GEDUNG Go Skate, Surabaya, Ahad dua pekan lalu. Sejak pukul enam pagi tempat itu dibanjiri laki-laki berpeci, dan perempuan berkerudung yang jambulnya nampak mencuat. Mereka membawa undangan seharga Rp 2.000, tapi tentu tak hendak nonton musik atau tinju yang biasanya diselenggarakan di situ -- mana ada pertandingan tinju sehabis subuh. Benar, sebenarnya mereka hendak menghadiri pengajian umum. Mereka bukan saja warga Surabaya, tapi juga dari daerah lain -- Gresik, Lamongan, Pasuruan, bahkan Malang. Sebagian di antaranya berhasil masuk. Banyak yang terpaksa berkerumun di luar: kehabisan karcis. Dan pelan-pelan persoalan pun muncul. Mereka yang tak kebagian karcis mengaku kecewa, lalu bertanya: bukankah ini pengajian umum? Mengapa harus dikarcisi? Pengurus GP Ansor Cabang Kota Madya Surabaya, pelaksananya, tak bermaksud mengecewakan mereka. Tapi karena ustad dari Jakarta ini "punya merk" dan "ketenarannya bisa menandingi Rhoma Irama", apa salahnya dimanfaatkan -- begitu kira-kira pikir pihak GP Ansor. Kebetulan, ceramah Ustad ini dalam rangka ulang tahun ke-55 GP Ansor Surabaya, dan ada "hiburannya", yakni "kasidah Nasyidah Ria dan lawak Sidik Cs". Dan itu, "bukan karcis, melainkan infak," kata Maksum, ketua cabang GP Ansor Surabaya. Acara pun berjalan sesuai dengan rencana. Dengan suara akrab, berirama, dan menggunakan bahasa yang gampang dipahami umum, Zainuddin berceramah sejam. Ia bicara tentang iman, tentang perjuangan Islam di bidang sosial, kemudian -- pada ujungnya -- mengarah pada soal infak. Sampai ia mengakhiri ceramahnya, pengunjung masih terbatas pada yang berundangan saja. Baru pada saat hiburan, pintu Go Skate dibuka lebar-lebar. Seberapa jauh ceramah keagamaan boleh berbau bisnis? Sampai batas mana agama dapat "dikomersialkan"? Sahkah seorang pendakwah menerima uang dari kegiatan dakwahnya? Di satu sisi, ada pihak yang berprinsip ketat. Mereka menolak makan uang yang diperoleh dari kegiatan "agama". Seorang penyanyi menolak menyisipkan ayat-ayat Quran dalam lagunya, seperti yang biasa dilakukan Rhoma Irama. Sebab, "jangan engkau menjual murah ayat," kata sebuah ayat dalam Quran. Di sisi lain, ada yang menuntut agar dakwah pun diprofesionalkan. Juru dakwah, pengajar ngaji, imam tetap masjid, menurut kalangan ini, harus dijamin hidupnya. Seorang tua lalu berkomentar. "Kalau saya membayar kursus bahasa Inggris dan komputer anak-anakku, saya juga harus membayar guru ngaji mereka." Sebenarnya, bukan kali ini saja ceramah keagamaan di Jawa Timur berkarcis. Sudah lama pengurus Masjid Jami' Malang melakukannya. Klub Kajian Agama Paramadina di Jakarta sudah tiga tahun menempuh jalan serupa: mengadakan ceramah di hotel, memungut uang hadirin. Apakah yang seperti ini komersialisasi agama? Dr. Nurcholish Madjid, Ketua Paramadina, menolak anggapan seperti itu. Kalau dakwaan "menjual ayat" sampai ditudingkan pada pengajian begitu, apalagi pada pribadi Zainuddin, menurut dia, "sangat tak adil." Sebab, "dia sudah mencurahkan tenaga, waktu, dan pikiran untuk bertablig. Maka, wajar kalau ia menerima honorarium." Larangan Quran untuk tidak "menjual ayat dengan harga murah" memang tak berarti sempit. Nurcholish menafsirkannya sebagai ketentuan melarang digunakannya agama selain untuk kepentingan agama sendiri. Dengan kata lain, ayat itu menidakbolehkan "prostitusi agama seperti halnya prostitusi intelektual." Zainuddin sendiri bukan tak menyadari posisinya rawan kritik. Tapi ia lurus pada itikadnya: berdakwah. "Selama saya bisa dijual, juallah, asal untuk kepentingan Islam." Ia lapang diri untuk dipakai mengumpulkan dana. Apalagi, menurut seorang keluarganya, "kalau beliau yang datang, orang tak segan-segan jadi dermawan." Lihat saja, hampir setiap usai ceramah, Zainuddin selalu menggelar serbannya untuk diedarkan keliling. Segera uang pun memberati serban itu. Seluruhnya diniatkan untuk amal. Dengan cara begini, panitia pembangunan madrasah di Lamongan memperoleh Rp 1,8 juta Masjid Al-Ikhlas Perak, Surabaya, mendapat Rp 6 juta sedangkan Ma'had Ta'limil Quran Pasuruan mengumpulkan uang Rp 4 juta. Bahkan Ta'mir Masjid Jami' memperoleh dana Rp 15 juta -- belum termasuk penjualan kaset ceramah -- untuk pemugaran masjid yang berdiri sejak 1700-an itu. Sedangkan pengajian yang dikisahkan di awal tulisan ini mendatangkan untung Rp 2 juta. "Itu untuk keperluan organisasi," kata Maksum. Adapun pendakwah yang laris itu sendiri, Zainuddin, tak pernah pasang harga. Pengurus Ansor memberinya Rp 1 juta, Ta'mir Masjid Malang menyisihkan Rp 700 ribu, sedang pengundang dari Parung, Jawa Barat, menyediakan Rp 200 ribu. Toh sejumlah orang masih risi dengan "pengkarcisan" ceramah, biarpun dinamai infak. Muhammad Soleh, mubalig Pasuruan, bilang, "Saya khawatir, yang menerima tablig nanti hanya orang yang mampu." Tapi sejarah mencatat hal demikian sudah lama berlangsung. Menurut Ustad Hasan Baharun dari Perguruan Islam Al-Khairiyah, Bondowoso, di Mesir pada 1950-an ada pengajian tetap Dr. Thaha Husein yang disebut "Ceramah Rabu" yang memungut bayaran. Bagi yang tak mampu, kata orang, ada kesempatan lain. Zaim Uchrowi, Priyono B. Sumbogo (Jakata), dan M. Baharun (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini