Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi Irawan
Lektor Kepala Ilmu Ekonomi Universitas Bengkulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan teroris terhadap kegiatan ibadah Jumat di Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret lalu, mengakibatkan 49 korban meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan sejumlah pemimpin dunia mengecam dan mengutuk serangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teror tersebut memang layak dikutuk seluruh masyarakat dunia. Namun ada satu hal penting yang dihadirkan dari serangan tersebut. Ternyata tidak ada tafsir tunggal atas kelompok yang menggunakan cara dan mendukung terorisme dalam menjalankan misi ideologinya. Dalam kasus terorisme Charlie Hebdo di Paris, Prancis, November 2015, misalnya, publik dunia masih disodori pandangan arus utama dan monolitik dari pemimpin dunia yang disuarakan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa penyebab aksi teror itu berkaitan dengan Islam radikal.
Padahal sejumlah kajian dan studi pakar terorisme menunjukkan bahwa akar utama lahirnya terorisme adalah ketidakadilan ekonomi-sosial dan politik (lihat Wilkinson, 1974; Boix, 2004; Burgoon, 2004; Krueger and Maleckova, 2003).
Di Eropa dan Amerika Serikat, kesenjangan ekonomi telah melahirkan ketakutan para pekerja kulit putih golongan menengah ke bawah terhadap eksistensi para pendatang (imigran) dari negara-negara Asia dan Afrika yang memang umumnya dari negara-negara berpenduduk muslim. Isu ketidaksukaan terhadap imigran, yang notabene bernuansa muslim, ini yang dimanfaatkan oleh para politikus dalam kontestasi politik. Fakta memang menunjukkan bahwa isu politik identitas ini laku dijual.
Di Eropa Timur, akibat depresi ekonomi yang tidak terentaskan oleh kekuatan-kekuatan politik yang pro pasar dan demokrasi, partai-partai berideologi fasis, neo-Nazi, dan ultranasionalisme mendapat kursi penting. Ide tentang supremasi pribumi kulit putih yang mereka usung tampaknya ikut mempengaruhi kinerja politik dan opini publik di negara-negara Eropa Barat, Australia, dan Amerika Serikat. Hal ini ditunjukkan dari fenomena kemenangan para pendukung Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) dalam referendum di Inggris dan kemenangan Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016.
Dalam skala global, hubungan sosial-ekonomi-politik internasional modern adalah media subur yang potensial dalam melahirkan terorisme. Stiglitz (2007) mengatakan dampak interaksi sosial-ekonomi-politik internasional modern di Benua Amerika hanya bermanfaat bagi kalangan dengan pendapatan menengah atas serta meningkatkan angka kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas. Dampak lain adalah meningkatkan populasi penduduk yang bekerja di sektor informal. Di Afrika malah terjadi penurunan pendapatan per kapita penduduk. Sedangkan di negara-negara yang melakukan transformasi dari komunisme ke sistem pasar berdampak meningkatkan angka kemiskinan dan menurunnya pendapatan per kapita mereka.
Globalisasi telah menghadirkan peningkatan kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang serta miskin, juga kesenjangan ekonomi di masing-masing negara. Dampak lain adalah peningkatan ketidakstabilan perekonomian global. Tercatat setidaknya telah terjadi 100 krisis ekonomi selama 30 tahun terakhir di berbagai kawasan ekonomi dunia. Arus uang juga ternyata mengalir dari negara-negara miskin ke negara-negara yang kaya, bukan sebaliknya. Yang paling merasakan dampak buruknya kemudian adalah mereka yang miskin.
Ketidakadilan sosial-politik juga sangat kental dirasakan di kawasan Timur Tengah. Perlakuan yang tidak adil, seperti pembiaran dan bahkan dukungan tanpa batas terhadap invasi dan pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel terhadap Palestina, serta pembiaran komunitas internasional atas kudeta militer terhadap kekuatan-kekuatan politik Islam yang telah berhasil memenangi konstestasi demokrasi di Timur Tengah, adalah akar yang bisa terus menumbuhkan tunas-tunas gerakan kekerasan baru di wilayah tersebut.
Terorisme membutuhkan ideologi untuk meningkatkan kekukuhan internal dan militansi perjuangan mereka. Dan ideologi yang paling mumpuni untuk itu berasal dari kekuatan primordial sebagai identitas manusia. Di Timur Tengah, identitas primordial yang laku dan layak digunakan adalah identitas agama. Sedangkan di negara-negara Barat, identitas primordial yang menarik dukungan adalah identitas ras.
Tapi semua itu bukan penyebab hadirnya terorisme. Terorisme hadir karena ketidakadilan sosial-ekonomi-budaya dalam relasi hubungan antarmanusia, baik dalam skala negara maupun global.