Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Kerusuhan</font><br />Pesan Gelap Pemantik Rusuh

Simpang-siur kematian seorang pengojek memicu kerusuhan Ambon. Trauma lama masih berbekas.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN itu masuk ke telepon seluler Mustamin, 39 tahun, Ahad siang dua pekan lalu. Isinya ringkas: "Katong umat muslim harus waspada." Pengirimnya tak dikenal. Kemudian susul-menyusul masuk pesan yang menebarkan kebencian kepada umat Nasrani. "Siapa saja bisa terhasut setelah membaca pesan-pesan itu," kata Mustamin, pemilik satu kios di Ambon Plaza, Kota Ambon.

Pesan gelap itu bermula dari tewasnya Darfin Saimen, tukang ojek yang biasa mangkal di Kelurahan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe. Kabar merebak sejak Sabtu malam dua pekan lalu dan menjadi pembicaraan banyak orang, khususnya di Pasar Mardika dan Pasar Batu Merah. Esoknya, kabar kematian warga muslim itu di perumahan Kristen di kawasan Gunung Nona semakin santer.

Waihaong adalah kelurahan dengan luas sekitar 16 hektare. Sisi baratnya berbatasan dengan Sungai Batu Gantung, di timur dengan Kelurahan Sialale, di utara dengan garis pantai, dan di selatan dengan Kelurahan Mangga Dua. Sedangkan kawasan Gunung Nona ada di Kelurahan Kudamati, Kecamatan Nusaniwe. Jarak antara Wa­ihaong dan Gunung Nona sekitar tiga kilometer.

Jarang tukang ojek di Waihaong mau mengantarkan penumpang ke Gunung Nona. Bukan karena jaraknya, melainkan karena Waihaong wilayah muslim, sedangkan Gunung Nona wilayah Kristen.

Sebelum kabar berkembang menjadi liar, sejumlah polisi sudah menjelaskan, Darfin, 31 tahun, meninggal karena kecelakaan tunggal. Dia menabrak pohon dan tembok rumah Okto Tatuhey di kawasan Jalan Perumtel, Desa Kramat, Kecamatan Nusaniwe. Insiden itu menyebabkan luka di bagian bawah mata kiri, pinggang, dan kaki kiri Darfin.

Penjelasan polisi tidak sepenuhnya diterima keluarga Darfin. "Beta curiga kenapa luka cuma di kaki dan dekat mata," kata Jamila Jogja, ibu Darfin. "Apalagi banyak darah." Darti Saimen, adik Darfin, mempertanyakan hal yang sama. "Jika jatuh, pasti banyak lecetnya," ujarnya.

Keluarga besar Darfin semakin tidak percaya penyebab kematian itu kecelakaan setelah jenazah Darfin tiba di rumah. Darti menyatakan melihat sebuah lubang seperti tertembus benda tajam di tempat yang sama di bagian belakang kiri di tiga lapis pakaian Darfin: kaus singlet putih, kemeja putih, dan jaket berwarna gelap.

Ketidakpuasan ini sampai ke telinga tetangga Darfin. Puluhan pemuda Waihaong lalu melakukan demonstrasi ke Markas Kepolisian Resor Pulau-pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Mereka menuntut polisi mengusut kematian Darfin hingga tuntas.

Sumber Tempo mengatakan, beberapa jam sebelum kerusuhan meletus, di Internet mulai beredar foto luka sepanjang dua sentimeter di punggung kiri jenazah Darfin. Foto yang keasliannya diragukan polisi ini diunggah di situs www.voa-islam.com.

Pada pukul 15.00 WIT, jenazah Darfin dibawa ke Taman Pemakaman Umum Muslim, yang kebetulan berada di daerah Mangga Dua, kawasan yang mayoritas penduduknya Kristen. Jenazah diantar sekitar 200 kerabat dan penduduk kampung.

Sesaat setelah penguburan, para pengantar mulai beraksi. Mereka menghentikan semua kendaraan yang melewati kompleks pemakaman. Lempar batu dimulai. Sasarannya pangkalan ojek Kristen di Mangga Dua. Angkutan kota rute Kudamati-Benteng Atas yang lewat ikut jadi sasaran. Satu sepeda motor yang kebetulan lewat dibakar ­massa.

Saling lempar batu berlanjut ke Tugu Trikora, tempat warga Ambon biasa berkumpul. Di sana juga seorang warga tertembak. Lempar batu serta pembakaran motor dan mobil menjalar ke daerah Waringin, 500 meter dari Tugu Trikora. Massa membakar ratusan rumah milik warga Kristen.

Kerusuhan merembet ke daerah Mardika. Sesampai di sana, aparatur Kepolisian Daerah Ambon yang dibantu empat satuan setingkat kompi, yang terdiri atas 200 anggota Brigade Mobil Jawa Timur, berhasil meredam aksi massa.

Dalam kejadian berdarah itu, polisi mencatat enam orang tewas, 45 terluka parah, dan 145 terluka ringan. Tujuh mobil, 11 sepeda motor, dan 116 rumah terbakar. Sebanyak 3.016 orang terpaksa mengungsi.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Johny Nelson Simanjuntak, yang terjun ke lapangan dua hari setelah kerusuhan, langsung melakukan penyelidikan. Dia mengatakan telah memperoleh tiga kesimpulan sementara pemicu kerusuhan.

Pertama, kesimpangsiuran peristiwa kematian Darfin. Johny menilai masih banyak pertanyaan mengenai penyebab kematian yang belum terjawab. "Pertanyaan keluarga korban bahwa penyebab kematian bukan kecelakaan lalu lintas masuk akal," katanya. Johny juga menemukan pesan pendek provokatif yang beredar di kalangan warga Ambon. "Ada orang yang memanfaatkan kekaburan informasi itu," ujarnya.

Kedua, Komisi Hak Asasi mempersoalkan keterlambatan aparat keamanan mengantisipasi kerusuhan. Temuan di lapangan menunjukkan banyaknya keluhan masyarakat pada Ahad itu kepada polisi. Menurut sejumlah penduduk, petugas keamanan yang terjun ke lokasi kerusuhan sedikit sekali.

Menurut Johny, aparat kepolisian baru total mengamankan amuk massa pada Senin pagi. "Meski telat, respons polisi bisa menahan kerusuhan berkembang luas." Menurut dia, jika terlambat ditangani, kejadian itu bisa mengulangi kerusuhan besar pada 1999.

Ketiga, trauma kerusuhan 1999 pada masyarakat Islam dan Kristen di Ambon masih belum hilang. Johny mengatakan, saat ini, jika ada komunitas Islam teraniaya, langsung komunitas Kristen yang dijadikan tertuduh. "Begitu sebaliknya," katanya. "Sensitivitas masyarakat masih tinggi."

Markas Besar Kepolisian RI sepakat mengenai pesan pendek gelap yang memicu kerusuhan itu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam mengatakan polisi sedang mengejar pengirim pesan pendek. "Sudah dilacak tim Mabes Polri," ujarnya.

Soal kelambanan memberi penjelasan tentang penyebab kematian dibantah Kepala Bidang Humas Polda Maluku Ajun Komisaris Besar Johannis Huwae. Menurut dia, aparatur langsung turun ke lapangan menjelaskan kepada keluarga bahwa Darfin tewas karena kecelakaan tunggal. "Informasi itu berasal dari tim medis Rumah Sakit Umum Daerah dr Haulussy," katanya.

Akhir pekan lalu, Ambon sudah berangsur pulih. Masyarakat Islam dan Kristen, yang semula enggan ke luar rumah pada malam hari, sudah kembali seperti sedia kala. Kondisi itu dilukiskan Embong Salampessy, warga Ambon, dalam akun Twitter-nya. "Di Galala (kampung Kristen), terlihat penumpang perahu berjilbab menyeberang pulang ke rumah," ujarnya. "Siapa bilang Ambon rusuh karena warga beda agama?"

Fanny Febiana (Jakarta), Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus