militer yang pro-kanan. Ia nyaris jadi salah satu desaparecidos, orangorang yang lenyap. Tapi ia begitu terkenal, meskipun ia menuliskan pengalamannya dalam sel dengan judul "Tahanan Tanpa Nama, Sel Tanpa Nomor". Tak kurang tokoh seperti Henry Kissinger dan Alexander Solshenitsyn yang ikut mendesak pemerintah Argentina buat melepaskannya. 25 September 1979 ia memang dibebaskan. Tapi dengan cara yang khas: Timmerman dimasukkan ke alam sebuah pesawat terbang, dan langsung dikirim ke Israel. Statusnya sebagai warganegara Argentina dicopot. Kita mungkin menyangka bahwa Timmerman akhirnya jadi berbahagia, satu perasaan yang konon tak perna drasakannya. Bukankah ia telah meninggalkan sebuah negeri, di mana, seperti dituliskannya, "kaum Peronis membunuh kaum Peronis, militer membunuh militer, anggota serikat buruh membunuh anggota serikat buruh ...."? Bukankah ia telah berada di Israel, dan berkata, "Akhirnya saya pulang"? Tapi rupanya kasus Timmerman bukanlah kasus seorang yang mencari tempat teduh. Seperti konon diucapkan novelis Israel Amos Oz kepadanya waktu ia tiba, manusia tak perlu berbahagia. Juga tak dapat. Timmerman kemudian tahu makna kata-kata itu. Bulan Juni 1982, Israel menyerbu Libanon. Ia, yang menyangka bahwa bangsa yang pernah jadi korban Hitler tak akan tega mengebom Beirut, ternyata khilaf. Bukunya, The Longest War, mengungkapkan perasaan seorang pencinta yang gemetar oleh kecewa, amarah, kecemasan. Apalagi buku itu sempat mencatat peristiwa yang tersohor itu: ketika anak kecil dan orang tua Palestina - hanya lantaran mereka orang Palestina - dibunuhi kaum Phalangis di Sabra dan Chatilla, dengan restu tentara Israel. Timmerman mengungkapkan apa yang akhirnya menimpa bangsa Yahudi yang terserak-serak: mereka tak lagi akan punya hak penuh untuk jadi lamban keDedihan abad ini. "Kita adaah korban yang telah menciptakan korban kita sendiri," tulis Timmerman. "Mulai sekarang, untuk seterusnya, tragedi kita akan tak dapat terpisahkan dari tragedi orang Palestina." Mungkin seharusnyalah demikian. Israel yan disaksikannya memang telah menyebabkan ketidakterpisahan itu kabur, karena Israel yang diimpikannya ternyata telah jadi gunung api kekuasaan, dengan kekeian seperti negeri yang lain. Syahdan, beberapa jam sebelum pertempuran meletus di Beirut, penyair Palestina, Mahmud Darwish, berkata kepada wartawan Roer Rosenblatt dari majalah Time: "Israel adalah kubur bagi kebesaran Yahudi." Tapi Darwish juga cemas: bila suatu hari nanti orang Palestina mendapatkan tanah air mereka, hal yang sama akan bisa terjadi. Adakah tanah air proyek kebahagiaan yang mustahil, karena manusia tak perlu berbahagia dan lagi pula tak dapat? Tapi soalnya bukan itu, kita akan menjawab. Soalnya bukanlah perlu berbahagia, melainkan perlu adil. Tapi kita toh mencari bahagia dan mencari tanah air dan tak sadar bahwa karena itulah kita tak dapat. Tak dapat, seperti Jacobo Timmerman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus