Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejak mengalami penyerangan dengan air keras setahun lalu, Novel Baswedan mengaku telah memaafkan dua penyerang itu dan dalang di baliknya. Buat penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu, memaafkan sama saja mengambil keuntungan besar dari penyerangan yang menurutnya mengancam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya ingin setelah kejadian atas diri saya, saya mendapatkan dua keuntungan besar. Memaafkan adalah keuntungan buat saya, dari persepektif agama, tentu itu pahala buat saya," kata Novel saat ditemui di rumahnya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat, 6 April 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel, yang kerap menangani kasus korupsi besar di KPK, harus menjalani perawatan intensif untuk memulihkan penglihatannya. Siraman air keras dari dua orang tak dikenal seusai salat subuh pada 11 April 2017, membuat Novel harus mengimplan total mata kirinya dan memakai hard lens untuk mata kanannya.
Kejadian penyerangan itu terjadi ketika Novel memimpin pengusutan kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012. Kerugian negaranya mencapai Rp 2,3 triliun. Serangan itu terjadi tak lama setelah Novel menandatangani Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan untuk Setya Novanto. Sebelumnya pun, Novel sempat mengalami beberapa teror ketika menangani kasus-kasus besar.
Pada Juni dan Agustus 2016, sebuah mobil menabrak Novel yang sedang mengendarai sepeda motor di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kala itu, Novel sedang menuju kantor KPK. Novel mengalami luka-luka. Peristiwa ini terjadi saat Novel dan timnya menyelidiki kasus reklamasi Jakarta. Penabrakan kembali terjadi dua bulan kemudian. Dok. TEMPO/Eko Siswono T
Novel menjamin penyerangan atas dirinya tak mengurangi nyalinya untuk bekerja di lembaga antirasuah itu. Ia pun menagih janji Presiden Joko Widodo untuk mengusut tuntas kasus ini.
Menurut Novel, Presiden pun berkepentingan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). "Kepentingan pemberantasan korupsi berlandaskan hukum dan penghormatan hak asasi manusia untuk melawan korupsi harusnya menjadi penting untuk presiden," kata dia.
Keuntungan dan kerugian dengan tuntasnya kasus ini, menurut Novel, berpengaruh untuk Presiden Jokowi. Sebab, Novel menjelaskan, presiden mampu menggerakan semua perangkatnya, baik TNI, Kepolisian RI, maupun Badan Intelijen Negara untuk membantunya menyelesaikan perkara ini. "Untung atau rugi ya presiden sendiri, kalau tidak bersikap beliau rugi karena sebagai pemimpin beliau diam saja," ujarnya.
Lamanya penanganan kasus Novel membuat sejumlah kelompok masyarakat mendesak Presiden Jokowi membentuk TGPF. Namun, Jokowi menyatakan belum akan membentuk TGPF. "Saya masih menunggu semuanya dari Kapolri. Kalau Kapolri sudah begini (Jokowi mengangkat tangannya), baru (dibentuk)," ujar Jokowi di Pesanggarahan Tenjoresmi, Sukabumi, Jawa Barat, pada Ahad, 8 April 2018.
Puluhan Aktivis HAM menggelar aksi damai setahun penyerangan terhadap Novel Baswedan di depan Istana Merdeka, Jakarta, 11 April 2018. Aktivis meminta komitmen Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. TEMPO/Subekti.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga, menilai perlu tidaknya TGPF tergantung pada hasil penyelidikan kepolisian. Sebab, menurut dia, jika kepolisian memiliki perkembangan penanganan kasus, TGPF menjadi tidak relevan. "Kami tidak fokus pada TGPF atau bukan TGPF, bagi kami apapun bentuknya, masalah ini bisa ditangani kalau bukti cukup memadai," kata Sandra.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menuturkan pembentukan TGPF menjadi dukungan konkret Jokowi untuk pengusutan kasus Novel. Menurut dia, Jokowi harus mempertimbangkan bahwa satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk sebuah kasus yang menjadi perhatian publik. "TGPF mendesak karena satu tahun tidak ada kemajuan dalam kasus ini, jangankan menemukan pelaku intelektual, memenukan pelaku lapangan saja belum berhasil," ujar Yati.
Juru bicara Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan kepolisian masih bekerja serius untuk mengusut penyerangan terhadap Novel. "Setiap perkembangan sudah kami laporkan dan komunikasikan. Saya rasa belum perlu dilakukan," kata Argo merespons wacana pembentukan TGPF untuk kasus Novel.
Novel Baswedan memastikan jika TGPF terbentuk, perannya tak akan tumpang tindih dengan kepolisian yang melakukan penyelidikan. Setahun berlalu, ia pun mengungkapkan keinginannya bertemu dengan Presiden Jokowi untuk membahas kasus penyerangannya. "Saya pikir seumpama presiden punya rencana yang sungguh-sungguh, saya mau bertemu. Kalau presiden tidak sungguh-sungguh, nanti malah jadi tidak baik," kata dia.