Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEREMBUK dengan Marcella Zalianty, suara Erros Djarot terdengar muram, Rabu malam pekan lalu. Di kantor Keana Production, lantai tiga Gedung Central Cikini, Jakarta Pusat, sutradara itu sedang berbincang dengan pemeran utama sekaligus produser film layar lebar Lastri. Mereka membicarakan jadwal pengambilan gambar.
Mestinya, malam itu mereka masih di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, untuk merekam sejumlah adegan. Urut-urutan syuting yang sudah disusun rapi dan ketat mendadak amburadul. Erros dipaksa menghentikan pengambilan gambar di lokasi itu.
”Saya tidak boleh syuting karena dianggap menyebarkan komunisme,” kata Erros. Begitulah yang dituduhkan puluhan orang dari Front Pembela Islam se-eks-Keresidenan Surakarta dan Hizbullah Bulan Bintang dalam pertemuan di Kantor Kecamatan Colomadu, Sabtu dua pekan lalu.
Difasilitasi Pemerintah Kabupaten Karanganyar, pertemuan itu akhirnya lebih sebagai forum untuk mengadili Erros. Pembicara paling lantang adalah Ketua Front Pembela Islam Khoirul Rus Suparjo. Ia berkukuh menolak pengambilan gambar Lastri. Menurut dia, film itu memuat kandungan komunisme.
”Saya sudah baca sinopsisnya,” kata Khoirul. ”Baru satu paragraf, saya tahu ada bau komunis.” Komandan Brigade Hizbullah Awud Said segera menimpali, ”Kami menolak film Partai Komunis Indonesia.”
Erros menyanggah. Film ini, kata dia, mengisahkan jalinan cinta Lastri (Marcella Zalianty) dan Rangga (Dwi Sasono) dengan setting 1965. Erros menggambarkan Lastri sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang condong ke Partai Nasional Indonesia, dan Rangga, anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, yang berafiliasi ke Partai Komunis. Cinta mereka terhadang peristiwa G30S. Rangga pergi tak jelas rimbanya demi menyelamatkan nyawa.
Dalam kekalutan, Lastri bertemu dengan Kolonel Joko (Tio Pakusadewo), lulusan Akademi Militer Nasional, teman sekelas di sekolah menengah atas. Joko, yang memendam cinta terhadap Lastri, akhirnya berhasil menyunting perempuan yang sedang kehilangan kekasih itu. Tapi, empat tahun kemudian, setelah situasi politik mulai tenang, Rangga muncul dari persembunyian.
Sisi konflik batin Lastri yang penuh komplikasi inilah yang hendak ditampilkan Erros. ”Jadi, ini benar-benar film cinta, bukan film politik,” kata Erros. Karena itu, ia tak menyangka Lastri bakal mengundang perlawanan. Sejak tiba di Solo bersama Marcella dan sekitar 50 krunya, awal November lalu, ia tak mendapat hambatan apa pun.
Izin dari Markas Besar Kepolisian Indonesia dan dari Pabrik Gula Colomadu, lokasi syuting, telah ia kantongi. Erros dan kru telah menata tiga lokasi: Gedung Graha Sartono, rumah dinas Mbesaran, dan stasiun gilingan, yang semuanya di dalam kompleks pabrik gula.
Mereka juga membiasakan para pelakon dengan suasana Solo, dari soal makan hingga interaksi dengan masyarakat setempat. Menurut Erros, soal ini penting untuk mendapatkan warna dan karakter pemain yang mendekati keadaan aslinya.
Sesuai dengan jadwal, setelah sepekan menata lokasi serta mengasah pemain dan kru, Erros akan mulai melakukan pengambilan gambar Ahad dua pekan lalu. Ia melibatkan sejumlah warga Colomadu sebagai pemain figuran. Tapi, sehari sebelum pengambilan gambar, Erros mendapat teguran dari Kepolisian Sektor Colomadu.
Ia diminta membatalkan syuting, dengan alasan sejumlah warga Colomadu menolak. Tapi Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Komisaris Besar Taufik Ansorie membantah. ”Kami malah tahu ada syuting setelah ada yang menolak,” katanya.
Erros terus berusaha mendekati warga Colomadu dan melobi sejumlah pihak, sembari menjelaskan film itu tidak mengusung ideologi komunis. Namun, lima hari kemudian, justru muncul perintah dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Karanganyar agar syuting dihentikan.
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Triyanto, menyatakan memang ada desakan sejumlah warga Colomadu dalam bentuk surat kepada Bupati. ”Ada surat penolakan dari masyarakat,” katanya. Triyanto merujuk surat yang ditandatangani Suraji, mengatasnamakan masyarakat Colomadu.
Surat lain datang dari Ketua Legiun Veteran Anak Ranting Colomadu, Warigit. Isinya sama: menolak Lastri karena dinilai menghidupkan lagi komunisme di Indonesia. ”Banyak yang mengeluh ke saya, dan saya sampaikan,” kata Suraji.
Warigit punya alasan lain. Surat itu terbit, katanya, ”Setelah struktur di atas saya menolak.” Yang ia maksud adalah sejumlah lembaga, di antaranya polisi dan pemerintah kabupaten.
Sebelum di Colomadu, Lastri sebetulnya sudah dihadang ketika akan melakukan pengambilan gambar di Desa Kali Tengah dan Pandes, Kecamatan Wedi, Klaten, Jawa Tengah, akhir Oktober lalu. Hanya, Erros memilih diam sembari mencoba tempat lain yang diharapkan mulus.
Dua pekan sebelum itu, kru Lastri telah menyiapkan tiga rumah di Kali Tengah dan satu rumah di Pandes, yang dianggap mewakili keadaan rumah pada 1965. Mereka menyewa rumah ini dari warga desa, yang juga dilibatkan sebagai figuran. ”Mereka senang dan tidak mempersoalkan,” kata Erros.
Mendadak turun perintah dari sejumlah warga desa agar pengambilan gambar dibatalkan. Alasannya, di Solo, warga menyatakan keberatan. Seorang kru Lastri menyatakan aktivis Front Pembela Islamlah yang mempengaruhi warga desa sehingga berubah sikap menolak film itu.
Menurut Khoirul Rus Suparjo, ia memang mengontak ketua Front Pembela Islam seluruh Indonesia untuk melarang syuting film Lastri. ”Jika nekat, akan saya bubarkan paksa,” kata Khoirul.
Produser Marcella dan Erros akhirnya memilih mengajak krunya balik ke Jakarta, awal pekan lalu. Menurut Marcella, ia mundur dari Solo dan Klaten bukan karena merasa bersalah, melanggar hukum, atau takut, melainkan karena cinta damai.
Kerugian finansial, katakanlah Rp 50 juta sehari selama tiga pekan di sana, tidak begitu ia pikirkan. Kini Lastri berusaha mengejar tenggat 15 Desember, karena kontrak pemain dan segala peralatan pengambilan gambar berakhir pada hari itu. Marcella memang kecewa. ”Ini pertama kali saya jadi produser,” katanya. ”Dan saya sudah menemukan soul-nya.”
Sunudyantoro, Ukky Primartantyo (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo