Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aceh: Pemberontakan Siapa?

Arus pengungsian terus terjadi, menyusul kekerasan tanpa henti. Kapan tragedi ini berakhir?

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga dengan enam anak itu tergolek lemah di selembar tikar. Sang ibu tampak pucat pasi, rupanya baru delapan hari yang lalu ia melahirkan anak keenamnya. Bayi merah itu terpaksa ikut mengungsi di Masjid Raya Lhokseumawe. "Kami takut karena tentara masuk di sekitar pantai desa kami," kata M. Diah, bapak enam anak yang penarik becak ini. Mereka yang datang dari Desa Ulee Jalan, di bibir pantai Lhokseumawe, sudah lebih dari seminggu menjadi penghuni masjid. Dilaporkan Diah, tentara, yang dianggap pemicu semua kerusuhan di Aceh belakangan ini, mendirikan tenda-tenda di perbatasan desa mereka. Sejak itu, mereka keluar desa, meninggalkan rumah, hewan ternak, atau apa saja milik mereka. Ada sekitar 2.000 jiwa di masjid itu, berbaring di mana saja. Pengungsian semacam ini juga terjadi di area perkantoran Mobil Oil di Lhoksukon, juga di Masjid Zadul Muaz di Peurelak, Aceh Timur. Sebagian pengungsi ini diberitakan sudah ada yang pulang kembali, setelah tentara membongkar tendanya di desa-desa. Pengungsian penduduk ini adalah bagian dari konflik panjang di Aceh yang seperti tak berkesudahan. Lihatlah Kota Lhokseumawe. Kota di Aceh Utara yang kaya—karena ada perusahaan gas besar—dan ramai ini sekarang lengang dan mati. Para pekerja industri tak tampak lagi nongkrong di keude kupi. "Kalau tak mendesak, lebih baik diam di rumah," kata seorang karyawan industri gas. Toh, kekerasan di Aceh belum kelihatan akan tamat. Yang terbaru, Selasa malam pekan lalu, terjadi pembakaran terhadap peralatan transmisi Telkom dan TVRI di Glee Cut Paya Seutui, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie. Begitu hebatnya api, sampai jarak dua kilometer pun kobarannya masih tampak jelas. Hingga kini belum jelas siapa pelaku pembakaran tersebut. Aparat TNI menduga aksi itu dilakukan oleh gerombolan pengacau liar Hasan Tiro. Akibatnya, siaran televisi terputus. Kecemasan rakyat akan terjadinya kekerasan yang lebih besar pun meningkat. Itulah yang mendorong puluhan ribu warga Aceh—terutama di Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur—mengungsi ke tempat-tempat yang dirasa aman meski tempat pengungsian itu tak siap menampung mereka. Anehnya, ketika pasukan TNI masuk desa, ketakutan makin menjadi. Sabtu dua pekan lalu, di Kecamatan Teunom, contohnya, sewaktu masuk 75 personel TNI Batalyon 132 dari Pekanbaru, penduduk lima desa di sana malah mengungsi ke ibu kota kecamatan. Apa yang ditakutkan? "Itu pertanda akan ada pemeriksaan dan penculikan," begitu alasan seorang pengungsi ketika ditemui TEMPO. Mereka masih dihantui peristiwa Peurelak di Aceh Timur, 12 Juni lalu. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang tengah berpatroli tiba-tiba menghamburkan tembakan ke arah penduduk. Lima penduduk tewas seketika, termasuk dua anak-anak. Ada apa? Versi dari Aceh menyebut PPRM panik setelah ban mobil mereka pecah dan meletus, lalu menembak ke mana-mana. Kapolri Jenderal Roesmanhadi di Jakarta mengatakan bahwa ditemukan peluru di senapan anggota PPRM, yang berarti mereka diserang. Roesmanhadi belum bisa memastikan versi mana yang benar. Ketakutan penduduk Aceh juga dipicu teror sekelompok orang yang membakari rumah penduduk dan fasilitas umum, misalnya yang terjadi di kawasan transmigrasi di Blang Dalam, Kecamatan Geumpang, Pidie. Lebih dari 1.000 pengungsi, sebagian transmigran, kini tinggal di beberapa tempat di ibu kota kecamatan itu. Sekitar 200 rumah penduduk, dua gedung sekolah, dibakar oleh gerombolan yang tak beridentitas di lokasi itu. Paling tidak ada 6.000 pengungsi di Aceh Timur—bahkan dilaporkan ada yang sampai mengungsi ke Langkat di Sumatra Utara—yang masih belum berani menginjak kampungnya. Ternak mereka barangkali sudah mati, juga sehamparan tanaman pertanian yang ditinggalkan begitu saja. Rasa takut juga menghinggapi pengusaha angkutan umum. Angkutan rute Banda Aceh-Lhokseumawe-Medan hanya ada sampai pukul 12 siang. Dan semua ini sepertinya ditimpakan ke pihak militer. "Penempatan pasukan di berbagai lokasi hanya menambah kecemasan masyarakat dan menunjukkan itikad tidak baik dari petinggi militer,`` kata Maimul Fidar, Koordinator Koalisi LSM HAM Aceh, kepada TEMPO. Karena itu, menurut Maimul, sebaiknya militer yang dikirim ke Aceh ditarik dan soal keamanan diserahkan ke aparat setempat. Menyelesaikan kekerasan di Aceh agaknya harus jadi prioritas utama pemerintah. Forum Solidaritas untuk Aceh sudah meminta UNHCR (komisi tinggi PBB untuk pengungsi) untuk membantu pengungsi di Serambi Mekah itu. Apa pun cara yang ditempuh Jakarta, yang penting mesti dilakukan sesegera mungkin, sebelum tali pengikat Jakarta-Aceh yang sudah rantas menjadi putus sama sekali. Rustam F. Mandayun dan Zainal Bakri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus