Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jelek-jelek saya pernah "meramalkan" situasi wabah Covid-19 ini dalam sebuah kolom berjudul"Flu Ikan! Flu Sayur! Flu Udara!", yang ditulis 14 tahun lalu. Mohon maaf, dalam kolom itu saya memang rada-rada sinis akan ketakutan manusia untuk mati. Konteksnya waktu itu antraks, yang bagi saya terdengar seperti institusi sepur Amerika, Amtrak, tapi dalam bahasa Indonesia artinya sungguh "sastrawi": penyakit sapi gila.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasnya, saya mengatakan kalau gara-gara antraks manusia menghindari daging sapi, gara-gara flu burung menghindari daging ayam, terus bagaimana kalau berlanjut dan dikepung oleh "flu ikan" (jangan makan semua ikan, pindah makan sayur), "flu sayur" (jangan makan semua sayur, pindah "makan" pernapasan tenaga prana), dan "flu udara" (jangan menghirup udara, tamatlah Homo sapiens)?
Tentu ini hanya imajinasi jail. Sekadar menggoda manusia yang "terlalu sayang" kepada hidup, dalam arti tidak mempunyai ruang pengorbanan secuil pun dalam dirinya. Jadi, kalau ada wabah, bahkan baru mendengar beritanya saja, sudah diterima bagaikan "kiamat". Sikap yang membuat saya menuliskannya sebagai "ke-merèngèk-an yang mengundang penindasan selanjutnya". Saya memang hanya menggoda, setengah menakut-nakuti, tapi serius dengan tesisnya: betapa rapuh kehidupan manusia dalam ketergantungan. Apalagi jika hanya "ketergantungan sekunder": harus makan daging sapi, ayam, dan seterusnya.
Sebetulnya ini hanya cara untuk mengingatkan bahwa ketika ketergantungan itu menjadi absolut, seperti kode "udara" untuk lingkungan hidup, bahwa abainya manusia mempelajari lingkungan hidupnya, apalagi setelah berumah dengan nyaman dalam semesta virtual, merupakan pengingkaran fatal.
Saya tulis sebagai penutup: "Penyakit sapi gila dan flu burung itu ada, bukan hanya cerita di koran dan televisi. Begitu pula berbagai penyakit baru tapi lama, maupun penyakit baru yang betul-betul baru. Semuanya ancaman bagi kelanjutan spesies manusia. Anda memilih untuk panik dan menghindar ke balik dinding ataukah menghadapinya? Karena flu burung sungguh tak bisa dilawan dengan dukun." (Djakarta!, 21 Maret 2006).
Tak dinyana, yang bagi saya permainan imajinasi hari ini menjadi kehadiran konkret: Covid-19 menyebabkan orang-orang bermasker di mana-mana, tak kurang-kurangnya yang terindikasi positif, sebagian meninggal, dalam kecepatan yang merupakan "rekor wabah", berlangsung praktis secara global, terutama di wilayah urban. Belum pernah dalam sejarah wabah berlangsung mobilisasi, efektif maupun tidak, secara massal di seluruh dunia seperti kasus ini.
Untuk pertama kalinya tema yang hanya terdapat dalam science fiction, baik buku maupun film, menjadi fakta: umat manusia versus apa pun itu yang jelas masih asing tapi berpotensi memusnahkan, setidaknya sebagian. Bedanya, yang disebut science di sini tidaklah canggih futuristik. Selain virusnya barang baru, obatnya belum ada. Cara mengatasi yang paling efektif sungguh purba: masuk gua. Tentu, maksud saya rumah, tapi apalah bedanya? Jadi, rupa-rupanya ada yang lebih penting selain "kemajuan", yang selama ini seolah-olah menjadi tujuan hidup manusia, dan ternyata bukan.
Segala sesuatu yang semula merupakan prioritas tanpa pernah dipertanyakan lagi telah menjadi tidak lebih penting-kegiatan politik, ekonomi, agama, olahraga, kesenian, pendidikan, keamanan. Nyaris semuanya kini dikalahkan oleh satu bidang terpenting, yang meskipun memang resminya kebutuhan primer, tidak selalu mendapat prioritas yang mengutamakan antisipasi situasi seperti ini: kesehatan.
Virus merujuk pada kesehatan raga, tapi yang lebih mewabah dan memakan korban lebih parah dari kematian adalah kepanikan dalam segala pengertian, dari kepanikan moral hingga sosial. Jika kematian memupus penderitaan, kepanikan yang tidak perlu membunuh lebih menyiksa daripada kematian. Apabila kepanikan moral melahirkan keputusan tanpa penalaran, kepanikan sosial yang diakibatkannya memperlihatkan borok kehidupan bersama.
Itulah borok yang berkembang sama cepatnya: (1) kepentingan diri sendiri di atas kepentingan bersama yang terlihat dari permainan harga; (2) arogansi yang meskipun lahir dari kurangnya pengetahuan mengungkap ketidakpedulian dan ketidakpekaan sosial yang merupakan borok rawan, bagi hari ini maupun masa depan; (3) terlacaknya manuver-manuver politis demi kepentingan golongan dalam berbagai aksi viral menyesatkan, termasuk yang tidak melakukan manuver apa pun tapi menanti peluang terbaik dalam disorganisasi otoritas pemerintahan.
Bagaimanapun, dalam suramnya hari demi hari, keindahan manusia masih memperlihatkan kerlip cahaya, dalam pengorbanan tanpa pamrih para pejuang di garis terdepan, maupun bangkitnya gerakan relawan, yang maknanya menyembuhkan pesimisme atas kualitas kebangsaan.