Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terganjal Sengketa Harta

Indonesia terus berupaya menagih aset yang ada di Timor Leste. Tapi parlemen negeri itu sudah membuat undang-undang yang menyebut harta itu milik mereka.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG berlantai dua itu sungguh merana. Cat putihnya memudar. Kiri-kanan dindingnya retak dan sedikit miring. Atap bolong. Kotoran hewan, juga kotoran manusia, berceceran di sana-sini. Beberapa ekor anjing keluar-masuk ke situ, mengais makanan. Bau busuk menyengat hidung, ketika TEMPO datang ke situ Rabu pekan lalu. Apek. Jika malam tiba, angin pantai mengirim bau tak sedap itu ke segala penjuru, juga ke Istana Presiden Xanana Gusmao, yang cuma beberapa meter dari situ. Sebelumnya, bangunan yang terletak di kawasan Caikoli, Dili, Timor Leste itu milik perusahaan asuransi tenaga kerja, kini menjadi Jamsostek, sebuah perusahaan milik pemerintah Indonesia. Dari situlah, dulu, semua urusan asuransi tenaga kerja di seantero bekas provinsi ke-27 itu berpusat. Setelah memisahkan diri pada 1999, gedung ini jadi sengketa: punya Indonesia atau Timor Leste? Karena tak jelas pemiliknya, nasibnya jadi terlunta. Rumput di halamannya setinggi lutut. Yang rajin ke situ malah hewan piaraan. Bangunan itu cuma satu dari ribuan harta Indonesia yang tertinggal di sana. Harta lainnya berupa gedung perkantoran, rumah sakit, perusahaan telekomunikasi, pabrik marmer, perusahaan minyak, hingga perkebunan kopi di gunung-gunung dan di lembah-lembah. Kini semuanya di bawah kendali Timor Leste. Pemerintah negeri itu membagi harta tersebut menjadi tiga kelompok, yaitu aset pemerintah atau badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan harta milik perorangan. Menurut Pedro de Sousa Xavier, Direktur Land & Property Timor Leste—semacam Badan Pertanahan Nasional di sini—aset-aset asing di negeri itu jumlahnya sekitar 12.000. Nilainya memang belum dihitung. Cuma ditaksir-taksir, totalnya bisa melambung ke bilangan ratusan miliar rupiah. Masalah kepemilikan aset itulah—selain masalah perbatasan—yang mengganjal hubungan Jakarta dengan Dili selama ini. Dua pekan lalu, batu ganjalan itu dibahas dalam Second Joint Ministerial Commission, yang berlangsung di Dili, setelah sebelumnya dibahas dalam pertemuan serupa yang digelar di Jakarta pada Oktober 2002. Dan tak cuma di tingkat menteri. Ketika Perdana Menteri Timor Leste, Mari Alkatiri, bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri Juni lalu, masalah kepemilikan aset itu juga dibicarakan. Berkali-kali dibahas, jalan keluarnya tak ketemu-ketemu juga. Dalam pertemuan di Dili itu, pihak Jakarta meminta agar hak Indonesia atas aset-aset itu diakui dan dianggap sebagai penyertaan modal dalam investasi. Memang belum ada putusan akhir, tapi tampak-tampaknya harapan itu bakal memukul angin alias mentok. Seperti mengirim lampu merah, Mari Alkatiri tetap tegas. "Posisi pemerintah Timor Leste jelas. Jika ada sesuatu yang perlu dipertahankan, pemerintah akan berupaya untuk tetap mempertahankan dan tidak akan ada perubahan," katanya kepada wartawan sesudah membuka pertemuan tingkat menteri di Dili itu. Tampaknya, pernyataan Alkatiri itu mengarah ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, yang secara khusus mengatur kepemilikan aset asing di Timor Leste. Undang-undang itu sudah diketuk parlemen negeri itu, awal Maret lalu. Dan di situ posisi Indonesia memang sulit. Pasal 4 undang-undang ini terang-terangan menyebut bahwa semua aset peninggalan pemerintah Portugis dan Indonesia resmi menjadi milik Timor Leste. Sonder tawar-menawar, apa pun bentuk harta benda itu, bergerak atau tidak bergerak, otomatis milik negeri itu. Nah, "Berdasarkan undang-undang itu, aset milik pemerintah asing menjadi milik negara Timor Leste," tutur Alkatiri dalam sebuah wawancara dengan Faisal Assegaf dari Tempo News Room di Jakarta Juni lalu. Berbekal undang-undang itu, kini pemerintah setempat terlihat sibuk merehabilitasi sejumlah kantor bekas pemerintahan Indonesia di sana. Di kawasan pusat Kota Dili, misalnya, sejumlah truk keluar-masuk membawa pasir memperbaiki gedung bekas kantor pendidikan pemerintah Indonesia. Puluhan tukang bangunan sibuk memermak atap, dinding, dan fondasi gedung itu. Di kawasan yang sama, beberapa kantor bekas milik pemerintah Indonesia, yang dulu hangus dilalap api saat kerusuhan meletus, juga tengah diperbaiki. Mereka bergerak cepat. Beberapa sudah siap pakai. Umumnya para tukang itu sekadar memperbaiki bagian yang rusak atau yang hangus terbakar. Hampir tak ada gedung yang dibangun ulang. Walau begitu, undang-undang itu masih memberikan toleransi kepada aset milik perusahaan swasta dan perorangan. Pasal 13 Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 menyebutkan bahwa warga negara asing diwajibkan mendaftar harta kekayaan kepada Direktorat Land & Property. Para pendaftar bisa datang langsung ke Dili atau melalui kedutaan besar negeri itu di Jakarta dan beberapa negara lainnya. Guna memudahkan pendaftaran itu, pemerintah Timor Leste juga membuka website khusus tentang masalah aset itu. Di situ dimuat secara lengkap beberapa peraturan seputar harta milik orang asing di negeri itu. Juga tersedia formulir pendataan aset dalam bahasa Tetun, Inggris, Portugal, dan bahasa Indonesia. Dan responsnya cukup besar. Hingga pekan lalu, jumlah klaim yang masuk ke Direktorat Land & Property sekitar 1.500 buah. Para pendaftar itu berasal dari badan hukum ataupun perorangan yang ada di Timor Leste, Portugal, dan juga dari Indonesia. Jadwal pendaftaran aset itu mestinya sudah berakhir. Tapi, dalam pertemuan di Dili dua pekan lalu itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, berhasil meminta pemerintah Timor Leste memperpanjang masa pendaftaran. "Pendataan itu diundur, karena banyak warga dan perusahaan Indonesia yang belum menyampaikan daftarnya," kata Wirajuda, Senin pekan lalu. Jadi, yang belum mendaftar silakan bergegas. Klaim-klaim ini nantinya akan diadministrasikan sementara oleh Direktorat Land & Property. Apa setelah itu langsung menjadi harta milik? Tidak juga. Prosesnya cukup panjang. Setelah mendaftar, data itu akan diteliti keabsahannya oleh direktorat tersebut. Nasib aset itu sangat ditentukan oleh sebuah undang-undang baru yang khusus mengatur hak warga negara asing atas properti mereka di negeri itu. Rancangan undang-undang itu kini tengah digodok parlemen dan dijadwalkan selesai tahun ini juga. Bagaimana dengan aset milik badan usaha negara yang sudah masuk bursa? Artinya, ada milik swasta atau perorangan dalam perusahaan itu. Itu lain lagi prosesnya. Menurut Pedro, pemerintah Timor Leste tidak serta-merta mengambil alih semua usaha milik negara Indonesia di sana, sebelum diteliti ada tidaknya saham milik swasta dalam perusahaan itu. Pedro memberi contoh aset Pertamina, milik pemerintah Indonesia, yang menyebar di sejumlah tempat di Timor Leste. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, kata Pedro, secara otomatis perusahaan itu akan menjadi milik negaranya, karena itu milik pemerintah Indonesia. Tapi, jika Pertamina mengajukan klaim adanya saham swasta di dalamnya, "Kami akan mempertimbangkan untuk mengunakan pasal 13 tentang aset swasta itu," kata Pedro. Pemerintah Indonesia hakulyakin bahwa sederet masalah yang menganjal kedua negara bisa diatasi. Pemerintah Timor Leste, menurut Hassan Wirajuda, sudah mamatok niat membangun hubungan istimewa dengan Jakarta. Wenseslaus Manggut, Alexandre Assis (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus