SEKITAR lima puluh ulama tumpah di lantai dasar Masjid Istiqlal, Senin siang pekan ini. Mereka mengikuti sidang paripurna MUI yang, antara lain, membahas Rancangan Amanat Sejarah Umat Islam Indonesia -- semacam pertanggungjawaban ulama kepada umatnya, khususnya mengenai asas Pancasila. "Semoga amanat ini menjadi rahmatan lil Indonesiyyi," kata Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), sembari tersenyum renyah. Rancangan yang akan membahas sejarah masuknya Islam dan keterlibatan umat Islam dalam membidani lahirnya republik hingga era asas tunggal sekarang ini, dianggap penting, sebagai pegangan umat terutama untuk generasi Islam yang akan datang. Artinya, "Jangan sampai timbul kembali gejolak-gejolak yang tidak perlu, dengan dalih mempersoalkan Pancasila," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali kepada TEMPO. Gagasan tentang perlunya pertanggungjawaban ulama ini, konon, pertama kali muncul dari Kiai Achmad Siddiq, rais am NU. Dalam penjelasannya pada sidang paripurna MUI yang pertama, Januari silam, ia melontarkan pemikiran itu. Rupanya, banyak pihak yang memberikan respons. Tapi ada juga yang mempersoalkannya. Misalnya mengapa pertanggungjawaban tentang asas tunggal mesti dilimpahkan dan menjadi bidang garapan MUI? Karena satu-satunya lembaga yang dianggap paling tepat untuk itu adalah Majelis Ulama, kata Menteri Munawir. "Komposisi MUI sekarang ini betul-betul mencerminkan wadah umat Islam. Yang mewakili umat itu, ya, di sini," tambah Munawir, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu. Ini menjadi semakin penting setelah gagasan itu, yang dikupas oleh panitia ad hoc di bawah asuhan Hasan Basri bulan September lalu, menjadi sebuah rancangan: Amanat Sejarah Umat Islam Indonesia. Rancangan sepanjang 11 halaman karya ulama dari ormas-ormas Islam yang duduk di MUI itu, rupanya, tidak luput memasukkan tema Ormas Islam dan Undang-Undang Keormasan Nomor 8 tahun 1985 sebagai pasal tersendiri. Bukan apa-apa. Sebab, UU itu sendiri memungkinkan semua ormas Islam terpayungi dalam melaksanakan tujuan masing-masing. Di samping itu, ada sisi yang lain. Menurut seorang peserta yang ikut sidang paripurna itu, pemasukan tema asas tunggal di dalam amanat sejarah itu semacam dipaksakan oleh Munawir yang punya kemauan politik tertentu. Tapi hal ini segera terbantah. "Itu bukan keinginan saya. Itu ide beliau-beliau (para ulama) sendiri," kata Munawir. "Saya nggak punya keinginan pribadi." Agaknya benar bahwa penulisan sejarah seperti itu nanti justru menguntungkan kepentingan para pimpinan ormas. Malah, Abdurrahman Wahid, Ketua Tanfidziah NU, memandang amanat "bersayap" itu sebagai dokumen penting. Ia berpikir bahwa selama ini ulama itu tidak selalu satu pandangan dengan ulama lain di masa mendatang. Gus Dur ini malah cenderung melihat amanat itu sebagai "ijma ulama Indonesia tentang itu". Sedangkan H.S. Prodjokusumo, Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang juga Sekretaris MUI, juga melihatnya sebagai hasil kesepakatan ulama. Nah, dengan demikian, di dalam Amanat Sejarah Umat Islam nanti, kata Hasan Basri, "Asas tunggal itu termasuk salah satu dari proses itu. Ini membuktikan bahwa Pancasila itu tidak baru diterima sekarang," katanya. Karena itu, buatlah tulisan itu nanti, agar kemudian orang yang membacanya, "Baik yang setuju maupun yang tidak setuju akan mengatakan, "Inilah yang benar," tambahnya. Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini