Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Gelar Pahlawan Nasional</font><br />Ada Pahlawan di Jalur Tol

Ada yang tidak beres dalam proses penetapan pahlawan nasional. Banyak nama menuai kontroversi, beberapa bahkan ditetapkan lewat jalur cepat.

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHERANAN menyergap I Made Japa, 80 tahun. Dia tak habis pikir mengapa bekas Raja Gianyar, Ide Anak Agung Gde Agung, dianugerahi gelar pahlawan nasional. Sebagai pejuang kemerdekaan yang bergerilya di Kabupaten Badung, Japa tahu betul sang raja justru dibenci pemuda pejuang Bali karena dianggap pro-Belanda. ”Apa orang yang berkhianat bisa mendapat gelar itu?” tuturnya.

Ingatan Japa melayang ke masa lalu saat kakaknya, I Wayan Dipta, komandan pasukan gerilya di Gianyar, tewas disiksa dan ditembak organisasi bentukan Anak Agung Gde Agung berjulukan Pemuda Pembela Negara (PPN). ”Pemuda pejuang memplesetkan Pemuda Pembela Negara menjadi Pemuda Penjilat Nederland (Belanda—Red.),” ujar Japa. Pria yang kini aktif di legiun veteran ini mengaku pernah bersinggungan dengan PPN saat kelompoknya berinisiatif menaikkan bendera Merah Putih dan menurunkan bendera Jepang di awal Proklamasi. ”Raja Gianyar termasuk yang tidak setuju,” ujar Dipta.

Protes gelar kepahlawanan untuk A.A. Gde Agung memang bergulir sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat keputusan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh, 9 November lalu. Mayor Jenderal Adnan Kapau Gani, berjasa melawan penjajah Jepang lewat perannya di organisasi Partindo, Indonesia Muda, Gerindo, GAPI, dan PNI. Brigadir Jenderal Ignatius Slamet Riyadi mendapat gelar kepahlawanan atas perjuangannya mempertahankan kemerdekaan, memimpin pemuda melawan agresi militer Belanda, serta menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Sulawesi, dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon.

Mayor Jenderal Moestopo memperoleh gelar Pahlawan Nasional karena memimpin pasukan melawan tentara Sekutu yang mendarat di Surabaya. Ide Anak Agung Gde Agung juga dianggap berjasa dalam perjuangan politik Indonesia menuju Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

Selain Japa, protes pun datang dari Wayan Windia. Sekretaris Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP), sebuah yayasan bentukan kaum veteran Provinsi Bali ini sudah pernah menyampaikan keberatan dua tahun lalu saat A.A. Gde Agung mendapat bintang Mahaputra. ”Kok sekarang malah mendapat gelar lebih tinggi?” kata Windia, yang ayah dan pamannya juga korban kekejaman PPN.

Menurut Windia yang juga dosen di Universitas Udayana ini, A.A. Gde Agung pernah menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT), negara boneka bentukan Belanda yang berseberangan dengan negara kesatuan. Windia pun tak setuju jika penghargaan diberikan karena jasa A.A. Gde Agung di jalur diplomasi. Sebabnya, pria yang wafat 22 April 1999 ini melakukan diplomasi pro-Indonesia setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia cukup kuat. ”Dia orang pintar yang bisa membaca arah angin,” katanya.

Nada protes tak hanya datang dari Dipta dan Windia. Di koran lokal di Bali bermunculan surat pembaca yang memprotes penghargaan untuk A.A. Gde Agung. Protes juga terjadi di daerah lain. Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi, misalnya, mengaku kecewa. Pada 1990 dan 1995, pihaknya telah mengusulkan Sutomo alias Bung Tomo sebagai pahlawan nasional. Tetapi dua kali diusulkan, dua kali pula gagal gara-gara ketokohan Bung Tomo dinilai masih bersifat lokal. ”Saya menyesalkan sikap pemerintah pusat,” katanya.

Padahal, menurut Arif, perjuangan Bung Tomo dalam perang 10 November 1945 di Surabaya menjadi tonggak kedua setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Efek pertempuran 10 November itu pun sampai taraf internasional dengan terbunuhnya pemimpin tentara Divisi 23 (23rd British-Indian Division) di Surabaya, Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Senasib dengan Bung Tomo, Mohammad Toha dari Bandung pun hingga saat ini belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Padahal, Toha yang lahir pada 1927 ini berpartisipasi dalam peristiwa Bandung Lautan Api dengan melakukan serangan bom bunuh diri untuk menghancurkan gudang persenjataan Jepang pada 1946.

Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Tio Indra Setiadi, menyebutkan, Mohammad Toha sebenarnya telah diajukan tiga kali sebagai pahlawan nasional, namun selalu gagal. Alasannya, wilayah perjuangannya masih lokal. ”Padahal, perjuangan beliau memberi kontribusi pada perjuangan bangsa dan negara ini,” kata Tio, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Badan Pembina Pahlawan Daerah Jawa Barat ini.

Kontroversi kepahlawanan ini menggelitik sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. Ia mempertanyakan prosedur penetapan pahlawan nasional. ”Ada yang tidak beres dalam proses penetapan pahlawan nasional,” katanya. Dari jumlah total 141 pahlawan nasional, beberapa nama menimbulkan kontroversi dan banyak pula yang ditetapkan melalui jalur khusus. ”Ada yang pengangkatannya lewat jalur tol,” kata peneliti sejarah pergolakan Gerakan 30 September ini. Dia mencontohkan, Jenderal Basuki Rahmat dan Ibu Tien Soeharto diputuskan menjadi pahlawan nasional beberapa hari setelah wafat.

Asvi pun mempertanyakan prosedur administrasi pencalonan pahlawan nasional yang belum tertib. Sering kali nama-nama calon dari daerah ditolak gara-gara hal sepele seperti kurang persyaratan administrasi atau belum pernah diseminarkan. Doktor lulusan Prancis ini juga menyorot komposisi Badan Pembina Pahlawan Pusat yang selama bertahun-tahun selalu didominasi oleh pihak militer dan Departemen Sosial. ”Ini bisa memberi nuansa politis dalam proses penetapan pahlawan nasional,” kata Asvi.

Menanggapi layak-tidaknya seorang tokoh menjadi pahlawan nasional, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah menjelaskan, ada prosedur yang harus diikuti. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan, proses pengajuan pahlawan harus diajukan oleh pemerintah daerah dengan gubernur sebagai Ketua Badan Pembinaan Pahlawan Daerah (BPPD). Selanjutnya diajukan ke Badan Pembinaan Pahlawan Pusat (BPPP) yang diketuai oleh Menteri Sosial. Baru setelah itu diajukan ke Presiden.

Nama yang diajukan sebaiknya memenuhi kriteria yang ditetapkan. ”Secara umum, tanpa cacat secara terus-menerus,” kata Bachtiar. Apabila ada nama calon pahlawan nasional yang belum disetujui Presiden, dia berjanji akan mengajukan kembali nama-nama itu pada tahun berikutnya. Hal ini dibenarkan salah satu anggota BPPP, Anhar Gonggong. Menurut Anhar, nama-nama yang pernah diajukan dan belum disetujui Presiden, hanya bisa diajukan sekali lagi. ”Jika ditolak untuk kedua kalinya, tak boleh diajukan kembali,” ujarnya tanpa memerinci alasan di balik keputusan ini.

Soal kontroversi di balik tokoh A.A. Gde Agung, sejarawan Universitas Indonesia ini mengaku tim BPPP telah melakukan cek dan ricek ke berbagai sumber sebelum mengeluarkan rekomendasi. Lagi pula, ”belum tentu seorang federalis itu pengkhianat,” ujar Anhar yang beberapa kali menjadi anggota tim BPPP. Dia pun menolak tudingan bahwa anggota tim BPPP didominasi oleh suara militer dan Departemen Sosial. Menurut dia, keragaman institusi anggota tim bertujuan untuk kemudahan akses informasi. ”Selama saya di sana, saya tahu persis tak ada intervensi apa pun,” katanya.

D.A. Candraningrum, Bayu Pamungkas, Rofiqi Hasan (Denpasar), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus