TAK mudah mempercayai rakyat. Tak mudah mempercayi muzhik. Seorang anak dokter tentara Rusea yang miskim, yang kemudian jadi cendekiawan terkemuka, Vissarion Belinsky, menulis surat kepada temannya: "Bngi rakyat kita, kebebasan . . . hanya berarti lisensi." Itu di tahun 1837. Rusia masih berada di bawah tsar, maharaja yang bisa membungkam mulut siapa saja. Dalam arti tertentu, seluruh bangsa adalah budak. Belinsky masih berumur 26, tapi ia melihat bahwa sejenis perbudakan memang tak terelakkan. Rusia, baginya, ibarat anak kecil - atau "budak" dalam kata Indonesia yang lain. Memberi si anak kebebasan sepenuhnva herarti merusak. "Bangsa Rusia yang bebas tak akan pergi ke parlemen, melainkan lari ke kedai, untuk minum, memecahi gelas, dan menggantung para priayi hanya karena mereka mencukur jenggot dan mengenakan pakaian Eropa." Belinsky pun memujikan otokrasi. Sadar atau tak sadar, ia berada di pihak mereka yang menghalalkan sensor dan pengekangan - bahkan mungkin juga pembuangan ke Siberia yang dingin dan jauh. Ia memang kemudian berubah: secara Iuas dianggap pelopor suara kaum radikal. Sejarahnya tak ikut dicoret sehagai pahlawan, setelah kemenangan revolusi Oktober 1917. Tapi apa yang berubah sebenarnya? Surat bertahun 1837 itu - yang menganggap muzhik makhluk yang tak siap buat merdeka - punya gemanya di seluruh kesadaran Rusia, dari dulu sampai sekarang. Kaum komunis, yang kini memegang tampuk kekuasaan di Kremlin, bukan saja suatu lapisan elite dalam revolusi, tapi juga hanya pembava suara buruh, bukan tani. "Petani," kata Penulis Max(im Gorky, sahabat Lenin itu, "di mana-mana sama saja." Kita seperti mendengar nada merendahkan dalam kalimat seperti itu. Mungkin itu pun khas sikap seorang cendekiawan kota besar kepada orang udik, keraguan seorang intelektual kepada satu bagian besar dari massa, rakyat banyak. Seperti Bazarov, salah satu tokoh utama novel Turgenev yang termasyhur, Ayah dan Anak, yang bicara dengan congkak tentang kaum muzhik: "Petani kita sedia untuk merampok diri sendiri supaya bisa minum di losmen sampai buta." Maka, mereka memerlukan bos. Maka, mereka memerlukan tangan pembimbing yang kuat. Pepatah pun disusupkan perlahan-lahan, dari generasi ke generasi, ke kepala mereka, bahwa tsar adalah Batushka, sang bapa, sebagaimana bumi adalah ibu. Dengan kata lain: suatu kekuasaan yang telanjang dan nyata ditransformasikan ke dalam suatu tokok legenda - memikat, menimbulkan getar, dan tak terjangkau. Tak heran bila tsar hampir setinggl Tuhan jaraknya dari orang banyak. Bahkan para bangsawan Rus yang gemuk-gemuk itu harus menyentuhkan dahi ke tanah bila mereka mengucapkan salam kepada bapa mereka yang ada di Kremlin. Seorang Inggris yang diam di ibu kota Rusia pada abad kc-17 bahkan pernah dicatat ucapannya dalam sejarah: "Siapa yang berani mengungkapkan apa yang dibicarakan di istana tsar, berarti mati." Rahasia punya riwayat yang panjang rupanya, di balik dinding itu. Di abad ke-20 yang hampir berakhir ini pun rahasia itu masih tebal. Kekuasaan itu seolah tak tertembus. Iwan Yang Mengerikan dan Stalin (yang menurut Khruschev juga mengerikan) mungkin berbeda jauh, tapi keduanya sering jadi bukti: Ibu Rusia memang harus selalu melahirkan krepki khozayn, bos perkasa, untuk anak-anaknya. Wartawan Amerika Hedrick Smith dalam The Russians, sebuah buku jurnalistik tentang hidup di Uni Soviet, pernah bertanya: kenapa penguasa Kremlin mudah cemas menghadapi kerewelan sejumput intelektual, padahal kekuasaan Partai begitu kukuh? Jawabnya: rakyat toh akhirnya tak bisa dipercaya mengelola kebebasan mereka sendiri. "Anggur itu baik bagi orang dewasa," kata Belinsky, "tapi fatal bagi anak-anak, dan politik adalah anggur, yang di Rusia bisa jadi candu." Goenawan Mohamad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini