Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kala Jawara Jadi Raja

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bonnie Triyana*

SEJARAWAN Taufik Abdullah pernah mengatakan Banten adalah "negeri para ulama dan jawara". Dua jenis kepemimpinan tradisional itulah yang selama bertahun-tahun, terutama sejak runtuhnya kekuasaan politik Kesultanan Banten pada abad ke-19, menjadi patron bagi rakyat.

Ulama dikenal luas sebagai pemimpin agama Islam yang digelari kiai. Adapun jawara, merujuk pendapat Sartono Kartodirdjo (1966:57-58) dan Michael C. Williams (1990:45), adalah orang-orang yang tidak punya kedudukan (juga pekerjaan) tetap, yang sering melakukan tindakan kriminal. Pengertian jawara kemudian disegarkan kembali oleh Syarif Hidayat (2007:203-205) sebagai "orang atau kelompok orang yang memiliki kesaktian, berani melawan ketidakadilan, dan menjadi pelindung bagi mereka yang lemah".

Kaum jawara kini menjadi perbincangan, terutama ketika sanak famili trah jawara H Tb. Chasan Sochib banyak mengisi berbagai jabatan penting di Provinsi Banten. Banyak studi dilakukan untuk menelaah peran politik kaum jawara di masa kini, antara lain oleh Lili Romli (2007), Syarif Hidayat (2007), serta Okamato Masaaki dan Abdul Hamid (2008). Bagaimana peran jawara di masa lalu, yang kerap dijadikan legitimasi peran politik mereka di masa kini?

Ulama dan jawara memainkan peranan penting dalam beberapa peristiwa sejarah di Banten. Sejak abad ke-19, daerah di ujung barat Jawa ini tersohor sebagai daerahpemberontak dan penganut Islam ortodoks. Paling tidak, dua kali dalam seabad sejak medio abad ke-19 sampai abad ke-20 penduduk Banten di bawah pimpinan jawara dan ulama melawan otoritas kolonial.

Pemberontakan kolosal pertama terjadi pada 1850, yang dipimpin Haji Wakhia. Lalu pemberontakan petani Banten 1888 dibawah Haji Wasid, pemberontakan 1926 dimotori jawara yang berafiliasi dengan PKI, dan kemudian revolusi sosial yang dikobarkan rakyat Banten pada 1945-1946 (Suharto: 1996). Daftar pemberontakan semakin panjang bila ditambah peristiwa lokal lainnya, dari Mas Jakaria (1811), Mas Haji dan Mas Rakka (1818-1819), Mas Raye (1827), Nyi Gumparo (1836), sampai peristiwa pemberontakan yang gagal pimpinan Ratu Bagus Ali dan Mas Jabeng (1839).

Karena itu, pada masa kolonial, untuk menjalankan tata pemerintahan di Banten, Belanda lebih memilih mendatangkan pangreh praja dari luar Banten, terutama putra-putra Sunda di jantung tanah Priangan (Michael C. Williams, 1990:61). Hal tersebut turut membentuk persepsi orang Banten bahwa amtenar asal Priangan adalah antek penjajah, kendati persepsi tersebut tak bisa di-gebyah uyah kepada semua orang Priangan. Bahkan sampai menjelang terbentuknya Provinsi Banten, kecurigaan tersebut masih tertanam erat di kepala orang Banten. Tak aneh jika pada awal pemisahan diri dari Provinsi Jawa Barat, di beberapa tempat di Banten terbentang spanduk "Waspadai penjajahan Priangan".

Jawara selalu muncul pada saat krisis. Setiap peristiwa pemberontakan yang melibatkan jawara hampir dipastikan diawali keresahan sosial yang meluas dengan berbagai macam latar belakang, seperti tingginya beban pajak, gagal panen dan bencana alam. Penduduk Banten menumpukan harapan kepada jawara yang sering tampil sebagai "Robinhood". Tak aneh jika sejarawan Suhartono (1995), mengutip sejarawan Eric J. Hobsbawm (1959), memasukkan jawara ke fenomena "perbanditan sosial".

Kendati mendapat kepercayaan rakyat, jawara belum pernah punya kekuasaan politik formal. Struktur kekuasaan kolonial diisi amtenar Priangan dan pejabat Belanda, sedangkan jawara paling banter cuma jadi pemimpin kampung setingkat lurah—di Banten disebut jaro. Maka, pada saat krisis, jawara menggugat kekuasaan yang direnggut penguasa kolonial, yang sering ditempuh dengan jalan kekerasan.

Kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan politik datang pada pengujung kekuasaan Jepang. Kepala kontraintelijen Kaigun (angkatan laut Jepang) Tomegoro Yoshizumi merekrut dua jawara Banten terkemuka, Jaro Karis dan Jaro Kamid, yang kemudian dilatih gerilya di Jakarta. Ajudan Yoshizumi, Entol Khaeruddin, juga seorang jawara Banten yang kelak jadi ajudan Tan Malaka. Melalui jasa Khaerudinlah kontraintelijen Kaigun melatih 400 jawara Banten di Serang. Dalam peristiwa revolusi sosial pada 1945-1946, merekalah yang bergabung dengan Dewan Rakyat, yang bertugas mengambil alih kedudukan bupati yang semua dijabat kalangan feodal.

Revolusi sosial yang terjadi setelah kemerdekaan juga menjadi kesempatan bagi kelompok jawara memasuki gelanggang politik formal. Dewan yang dipimpin Ce Mamat, aktivis politik jebolan peristiwa 1926 itu, banyak menempatkan ulama dan jawara di berbagai posisi penting pemerintahan. Namun, seperti juga di tiga daerah eks Karesidenan Pekalongan, revolusi sosial digagalkan karena dinilai bertentangan dengan keinginan pemerintah Republik. Terlebih sempat berembus isu Banten akan memisahkan diri dari Republik, yang membuat daerah itu sulit menjadi provinsi, sampai pada 2000.

Dibubarkannya Dewan Rakyat menutup kemungkinan jawara kembali ke pentas politik formal. Namun, di luar ranah itu, jawara tetap memainkan peran dominan. Mereka disegani, bahkan ditakuti. Maka, ketika sistem politik berubah berbarengan dengan berlakunya otonomi daerah, otoritas kepemimpinan jawara menjadi modal meraih suara dalam pemilihan kepala daerah, selain tentu saja faktor logistik dan koneksi dengan partai politik di Jakarta yang telah lama terbina.

Tentu sah saja jawara berkuasa, apalagi di alam demokrasi seperti sekarang ini. Namun persoalan yang sampai hari ini merundung Banten adalah ketiadaan etika, yang diharapkan bisa mengatur perilaku jawara di panggung politik. Atau mungkin kini para jawara lupa pada khitahnya: jadi "Robinhood" yang dulu merampok penjajah dan membagikan rampokannya kepada rakyat banyak—bukan untuk sanak-keluarganya saja.

*)Sejarawan; Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus