Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana dan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik mengenai kebijakan pemerintah dalam mengekspor benih lobster (Puerulus) terus terjadi di tengah badai pandemi Covid-19. Banyak kepentingan yang membumbui persoalan ini. Perdebatan berpusat pada apakah upaya pemanfaatan dan konservasi lobster itu merupakan natural recovery process atau semi-artificial recovery process. Kalau dipahami lebih dalam, makna keduanya adalah perkara manajemen keberlanjutan lobster, yaitu populasi (reproduksi, rekrutmen, dan pengayaan stok), ekologi (kesehatan habitat), bisnis (lapangan kerja, pasar, manajemen data), dan ekonomi (pendapatan bagi masyarakat, pelaku usaha, dan bangsa). Perbedaan pendapat kedua kubu tidak akan terus melebar jika konsep ini bisa dipahami. Setidaknya ada tiga kepentingan mendasar yang dapat mengurangi perbedaan tersebut dan bisa dijadikan pertimbangan agar manajemen keberlanjutan lobster dapat dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepentingan pertama adalah masalah lemahnya pengawasan penangkapan dan ekspor. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena, di masa pelarangan ekspor benih saja, tetap terjadi penyelundupan benih. Dari berbagai sumber data penyelundupan selama 2018-2019, tercatat lebih dari 5 juta benih (meningkat 103 persen dibanding pada 2018) yang digagalkan dengan perkiraan nilai ekonomi sebesar Rp 206 miliar lebih (asumsi harga nelayan Rp 40 ribu per ekor). Dalam kondisi diawasi dan dibatasi saja, jumlah penyelundupan sudah sebegitu besar, bagaimana bila dilegalkan. Mengizinkan ekspor dikhawatirkan akan melonggarkan pengawasan, sehingga semakin besar potensi stok benih yang keluar tanpa izin.
Meningkatnya jumlah ekspor benih ini dapat melemahkan daya saing lobster nasional. Namun klaim bahwa legalisasi ekspor akan membuat potensi penyelundupan melemah harus diuji dengan memastikan kemampuan pengawasan dan pertumbuhan usaha lobster negara tujuan. Dampak lain adalah lemahnya daya saing usaha lobster dalam negeri, dan hal ini harus diantisipasi.
Kepentingan kedua adalah penguatan daya saing global dengan memperkuat pasar domestik dan internasional. Di era pandemi ini, pasar domestik terasa lebih rasional dibanding pasar ekspor, walaupun ekspor lebih menjanjikan untuk pertumbuhan ekonomi yang cepat. Legalisasi ekspor dapat berdampak melemahnya ekonomi nasional di sektor perikanan. Ketika penjualan benih lebih cepat mendatangkan uang, akan ada kecenderungan terjadi eksploitasi benih berlebihan.
Ketika tidak ada pengawasan dan pencatatan data benih penjualan nelayan penangkap, potensi kebocoran tetap tinggi. Kebocoran berikutnya adalah rendahnya devisa dari ekspor benih dibanding ekspor dewasa. Dengan potensi dua miliar lebih lobster, ada potensi ekonomi sekitar Rp 60 triliun. Jika, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015, tarif ekspor ditetapkan Rp 0,25 per ekor benih krustase (Puerulus adalah kelompok krustase), potensi pendapatan negara hanya Rp 500 juta.
Dengan budi daya lobster, potensi stok lobster dewasa bisa mencapai 800 juta ekor sehingga potensi ekonominya bisa mencapai Rp 160 triliun, dan pendapatan negara dari lobster dewasa mencapai Rp 400 miliar. Dari perhitungan sederhana ini, terlihat bahwa ekspor benih sama sekali tidak kompetitif dan tak memberikan efek ganda, baik kepada nelayan penangkap, daya saing usaha lobster, maupun pendapatan negara.
Kepentingan ketiga yang harus diperhatikan dalam sistem bisnis lobster adalah momentum penciptaan lapangan kerja. Penguatan sistem budi daya akan mampu menyerap lebih banyak pekerja. Jika ekspor benih tetap dilakukan, akan banyak kebocoran ekonomi dan kehilangan potensi lapangan kerja yang seharusnya bisa dioptimalkan. Saat pandemi ini, seharusnya sektor perikanan dan kelautan harus hadir sebagai solusi dalam penyediaan lapangan kerja dan ekonomi bangsa.
Perbedaan pandangan yang terjadi tidak lantas menghentikan kita mengelola lobster dengan tetap mengedepankan prinsip perikanan berkelanjutan. Jalan tengah yang dapat dipilih adalah sebagai berikut. Jalan pertama adalah meninjau ulang legalisasi ekspor benih lobster agar upaya pengembangan potensi ini dapat berjalan secara mulus.
Jalan kedua adalah membangun etalase budi daya lobster di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kita yang terintegrasi dari benih sampai pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini, kita juga akan mampu mengelola data lobster dengan lebih baik. Jika memerlukan alih teknologi, kita bisa memberikan peluang kepada investasi asing untuk masuk dalam jangka waktu tertentu.
Jalan ketiga, jika ekspor menjadi sesuatu yang sangat urgen, kendali pada titik terlemah harus diperkuat, yakni kendali pada proses penangkapan, di pusat kumpul sebelum proses ekspor, dan di titik keluar. Yang paling penting adalah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 dengan proporsi minimal 25 persen dari harga dasar benih di pasar lokal yang menjadi harga ketetapan dasar. Proses ini penting agar kebocoran tidak terjadi, tapi harus dipastikan semua pemangku kepentingan dapat menerimanya sebagai langkah strategis.
Jalan keempat adalah memberikan insentif bagi pengusaha yang mampu menyiapkan sistem terintegrasi dari benih sampai ekspor pada etalase tersebut. Dengan mengambil jalan ini, bisnis usaha lobster tanpa ekspor benih akan mampu menjadikan perikanan lebih berdaya saing dan menjadi solusi di tengah sulitnya lapangan pekerjaan. Jalan di atas dapat dijadikan pilihan sebagai titik temu sengkarut soal lobster agar usaha perikanan terus bergerak maju.