Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARTERIA Dahlan memang sudah minta maaf karena sikap rasialisnya dalam rapat dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 17 Januari 2022. Dalam rapat itu, anggota Komisi Hukum DPR dari PDI Perjuangan ini meminta Burhanuddin mengganti seorang Kepala Kejaksaan Tinggi karena memakai bahasa Sunda ketika sedang rapat dengannya.
Orang Sunda tentu harus menerima permintaan maaf itu. Jika mau terus menghukumnya, jangan beri suara kepadanya. Karena Arteria mewakili Jawa Timur, orang Sunda bisa menghukum dengan tak memilih partainya. Dalam demokrasi, cara menghukum politikus yang menjengkelkan adalah dengan tidak memilihnya agar mereka tak mewakili kita membuat hukum yang mengatur hajat hidup orang banyak.
Sebab, politikus seperti Arteria jadi wajah DPR kita hari ini, yang tenar karena perilakunya tak senonoh. Mungkin mereka sedang mempraktikkan peribahasa Arab bul 'alaa zamzam fatu'raf, kencingi sumur zamzam jika ingin terkenal. Tentu, terkenal seperti itu bukan tenar karena prestasi tapi karena kebodohan dan ketidakpatutan.
Bisa juga karena ini: petantang-petenteng untuk menutupi nyali, sok kuasa untuk menyembunyikan kelemahan. Soalnya, dalam sebuah rapat di DPR, Arteria Dahlan ternyata juga memakai idiom bahasa Sunda ketika mengucapkan kata “ujug-ujug”. Arteria seolah tidak tahu jika kata ini berasal dari bahasa Sunda.
Karena itu, setelah Indonesia merdeka 76 tahun, menyoal perbedaan karena suku, ras, agama, sudah sangat ketinggalan. Jika politikus seperti Arteria tak paham soal mendasar ini memang ada yang keliru dalam pendidikan karakter kita. Setidaknya, PDIP gagal mendidik kadernya.
Apalagi, memuliakan bahasa daerah adalah amanat UUD 1945 pasal 32 ayat 2, yang harusnya jadi pengetahuan dasar seseorang sebelum terjun ke dunia politik. Cara memuliakan bahasa daerah adalah memakai idiom-idiomnya dalam percakapan. Sehingga bahasa Indonesia, yang terbangun oleh begitu banyak bahasa daerah, akan semakin kaya.
Arteria Dahlan mungkin tak paham makna bahasa sedalam itu. Arogansinya mengubur kedudukannya sebagai anggota DPR yang mendapat kemuliaan mewakili rakyat membuat undang-undang dan mengawasi pemerintahan. Arogansi yang kini jadi gejala umum di gedung parlemen.
Dalam rapat 19 Januari 2022 saat membahas APBN, Komisi Sosial DPR mengusir Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial karena dianggap berkomunikasi tidak sopan. Sepekan sebelumnya Komisi Hukum mengusir Komisi Nasional Perempuan karena telat. Alih-alih terlihat menegakkan aturan, para anggota DPR tengah menunjukkan sok kuasa dengan semena-mena kepada orang lain.
Pamer jabatan dan kuasa ini juga acap kita lihat di luar gedung DPR. Dengan nomor khusus kendaraan mereka acap minta diistimewakan di jalan umum, bahkan di tengah kemacetan. Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor khusus polisi.
Dengan deretan arogansi dan sok kuasa itu wajar jika DPR tak dipercaya publik. Dalam survei Indikator Politik pada September tahun lalu, DPR dan partai politik menjadi lembaga negara paling tidak dipercaya masyarakat.
Untuk itu, agar kehormatan DPR sedikit naik, Majelis Kehormatan Dewan sebaiknya proaktif menangani perilaku anggota-anggotanya yang lancung. Meskipun ini harapan muluk, jika MKD memberi sanksi tegas kepada mereka yang berbuat tidak patut, publik mungkin akan kembali menaruh harapan kepada lembaga ini.
Satu-satunya cara agar kepercayaan masyarakat pulih, DPR kembali ke perannya sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik. Merebut kembali kebebasan melalui Reformasi 1998 terlalu mahal ongkosnya jika demokrasi melahirkan DPR seperti kritik Franz Kafka yang dikutip penulis Italia Leo Longanesi dalam Let’s Talk About the Elephant: seorang idiot adalah seorang idiot, dua orang bodoh adalah dua orang bodoh, tapi sepuluh ribu orang dungu adalah partai politik.
Catatan koreksi: Editorial ini telah diubah 24 Januari 2022 pukul 21.20 WIB pada kalimat "Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor polisi yang sama berlogo DPR" menjadi "Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor khusus polisi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini