LAKSAMANA SUKARDI* KENAPA suatu bangsa atau negara berhasil di bidang industri- industri tertentu? Misalnya, Swiss unggul dalam industri cokelatnya, Jepang dengan robot-robotnya, Jerman dengan mobil-mobil mewah, dan Amerika Serikat dengan komputernya. Dalam kaitan ini, menarik untuk disimak hasil studi yang dilakukan oleh Michael Porter yang dituangkan dalam bukunya yang terbaru The Competitive Advantage of Nation. Porter adalah seorang profesor dari Universitas Harvard yang melakukan studi selama empat tahun terhadap sepuluh negara maju yang telah sukses memenangkan kompetisi internasional pada bidang-bidang industri tertentu. Kita sering mendengar bahwa keunggulan komparatiflah yang membuat suatu negara mampu bersaing di pasaran internasional, misalnya kekayaan sumber alam dan jumlah penduduk yang besar yang membuat ongkos produksi rendah, sehingga negara tersebut berhasil dalam persaingan internasional. Tetapi, menurut penelitian Porter, apa yang terjadi adalah sebaliknya. Contohnya Swiss, suatu negara kecil dengan upah buruh yang tinggi, kekayaan alam yang sedikit, dan hampir tidak ada perkebunan cokelat. Kenyataannya, Swiss merupakan produsen makanan dan minuman cokelat terbesar di dunia. Swiss juga unggul di bidang farmasi dan perbankan, khususnya private banking. Dalam sejarah industri modern, negara yang maju bukan yang memiliki sumber alam yang berlebihan dan mampu mengeksploatasinya, tetapi mereka yang memiliki kemampuan menciptakan sesuatu. Dan juga bukan bangsa yang mengandalkan keunggulan komparatif, tetapi bangsa yang mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangannya. Misalnya, penemuan plastik dan karet sintetis yang menggantikan bahan baku karet alam. Yang menarik dari studi Porter adalah, salah satu faktor penentu yang membuat produk suatu negara unggul dalam kompetisi internasional adalah bagaimana struktur kelembagaan usaha di negara tersebut diatur, dibentuk, dan dikelola dengan iklim kompetisi yang bebas (domestic rivalry). Kualitas produksi suatu negara akan sangat tinggi jika di negara tersebut kompetisi sangat berat dengan pelaku-pelaku yang banyak. Di Jerman, persaingan antara produsen mobil mewah telah menghasilkan produk yang unggul di pasaran internasional, seperti BMW dan Mercedes. Sedangkan persaingan domestik industri mobil di Jepang oleh Toyota, Honda, Mitsubishi, dan lain-lain merupakan faktor penyebab kenaikan kualitas produksi mobil buatan Jepang. Di Indonesia sendiri, mutu produksi mulai meningkat di mana ada kompetisi domestik yang cukup ketat, seperti persaingan industri karoseri mobil antara perusahaan-perusahaan karoseri yang jumlahnya cukup banyak. Kompetisi ini membuahkan hasil kepercayaan internasional terhadap karoseri mobil buatan Indonesia. Hal yang serupa terjadi di dalam dunia pendidikan. Kualitas, mutu lulusan suatu sistem pendidikan di suatu negara banyak tergantung dari ada tidaknya kompetisi domestik di negara tersebut. Sekolah MBA di Amerika sangat diminati oleh banyak siswa dari seluruh dunia karena banyak sekali sekolah administrasi bisnis yang berkompetisi memacu kualitas dan saling melengkapi sarana sekolahnya. Hasilnya, sekolah-sekolah MBA yang berkualitas tinggi seperti: Harvard, Berkeley, dan Warthon. Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan bidang usaha atau industri yang berkaitan, di mana kedua-duanya harus memiliki struktur dan sistem kompetisi yang sama. Misalnya, persaingan industri micro chip computer di Silicon Valley, AS, tidak akan menghasilkan mutu yang baik jika tidak ditunjang oleh kompetisi yang sama ketatnya di bidang pendidikan engineering & science di sana. Kompetisi yang ketat menimbulkan kebutuhan akan tenaga ahli dan fasilitas R & D yang lebih baik, sehingga perusahaan-perusahaan menyisihkan dana untuk investasi di bidang tersebut, yang dilakukan dengan melibatkan universitas-universitas yang ada. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang ada juga akan bersaing dalam meningkatkan mutu lulusannya melalui perbaikan-perbaikan program pendidikan, kurikulum, R & D, agar para lulusannya sangat diminati oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang bersaing tersebut. Persaingan adalah bisnis dan pekerjaan para wirausahawan (entrepreneur). Semakin banyak para entrepreneur, semakin ketat persaingan dan semakin tinggi kualitas produksi yang dihasilkan. Kalau kita simak lebih jauh, negara-negara yang mendapat predikat Macan Asia, seperti Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Singapura, bukannya negara dengan kekayaan alam dan tenaga kerja yang berlimpah, tapi mereka memiliki entrepreneur yang banyak. Oleh karena itu, program pendidikan secara umum harus memperhatikan faktor pembinaan entrepreneurship bagi para mahasiswanya. Melihat itu, peranan pihak swasta sebagai pemakai lulusan perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi lebih dominan, mengingat 55% dari target penanaman modal dalam Repelita V diharapkan dari sektor swasta. Sehingga, kriteria lulusan perguruan tinggi akan lebih banyak ditentukan oleh pihak swasta. Berbeda dengan perusahaan Pemerintah (pegawai negeri), di perusahaan swasta, tidak ada korelasi antara golongan jabatan dengan lulusan program pendidikan, seperti S1, S2, dan S3. Yang penting bagi mereka adalah para lulusan yang memenuhi kriteria perusahaan masing-masing, dan bukan status dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Mereka bahkan bebas memilih lulusan perguruan tinggi luar negeri yang mungkin lebih cocok dengan kriteria perusahaan. Pertanyaannya, apakah perguruan tinggi di Indonesia dapat meningkatkan mutu lulusannya dan mampu bersaing dengan lulusan luar negeri? Jawabannya adalah kompetisi! Tanpa kompetisi, mutu tidak akan meningkat. Kompetisi di dunia perbankan, setelah Pakto '87 semakin ketat. Banyak entrepreneur membuka bank baru, sehingga persaingan itu sendiri akan meningkatkan kualitas bankir yang ada dan juga memerlukan tambahan tenaga bankir yang baru. Tapi, kompetisi di industri perbankan tidak diikuti dengan kompetisi di bidang pendidikan, dalam memberikan nilai tambah pada lulusannya agar menjadi lebih siap pakai. Namun, persaingan program pendidikan MBA mulai terlihat, walau dalam keterbatasan peraturan yang ada dalam menentukan kurikulum program pendidikan tersebut, sehingga para lulusan masih harus mendapat pendidikan tambahan oleh bank masing-masing. Kesimpulannya: Peningkatan mutu pendidikan memerlukan kompetisi bebas di bisnis usaha pendidikan. Program pendidikan harus mampu mencetak banyak entrepreneur agar menambah daya saing di dunia internasional. Semakin tinggi kompetisi, semakin tinggi pula kualitasnya. Managing Director Lippo Bank
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini