MATA angin sedang berputar arah di kompleks Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dua tahun lalu, 20 Juli 2001, di pondok milik K.H. Idris Marzuqi itu, para kiai Nahdlatul Ulama berikut santrinya bersatu nada mendukung K.H. Abdurrahman Wahid. Menolak langkah MPR yang bakal melengserkan sang Presiden lewat sidang istimewa. Kini?
Selasa pekan lalu, selepas lohor, puluhan kiai kembali berkumpul di sana. Tapi dengan maksud berbeda. Rona wajah mereka memerah, sorot mata tajam. Biasanya, wajah khas para ulama khos dan santrinya selalu berseri-seri, penuh senyum, dan suka melucu. Tapi kini berbeda. Selama pertemuan, sejak pukul 14.00 hingga 17.30, pintu dan jendela pondok lebih banyak tertutup ketimbang menganga.
"Kami sedang berusaha meluruskan sesuatu yang bengkok. Apa yang dilakukan Gus Dur wajib kita luruskan," ujar K.H. Mas Subadar, ulama karismatik dari Pasuruan. Dia bersama 50-an kiai lainnya tengah membahas keputusan rapat pleno Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, 1 September lalu. Lewat voting, rapat itu berkeputusan mereposisi Saifullah Yusuf dari Sekjen PKB menjadi salah satu ketua. Selain dianggap mengabaikan nasihat para kiai, keputusan Dewan Syuro juga bertentangan dengan AD/ART partai tersebut.
Itulah sebabnya mereka sepakat menolak reposisi Saifullah. Jika pengurus pusat PKB dan Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro tak menggubris, para kiai mengancam akan mendirikan partai baru atau mengalihkan dukungan ke partai lain. Bahkan mereka akan menyatakan mufaraqah (memisahkan diri) terhadap cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy'ari itu.
Ancaman yang amat serius. Selama ini tak pernah ada kiai NU berani frontal terhadap Gus Dur. Dari catatan sejarah NU, hanya almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin yang pernah "puasa" bicara dengannya hingga akhir hayatnya. Pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo itu keberatan dengan pernyataan Gus Dur yang memperbolehkan penggantian sapaan "assalamualaikum" dengan "selamat pagi", "selamat sore", dan sebagainya. Selain itu, ia tak bisa menerima pernyataan Gus Dur bahwa ajaran Islam memerlukan penambahan keadilan sosial.
Putra mantan Menteri Agama Wahid Hasyim itu juga pernah bersinggungan dengan Wakil Rais Am K.H. Ali Yafie. Meski telah mengaku khilaf menandatangani surat rekomendasi permintaan bantuan ke Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (penyelenggara judi SDSB) untuk Yayasan Hasyimiah, organisasi anak NU di Jawa Timur, Yafie tetap mundur dari PBNU.
Tapi kejadian saat itu lebih bersifat pribadi. Sedangkan ancaman dari Lirboyo, yang kini disampaikan puluhan kiai yang justru tadinya dikenal sebagai pendukung setia Gus Dur, lebih demi kepentingan umum di lingkungan NU dan PKB. Melihat gelagat yang tak menguntungkan perkembangan partainya, Ketua Umum PKB Alwi Shihab menyempatkan diri sowan ke Lirboyo.
Di hadapan para kiai khos, menurut K.H. Noer Iskandar Sq., yang hadir dalam pertemuan itu, Alwi menjelaskan posisi dirinya dan Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro yang senantiasa tetap menghormati para ulama. Sebaliknya para kiai kembali mengingatkan peran mereka dalam kelahiran PKB.
Alwi pun melunak. Sebelumnya, dia meminta semua pihak menerima keputusan pleno Dewan Syuro. Tapi kini, menurut dia, keputusan reposisi terhadap Saifullah itu masih belum final. "Semua ini akan kita bahas dalam rapat pleno setelah Gus Dur pulang berobat dari Belanda," ujarnya.
Dia juga menjadi lebih berhati-hati dalam berkomentar. Soal ancaman para kiai khos di Lirboyo untuk membentuk partai baru, misalnya, dia malah menilainya sebagi wujud taushiah. Mantan Menteri Luar Negeri itu yakin, ancaman bukan bahasa kiai NU maupun PKB. "Saya sebaiknya no comment saja, cooling down," katanya.
Sejumlah kiai yang dihubungi TEMPO mengungkapkan, sikap keras yang mereka tampakkan terhadap Gus Dur merupakan fenomena baru. Perubahan kultur itu tak bisa ditahan, dan baik bagi perbaikan organisasi jam'iyah seperti NU. Juga untuk partai politik seperti PKB ke depan. Dan semua itu tak lepas dari akumulasi sejumlah persoalan di tingkat daerah.
Menurut pengurus PBNU yang enggan disebut jati dirinya, perlawanan para kiai muncul akibat kekecewaan mereka terhadap sikap pengurus pusat yang tidak akomodatif. Antara lain adanya pemecatan beberapa kader NU dari kepengurusan PKB di daerah. Juga tak direstuinya sejumlah calon kepala daerah pilihan kiai oleh pengurus pusat PKB maupun Gus Dur. Seperti dalam pemilihan Bupati Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan. "Puncaknya adalah dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur," bisik si pengurus.
Ketika itu, menurut dia, para kiai sepakat mengajukan Saifullah. Tapi Gus Dur justru mengajukan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Abdullah Kahfi. Langkah itu betul-betul melukai para kiai. Sebab, selain tentara, Kahfi adalah kader Muhammadiyah. Sehingga mereka mbalelo, dengan diam-diam merestui pencalonan kembali Imam Oetomo yang diajukan PDI Perjuangan. Sebab, meski sama berlatar militer seperti Kahfi, Imam lebih netral karena termasuk "abangan". Para kiai pun telah cukup menikmati kontribusinya selama lima tahun ia memimpin Jawa Timur. "Dalam konteks semacam itulah, Pak Hasyim Muzadi menyatakan, persoalan antara NU dan PKB yang mencuat sekarang ini akibat adanya sumbatan aspirasi," tutur si pengurus lagi.
Sebaliknya Wakil Ketua PKB, Mahfud Md., punya catatan tersendiri tentang hal itu. Menurut dia, dalam setiap pengajuan calon kepala daerah antara kelompok kiai yang satu dan lainnya tidak pernah kompak. Sehingga biasanya salah satu pihak akan sowan ke Gus Dur untuk mendapatkan preferensi. Sebaliknya pengurus pusat selalu berusaha tidak bersikap selama masih ada kubu-kubuan dalam pengajuan calon.
Begitupun dalam soal pencalonan Gubernur Jawa Timur. Karena pengurus wilayah dengan kiai tak satu suara, akhirnya Gus Dur sebagai pribadi mencarikan alternatif calon di luar NU dan PKB. "Kami di DPP biasanya hanya mendukung calon yang kompak seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah," kata mantan Menteri Pertahanan itu.
Khusus dalam soal pencalonan presiden pada 2004 pun, sumber di PBNU tadi juga mengungkapkan, langkah Saifullah yang mbalelo terhadap Gus Dur tak lepas dari sikap kiai. Para kiai sebetulnya sudah sepakat hanya mengajukan Hasyim. Keputusan itu cukup fair, karena saat ini dialah yang menjadi Ketua Umum PBNU. Seperti halnya Gus Dur saat tampil ke kursi nomor satu di republik ini. Apalagi dengan hambatan fisik yang masih melekat, sulit untuk mendukungnya kembali.
Kalaupun manuver Gus Dur ternyata diperuntukkan bagi orang lain di luar NU, hal itu juga akan sama menyakitkan. Guna memperkuat posisi tawar dan mencegah agar tak sekadar menjadi kereta tunggangan, akan dibentuk kaukus pengasuh pondok pesantren, Oktober mendatang.
Pertemuan di Lirboyo itu masih akan dilanjutkan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Ahad kemarin, para kiai akan bertemu di Pondok Pesantren Maslaku Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Di pesantren asuhan K.H. Sahal Mahfudh yang juga Rais Am PBNU itu, dipastikan bahwa apa yang direkomendasikan di Lirboyo tak akan mengubah substansi.
Berikutnya, pertemuan akan digelar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum di Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur, 19 September mendatang. Pertemuan yang dikemas untuk membahas persoalan hubungan antara NU dan PKB itu akan diikuti 99 kiai. Puncaknya, seribuan pengasuh pondok pesantren akan membentuk kaukus di Pesantren As-Shiddiqiyah, Jakarta, milik K.H. Noer Iskandar Sq.
Sementara para kiai bersafari dari pertemuan ke pertemuan, Gus Dur sejak awal pekan lalu tetirah ke Belanda. Di Negeri Kincir Angin, dia menjalani pemeriksaan kesehatan menyeluruh. Dan, sejak Kamis lalu, dia telah terbang ke Portugal untuk memeriksakan matanya. "Mungkin pekan ini sudah kembali ke Jakarta," kata Alwi.
Tentang berbagai perkembangan seputar PKB, menurut Alwi, Gus Dur sudah mengetahuinya. Tapi mantan Presiden RI itu lebih memilih menunggu situasi lebih dingin. Alwi mengisyaratkan perlunya dialog antara kedua belah pihak. Untuk itu, semua pihak harus menghilangkan prasangka dan lebih mengedepankan saling percaya demi kepentingan NU dan PKB secara keseluruhan.
Jadi, akankah Gus Dur menganulir pemecatan Saifullah? Dengan lirih Alwi menyatakan hal itu pada saatnya akan diputuskan dalam sidang pleno PKB. Hanya, sambil meredakan emosi masing-masing, dia menyarankan agar pleno tak dilakukan dalam waktu dekat. Selain itu, "Tentu harus ada konsesi-konsesi untuk mencapai win-win solution," katanya diplomatis.
Sudrajat, Dwijo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini