Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK berlebihan jika kali ini polisi patut diacungi jempol. Dalam tempo kurang dari dua bulan sejak tewasnya Boedyharto Angsono dan Sersan Dua (Serda) Edy Siyep, para hamba wet itu berhasil meringkus Gunawan Santosa, orang yang dianggap berdiri—bahkan "otak"—di balik pembunuhan sadistis itu. Boedyharto Angsono, Direktur Utama PT Aneka Sakti Bakti (Asaba), ditembak beruntun di halaman parkir Gedung Sasana Krida, Gelanggang Olahraga Pluit, Jakarta Utara, Sabtu 19 Juli. Sebelumnya, penembak merobohkan Edy Siyep, anggota Satuan Penanggulangan Teroris Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.
Sejak itu polisi melancarkan perburuan, terakhir dengan menurunkan lima tim sekaligus. Soalnya, Gunawan merupakan ancaman serius. Sebelum pembunuhan atas Boedyharto Angsono, pada 6 Juni Direktur Keuangan PT Asaba, Paulus Tedjakusuma, ditembak orang tak dikenal di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat. Untung, tak sampai tewas. Sehari kemudian, seorang yang mengaku keponakan Boedyharto mengirim surat faksimile ke markas PT Asaba. Isinya: Boedyharto dan Stephen, putra nomor tiga Boedyharto, hendaknya berhati-hati.
Catatan hitam Gunawan Santosa dimulai dari perselisihannya dengan mertua, ya Boedyharto Angsono itu. Setelah menikahi Alice Angsono, anak nomor dua Boedyharto, pada 5 Januari 1991, Gunawan "dihadiahi" saham di lima anak perusahaan Asaba dan dipercaya mengelola sejumlah perusahaan. Hari-hari penuh madu ternyata tak terlalu lama berlalu. Pada 1997, Paulus Tedjakusuma membongkar manipulasi Gunawan di PT Asaba senilai Rp 40 miliar. Di pengadilan, Gunawan dijatuhi vonis dua setengah tahun penjara. Ia sempat menghuni LP Salemba, Jakarta, sebelum dipindahkan ke LP Kuningan, Jawa Barat. Dari penjara terakhir inilah Gunawan melenggang kabur pada medio Januari 2003, seraya memboyong dendam luar biasa terhadap Boedyharto cs.
Kita tak tahu apakah Gunawan pernah menyimak ucapan Al Capone, bandit Chicago dari masa silam itu: "Anda akan mencapai lebih banyak hal dengan kata-kata dan senjata ketimbang dengan kata-kata doang." Yang kita tahu, namanya belakangan dilekatkan dengan penembakan Tedjakusuma, kemudian pembunuhan Boedyharto dan Edy Siyep. Dan pembunuhan yang dikaitkan dengan nama sarjana teknik elektro lulusan Universitas Houston, Amerika Serikat, ini menjadi makin gawat karena melibatkan beberapa nama dari kesatuan marinir TNI-AL. Empat di antaranya sudah ditahan, dan mengaku dibayar Gunawan. Pada tahap inilah muncul kekhawatiran, polisi akan rikuh mengusut sehingga proses penyelidikan berjalan lamban, bahkan tak mustahil menguap begitu saja. Ternyata tidak.
Rupanya, Gunawan Santosa sendiri ikut meremehkan polisi. Selama menjadi buron, ia merasa tak perlu pergi jauh, paling jauh cuma sampai Batam—menurut pengakuannya. Apalagi ia sudah mengantongi tiga KTP dari tiga kecamatan berbeda, masing-masing dengan nama Kevin Martin, Dustin Bakrie, dan Indra Amapta. Lebih dari itu, berkat jasa sebuah salon kecantikan di Jakarta, ia pun sudah mempermak parasnya: hidung dimancungkan, bibir ditebalkan, dan mata dibuat agak mencorong. Justru dengan penampilan baru inilah ia ditangkap oleh tim yang dipimpin langsung Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian di sebuah rumah kos mewah di Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Banyak hal bisa terungkap dari penangkapan ini. Dari yang paling "ringan", seperti pemalsuan KTP dan STNK mobil, sampai pada kasus pelariannya dari LP Kuningan, penembakan Paulus Tedjakusuma, dan pembunuhan Boedyharto Angsono serta Edy Siyep. Lebih dari itu, pemeriksaan terhadap Gunawan juga akan menuntaskan—sekaligus membersihkan—sejauh mana para anggota marinir itu terlibat dalam urusan yang sudah memakan korban jiwa ini.
Polisi sendiri tampak bersikap hati-hati dan bermain cantik. Penangkapan dilakukan dengan bersih: cepat, langsung pada sasaran, dan tidak mengeruhkan lingkungan tempat Gunawan berlindung. Sangat berbeda dengan, misalnya, penangkapan atas Raden Mas Acun Hadiwidjojo, Januari lalu. Di atas kereta api cepat Argo Lawu Solo-Jakarta, kerabat Kesultanan Yogyakarta itu diduga sebagai tersangka teroris Hambali. Ketika itu "penangkapan" dilakukan dengan "riuh-rendah" dan berakhir belepotan. Patut pula dicatat, manuver polisi yang selama perburuan Gunawan Santosa tidak grasa-grusu berperan juga dalam memberi "rasa aman" pada sasaran, sehingga ia merasa tak perlu minggat jauh. Setelah sang buron tertangkap, tak pula berhamburan pernyataan berlebihan. Untuk sementara, Gunawan baru ditempatkan sebagai tersangka kasus pemalsuan KTP dan STNK mobil, serta pelarian dari LP Kuningan.
Sebaliknya, sesuai dengan asas praduga tak bersalah, Gunawan Santosa sendiri perlu didengar, terutama dalam konteks "dendam"-nya pada Boedyharto Angsono. Kepada majalah ini, Gunawan pernah menyatakan ia tahu banyak "borok" perusahaan (bekas) mertuanya. Nah, "borok" apa saja? Ia, antara lain, menyebut urusan pajak dan "makan uang negara". Grup PT Asaba, kita tahu, meliputi paling tidak sekitar 74 perusahaan dengan rupa-rupa aktivitas bisnis, mulai distribusi alat kantor modern, properti, sampai pabrik roti dan keagenan saus tiram. Artinya, penangkapan Gunawan Santosa barulah sebuah awal. Polisi masih punya banyak pekerjaan rumah dan memerlukan waktu lumayan panjang sebelum semua simpul terurai tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo