AKTRIS Rebecca Gilling, pemeran tokoh Stephanie dalam film seri Return to Eden yang ditayangkan TVRI beberapa waktu lalu, punya kesibukan baru di luar dunia film. Bintang film ayu dari Benua Kanguru ini terpilih menjadi anggota pengurus Institut Australia-Indonesia (IAI), yang diresmikan Menteri Luar Negeri Australia Garreth Evans di Canberra Jumat pekan lampau. Tugas yang akan diemban Rebecca Gilling adalah bidang kesenian. "Dalam susunan pengurus IAI hanya nama saya yang dicantumkan pada seksi kesenian," ujarnya kepada Dewi Anggraini, pembantu TEMPO di Australia. Bersama Rebecca Gilling, ada 11 nama lain yang terpilih sebagai pengurus IAI. Di antaranya, Bill Morrison, bekas duta besar Australia untuk Indonesia, yang mengakhiri masa tugas di Jakarta awal tahun ini. Untuk jabatan ketua IAI, Menteri Evans menunjuk pembantu dekatnya, Bruce Grant, bekas diplomat yang juga dikenal sebagai penulis buku politik dan kritik film. Keinginan membentuk IAI sebetulnya telah ada sejak dulu. Tapi gagasan itu terpaksa "dipetieskan" dulu. Karena hubungan Indonesia-Australia pada tahun-tahun belakangan ini agak "dingin". Baru setelah Menparpostel Soesilo Soedarman berkunjung ke Australia dalam rangka menghadiri "Indonesian's Day" pada Expo Brisbane, Agustus 1988, terlihat titik terang bagi kelahiran IAI. Kabarnya, waktu itu ia berjanji membicarakan pembentukan IAI di Jakarta. Tak heran ketika Evans berkunjung ke Jakarta Oktober lalu, dan menyodorkan proposal IAI, Menlu Ali Alatas menyambut hangat keinginan itu. Selang lima bulan kemudian, tatkala Alatas melakukan kunjungan balasan ke Australia, soal IAI termasuk agenda pembicaraan kedua menteri, dan final. Segera setelah kesepakatan dicapai, soal pembentukan IAI diumumkan lewat televisi Australia. Apa saja kegiatan yang akan dilakukan IAI? "Kegiatan IAI berada di luar kancah politik dan kenegaraan," kata Grant ia menambahkan, IAI, sebagai lembaga nonpemerintah, akan mengambil porsi dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Adapun prioritas kegiatan IAI, antara lain disebutkan program pertukaran informasi, pemuda, guru bahasa. dan pengiriman misi kesenian. Tentang program saling tukar informasi ini, Grant merencanakan mengundang sejumlah wartawan Indonesia untuk meliput soal-soal nonpolitik di Australia, seperti masalah pariwisata, perkembangan ilmu pengetahuan, dan film. Selain itu, IAI juga berniat menjadi promotor bagi terselenggaranya kerja sama bisnis atau pengembangan ilmu pengetahuan dari kedua negara. Untuk itu, IAI siap membuka dompet bagi penyelenggaraan seminar maupun penataran. Untuk membiayai program-program yang punya dampak mempererat hubungan masyarakat Indonesia dan Australia itu, Canberra pada tahun pertama ini menyediakan dana Rp 1 milyar. Ada satu soal dalam hal mempererat hubungan kedua negara yang diakui Grant secara terus terang sulit untuk diatasi IAI: "menjinakkan" pers Australia, yang sering menjadi sumber kerawanan hubungan Jakarta-Canberra. Ia hanya mengusulkan agar berita-berita yang miring itu dianggap angin saja. "Kekuatan pers itu justru luruh kalau tak ada reaksi," ujar Grant. Kendati demikian, Direktur Asia Pasifik Departemen Luar Negeri Indonesia, Azhari Boer, menyebut IAI bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi kedua negara. Kegiatan IAI yang berskala luas itu, tamhah Azhari, bisa meningkatkan pemahaman masyarakat Australia atas Indonesia, juga sebaliknya. Selama ini, hubungan timbal balik antara masyarakat Indonesia dan Australia, seperti dikatakan Theo Sambuaga, Ketua Grup Kerja Sama Parlemen Indonesia-Australia, sering terasa timpang. "Sering ada kesalahan persepsi dari pihak Australia," ujarnya. "Adalah menjadi tugas IAI untuk meluruskan pandangan yang keliru tersebut." Dari sisi masyarakat Indonesia, kata Theo lagi, hubungan dengan Australia tak ada masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini