Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden gagal memahami hak dan kewajiban pemerintah serta warga negara.
Pemerintah melanggar hak publik untuk mendapatkan kebutuhan sebagai warga negara.
Bertahun-tahun layanan BPJS Kesehatan amburadul
INSTRUKSI Joko Widodo yang mewajibkan keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai syarat masyarakat mendapatkan layanan publik menunjukkan kegagalan Presiden memahami kewajiban pemerintah serta hak warga negara. Selain berpotensi maladministrasi, instruksi ini bersifat diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keanggotaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mendapatkan layanan publik tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang berlaku pada 1 Maret 2022. Kartu BPJS Kesehatan akan menjadi syarat utama bagi masyarakat memperoleh surat izin mengemudi (SIM), mendaftar umrah, ataupun memproses jual-beli aset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuannya memang baik, yakni mengoptimalkan program jaminan kesehatan semesta sesuai dengan konstitusi. Pemerintah sedang mengejar target agar seluruh masyarakat terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hingga kini, baru 86 persen atau sekitar 230 juta jiwa yang menjadi pesertanya. Namun, jika tujuan baik ini menjadi instrumen negara menghalangi masyarakat mendapatkan layanan publik, pemerintah memakai cara yang keliru.
Mengurus surat-surat berkendara, mengikuti umrah, ataupun mendapatkan sertifikat properti merupakan hak masyarakat sebagai warga negara. Jika mereka tak memperoleh layanan-layanan tersebut karena belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, pemerintah jelas melanggar hak publik untuk bebas mendapatkan kebutuhan sebagai warga negara.
Sebab, pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan merupakan kewajiban negara. Membatasi hak masyarakat demi menjalankan kewajiban adalah pelanggaran manajemen bernegara. Maka, alih-alih menghalangi masyarakat mendapatkan haknya, lebih baik pemerintah menjalankan lebih dulu kewajibannya.
Ada banyak faktor masyarakat enggan menjadi peserta BPJS Kesehatan. Studi Rina Agustina dan para koleganya di Universitas Indonesia yang terbit di jurnal The Lancet pada 2019 menemukan bahwa ada kelompok masyarakat yang mampu membayar iuran tapi tak memiliki keinginan menjadi anggota BPJS Kesehatan. Alasannya, mereka ragu akan kualitas layanan lembaga ini.
Bertahun-tahun layanan BPJS Kesehatan amburadul. Perilaku rumah sakit yang menggelembungkan biaya, mekanisme hubungan BPJS-rumah sakit yang belum baku, serta fasilitas kesehatan yang belum merata merupakan sederet penyebab urusan kesehatan publik tak mencapai konsep layanan kesehatan semesta.
Karena itu, ketimbang Presiden mewajibkan masyarakat menjadi peserta BPJS dengan membatasi hak mereka mendapatkan layanan publik, pemerintah sebaiknya membereskan lebih dulu kekacauan tata kelola BPJS.
Membiarkan BPJS amburadul akan memperparah keruwetan dalam penyediaan layanan kesehatan masyarakat yang merupakan ciri negara modern. Dalam konsep layanan kesehatan universal, pertama-tama yang harus tercipta adalah akses yang setara dan adil untuk seluruh masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu BPJS yang profesional, yang bisa menyediakan fasilitas kesehatan yang terjangkau.
Dengan BPJS Kesehatan yang profesional, layanan kesehatan universal akan memberikan servis prima. Jika urusan tata kelola ini beres, masyarakat akan dengan sukarela menjadi pesertanya, tanpa harus dipaksa dengan membatasi hak mereka mendapatkan pelayanan publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo