Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat kembali menyerukan keadilan untuk Baiq Nuril setelah keluar putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA). Putusan itu menguatkan putusan kasasi MA, yang menghukum Baiq dengan pidana penjara 6 bulan dan denda sebesar Rp 500 juta. Polemik seruan keadilan untuk Baiq terjadi ketika Pengadilan Tinggi Mataram menghukum Baiq dengan pidana tersebut, yang selanjutnya dikuatkan oleh MA pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seruan keadilan muncul karena nyata-nyata Baiq sebagai korban justru diposisikan sebagai pelaku. Kasus ini bermula ketika Baiq merekam telepon tidak senonoh kepala sekolah tempatnya bekerja sebagai bukti terjadinya pelecehan. Karena malu, kepala sekolah melaporkan Baiq dengan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena "tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan".
Protes masyarakat atas ketidakadilan muncul kala MA tetap menghukum Baiq di tingkat kasasi. Presiden tidak dapat serta-merta menerbitkan grasi untuk Baiq, mengingat salah satu syarat pemberian grasi adalah ancaman hukuman 2 tahun atau lebih. Baiq lantas menempuh upaya hukum peninjauan kembali karena ingin memperjuangkan kebenaran materiil.
Tampaknya hukum dalam hal ini memang tak memiliki standar yang pasti. Stigma hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas benar-benar terjadi dalam kasus ini. Laporan Baiq atas percakapan mesum kepala sekolah tempatnya bekerja hingga saat ini tak kunjung memasuki tahap penyidikan. Sebaliknya, kacamata legalistik justru digunakan para penegak hukum dalam kasus ini. Kejaksaan justru melakukan upaya hukum ketika Baiq dibebaskan di tingkat pengadilan negeri dengan dalih prosedur standar kejaksaan adalah wajib banding pada setiap putusan bebas. Demikian pula alasan penolakan upaya hukum peninjauan kembali oleh BN adalah tidak ditemukan adanya novum (bukti baru) sehingga tidak memenuhi syarat.
Kini praktis sudah tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Baiq, mengingat sebenarnya baik grasi maupun amnesti juga bukan upaya hukum yang tepat. Grasi dan amnesti lebih tepat disebut sebagai terobosan hukum. Hobbs (1996) menyebutnya sebagai perwujudan dari model ketatanegaraan trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang memungkinkan kontrol di tiap-tiap sistem, yang disebut checks and balances.
Dalam kasus Baiq, pemberian grasi ataupun amnesti merupakan bentuk checks and balances fungsi eksekutif dan/atau legislatif pada fungsi yudikatif. Baik grasi maupun amnesti yang akan diusulkan sejatinya harus dipandang dalam perspektif progresif. Sebagaimana diuraikan Satjipto Raharjo (2000), pada esensinya, hukum dibuat untuk melindungi manusia itu sendiri.
Mekanisme penerapan hukum dengan pendekatan progresif adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan mendasar, dan melakukan berbagai terobosan hukum untuk mencapai keadilan pada masyarakat yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Jika dipandang dalam sudut pandang legalistik, meskipun nyata-nyata menjadi korban dan tidak bermasalah, Baiq tetap tidak memenuhi syarat mendapat grasi dan amnesti.
Semua pihak, terutama masyarakat luas, bersepakat Baiq harus dibebaskan, dan kini opsi untuk membebaskannya adalah menggunakan pendekatan hukum progresif dengan pemberian grasi atau amnesti. Tampaknya, opsi grasi lebih banyak memunculkan dampak negatif bagi preseden penegakan hukum. Selain syaratnya adalah hukuman di atas 2 tahun, pada permohonan grasi, Baiq wajib mengaku bersalah, yang artinya sekaligus akan menggugurkan laporan Baiq ke polisi atas mantan kepala sekolahnya. Selain itu, penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa putusan peninjauan kembali tidak dapat diajukan grasi.
Meskipun tidak lazim, terobosan hukum yang paling memungkinkan adalah amnesti, meski memerlukan waktu yang lebih panjang. Mengacu pada UUD 1945, Presiden harus lebih dulu mendengarkan pendapat dan rekomendasi DPR dan MA sebelum menerbitkan amnesti. Dalam hal ini, peran serta masyarakat dalam mengawal proses amnesti ini sangat diperlukan.
Tampaknya baik presiden, menteri terkait, maupun DPR akan sependapat mengenai pemberian amnesti bagi Baiq. Tantangannya adalah apakah MA akan dapat menyingkirkan ego sektoralnya sehingga memberikan rekomendasi, yang artinya bertentangan dengan putusan kasasi dan peninjauan kembali. Bagi MA, jika mampu menyingkirkan ego sektoralnya, rekomendasi ini dapat dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap putusan sebelumnya sehingga masyarakat akan tetap memandang MA mampu memberi keadilan kepada masyarakat.