Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh merisaukan, bisnis properti terganggu karena urusan sepele. Ini bukan lantaran pasokan semen atau genting yang seret. Tidak juga lantaran daya beli masyarakat merosot. Penyebabnya justru pemerintah daerah lamban mengatur bea peralihan tanah dan bangunan.
Tanpa adanya aturan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) itu, jualbeli properti betulbetul macet. Notaris tak mau mengesahkan transaksi, Badan Pertanahan Nasional pun tak sudi menerbitkan akta. Jangan heran jika ribuan transaksi jualbeli properti di berbagai daerah terhambat. Sepanjang Januari silam, setidaknya 10 ribu transaksi tanah dan bangunan batal. Potensi kerugian diperkirakan Rp 1,8 triliun per bulan.
Semula pemerintah daerah tinggal menerima jatah hasil pungutan bea perolehan hak atas tanah dari pemerintah pusat. Tapi, sejak Januari 2011, bea properti ini sepenuhnya masuk ke pajak daerah. Konsekuensinya, kabupaten dan kota harus membikin peraturan daerah dan menyiapkan aparat pemungut. Urusan inilah yang dilalaikan. Ada kabupaten atau kota yang telah memiliki aturan tapi belum siap memungut. Tidak sedikit pula yang belum membuat aturan. Hingga kini baru 293 dari 497 kabupaten atau kota yang memiliki peraturan daerah tentang bea peralihan properti.
UndangUndang Nomor 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebetulnya telah mengatur masa transisi. Undangundang ini berlaku efektif per 1 Januari tahun lalu, dan khusus aturan mengenai pungutan bea properti oleh daerah baru berlaku setahun kemudian. Mestinya masa transisi ini lebih dari cukup untuk menyiapkan peraturan daerah. Tiada alasan yang paling tepat kecuali malas. Andai kata beberapa daerah tak memiliki tenaga ahli penyusun aturan, toh mereka bisa mengintip peraturan serupa di daerah lain.
Kosongnya aturan itu jelas membingungkan masyarakat. Tanpa bisa membayar pajak properti, para pengembang juga tak bisa menjual rumah. Pembeli tanah dan bangunan, terutama melalui kredit kepemilikan rumah, juga gigit jari. Macetnya bisnis properti berdampak luas karena usaha lain, dari penjual material bangunan, tukang bangunan, hingga perbankan, ikut terganggu.
Real Estate Indonesia menduga sejumlah daerah enggan mengurus bea perolehan itu lantaran duitnya kecil. Harga lahan di daerah memang tidak semahal di kota besar. Perolehan bea peralihan properti dianggap tidak sebanding dengan biaya pembuatan aturan dan pemungutan. Alasan ini masuk akal. Tapi kita tetap gelenggeleng kepala karena masyarakat justru yang paling dirugikan oleh amburadulnya kebijakan pemerintah.
Benar, akhir tahun lalu ada solusi berupa Surat Edaran Menteri Keuangan. Intinya, pembebasan bea perolehan hak atas tanah di daerah yang belum memiliki aturan. Tapi notaris dan Badan Pertanahan Nasional tetap belum mau menerbitkan akta karena pembebasan itu tidak dituangkan dalam aturan yang setara dengan undangundang. Mestinya ketentuan ini diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu) yang merevisi UndangUndang Nomor 28/2009. Perlu ditegaskan pula dalam perpu itu bahwa pembuatan akta jualbeli properti di daerahdaerah tertentu tetap bisa diproses tanpa harus disertai bukti pembayaran bea peralihan. Dengan cara ini, masyarakat tak dirugikan oleh kelambanan pemerintah daerah.
Pemerintah tak boleh membiarkan persoalan ini berlarutlarut. Membuat perpu tidaklah lama. Jika pejabat pemerintah pusat juga tak mampu memecahkannya secara cepat, lalu apa bedanya kinerja mereka dengan pejabat daerah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo