Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan cita-cita reformasi yang digaungkan setelah rezim orde baru tumbang malah diganggu oleh oligarki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi saat ini jauh dari harapan reformasi untuk membuat Indonesia jadi semakin bebas, semakin equal. Sekarang justru dari sisi equality, mengalami masalah, karena oligarki makin kuat," ujar Firman, Kamis, 20 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari ini tepat 23 tahun lalu rezim orde baru atau orba tumbang. Kejatuhan resim ini diawali dengan mundurnya Soeharto dari posisinya sebagai Presiden. Soeharto memimpin rezim orba selama 32 tahun. Selam itu, kebebasan berpendapat dan berekspresi dibelenggu.
Di awal reformasi, kebebasan sipil memang dinilai mulai menemukan jalannya. Namun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu otoritarianisme justru menguat, pengekangan kebebasan sipil makin terasa. Harapan reformasi untuk mendorong maju demokrasi, dinilai justru mengalami langkah mundur.
Sejumlah riset lembaga demokrasi menyebut saat ini demokrasi Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. The Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari lalu memberi Indonesia skor 6.3 di indeks demokrasi yang mereka buat. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
Freedom House juga menggolongkan Indonesia pada 2020 lalu sebagai negara dengan kategori dengan demokrasi yang partly free alias tak sepenuhnya bebas. Angka kebebasan sipilnya hanya ada di angka 31 dari 60.
Firman mengatakan fenomena ini sebagai post democracy. Kebebasan relatif tetap masih bisa dirasakan dan tersisa. Di tingkat regional pun masih ada kepala daerah yang bukan berasal dari partai politik oposisi pemerintah. Meski begitu, ia menyebut nuansa otoritarianisme tetap masih terasa.
"Hasil survei LIPI pun mengkonfirmasi situasi ini. Survei 2019 mengatakan 58 persen responden, dari 119 responden para ahli di seluruh Indonesia, mengatakan kita alami stagnasi atau regresi atau lebih buruk," kata Firman.
Firman menyebut Indonesia sebenarnya masih sempat menikmati perbaikan kebebasan sipil hingga awal periode kepemimpinan Jokowi. Namun seiring waktu berjalan, ia melihat gejala otoritarianisme kembali menunjukan baunya. Hal ini, kata dia, tak terlepas dari menguatnya pemerintah Jokowi dari tahun ke tahun.
Bergabungnya kubu oposisi di pemerintahan periode kedua menguatkan dominasi Jokowi. Tak hanya di tingkat pemerintahan, gejala absolut kekuasaan ala orba menguat karena adanya dukungan sebagian masyarakat.
"Saya kiranya inilah adagium lama Lord Acton (John Dalberg-Acton), power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Ketika kekuatan berada dalam satu genggaman yang betul-betul menjadi sangat unlimited," kata Firman.
Bukan hanya watak kekuasaan ini yang dilihat Firman mirip dengan Orde Baru. Pidato inagurasi Jokowi di periode keduanya pada 2019 seakan menegaskan kemiripan pandangan politiknya dengan Soeharto. Di pidato itu, ia tak menyinggung sama sekali tentang demokrasi, penegakan HAM, ataupun tentang anti-korupsi. Jokowi memfokuskan pandangannya pada urusan pembangunan hingga ekonomi, khususnya terkait investasi.
"Seperti ini kurang lebih jadi mirip-mirip orba menurut sebagian kalangan, di mana ekonomi akhirnya menjadi panglima," kata Firman soal cita-cita reformasi yang terganggu oligarki ini.