Profesor Harun Alrasyid menempuh jalan tak lazim. Setelah tahu bahwa Partai Ummat Islam, yang diwakilinya untuk duduk sebagai Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), gagal mendulang suara cukup, ia memutuskan hendak mundur. Dan ia bukan hengkang dari partai, melainkan lengser dari komisi yang diketuai Rudini itu. Sikap Harun jauh berbeda dengan kebanyakan pengurus, yang justru memilih tetap bercokol meski partai mereka kalah telak dalam pemilu lalu.
Soal tetap tinggal atau harus keluarnya mereka dari jabatan terhormat itulah yang belakangan ini menjadi polemik. Hawa kepentingan itu makin kental setelah pecah polemik di seputar pernyataan Andi Mallarangeng dan Adnan Buyung Nasution. Rabu pekan lalu, dua wakil pemerintah di KPU itu melansir pernyataan di media. Isinya, wakil partai yang gagal meraih 2 persen kursi di DPR (electoral threshold) sebaiknya mengundurkan diri. Menurut Undang-Undang Nomor 3/1999 tentang Pemilu, partai yang tidak memenuhi ambang batas itu dilarang mengikuti pemilu berikutnya.
Yang kena sentil kontan belingsatan. Dikomandani Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia (Pari) Agus Miftach, mereka mengusir Mallarangeng dan Buyung dari ruang rapat. Bukan cuma itu, kawanan itu juga mendesak pemerintah agar menarik keduanya dari KPU. Ketua Umum Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna) Clara Sitompul bahkan sampai histeris. "Memangnya negara ini hanya ditentukan dua orang itu!" teriaknya. Untunglah perseteruan ini bisa diselesaikan cukup dengan saling memaafkan.
Pakar hukum tata negara Prof. Dr. Harun Alrasyid memandang pernyataan Buyung itu memang tidak punya dasar hukum. Menurut ketentuan, masa kerja KPU untuk Pemilu 1999 adalah empat tahun (berakhir satu tahun sebelum Pemilu 2004). Dengan kata lain, secara hukum, mereka memang kuat jika ingin tetap bertahan. Tapi, dari sisi etika, Harun mendukung penuh. Ia malah memberikan contoh: mundur teratur ketika partainya terpuruk. Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Ryaas Rasyid, juga keheranan. "Kalau mau tetap duduk itu mau ngapain?" katanya.
Ketua KPU Rudini memilih bertahan. Rudini meralat pemberitaan yang menyatakan ia akan mengundurkan diri karena perolehan suara partainya, MKGR, jeblok. "Ngarang itu," katanya kepada Rubi Kurniawan dari TEMPO. Sebaliknya dengan Harun. Selain mundur, jauh-jauh hari ia malah menampik saat ramai-ramai ada pembagian kendaraan dinas KPU. "Saya heran, negara banyak utang kok bagi-bagi mobil," katanya. Ia menyinyalir, pengadaan Kijang itu diembel-embeli komisi Rp 12 juta per unit.
Seorang anggota telak-telak menuding debat itu sebenarnya tak lepas dari perkara kompensasi alias rezeki. Menjadi anggota KPU memang cukup menggiurkan. Selain prestise, juga ada segudang tunjangan lumayan. Gaji Rp 2,3 juta per bulan sampai mobil dinas disuguhkan (lihat infografik). Tapi beberapa wakil partai gurem membantah bersikeras mempertahankan posisinya cuma karena soal fulus. "Itu enggak ada artinya," kata Miftach, "Makan siangnya saja cuma nasi padang, bikin bisulan." Lain lagi komentar Clara Sitompul. "Memangnya yang bikin partai itu orang miskin?" ujarnya.
Anehnya, menurut Ryaas, Miftach ternyata rajin mengontaknya agar mengucurkan (lagi) dana bantuan pemerintah untuk partai politik. Jumlahnya "cuma" Rp 850 juta, yang disebutnya sebagai uang pesangon. Ini rupanya untuk menggenapi tuntutan serupa beberapa bulan lalu. Waktu itu, jumlahnya Rp 1 miliar per partai. Belakangan, pemerintah hanya mengabulkan Rp 150 juta. Ryaas menolaknya, "Yang benar saja. Pesangon anggota DPR saja cuma Rp 150 juta." Saat dikonfirmasi, Miftach mencak-mencak menyangkalnya. "Itu sih cuma seharga mobil saya," katanya jumawa.
Di luar soal fulus, kewenangan komisi itu juga terlalu strategis untuk ditinggalkan. Penentuan utusan golongan sampai penyempurnaan sistem pemilu mendatang ada di tangan mereka. Dan ini bisa diutak-atik untuk menggali terowongan ke Senayan, meski partainya kalah dan gagal mendapat kursi secuil pun. "Itulah kepentingan mereka yang masih ngotot ikut pemilu lagi," kata Buyung, orang KPU wakil pemerintah. Ada pula yang memasang jurus tak masuk akal: minta jatah dua kursi gratis di DPR. Ini diakui Ketua Partai Pilihan Rakyat (Pilar), R.O. Tambunan. "Terus terang, memang ada yang mengusulkannya kepada saya," katanya. Tambunan menolak ide konyol itu.
Manuver lain adalah soal ambang batas 2 persen dari total kursi DPR. Dengan ketentuan itu, jika tidak melakukan merger, 43 partai yang gagal meraih 10 kursi akan terpental dari arena Pemilu 2004. Karena itulah, saat ini, mereka tengah berupaya mengendurkan pemberlakuan aturan main itu sampai dua pemilu berikutnya. Ketentuan itu dinilai banyak partai alit tidak demokratis. "Undang-undang itu najis mughaladhah (najis berat yang harus dibasuh tujuh kali)," kata Miftach berapi-api. Sebuah siasat tengah disusun untuk mengubah ketentuan ini, yakni lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang. "Pemerintah sudah setuju," katanya lagi. Ryaas justru menolak karena yang bisa mencabut undang-undang itu adalah DPR baru hasil pemilu.
Jalur lain juga sedang "digali" dalam politik dagang sapi kali ini: jatah 65 kursi utusan golongan di MPR. Meskipun amat ganjil, celah di sini lumayan terbuka. Soalnya, penetapan penghuni kursi jenis itu menjadi kewenangan KPU sepenuhnya. Seorang anggota komisi Rudini mengungkapkan, kelompok itu membidik jatah satu kursi untuk tiap partai. Ryaas dan Buyung pun membenarkan adanya manuver itu. Sementara itu, Miftach dan R.O. Tambunan jelas amat bersemangat. "Terus terang, saya tidak keberatan menjadi utusan golongan di MPR," kata Tambunan, mantan ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia.
Tapi Harun Alrasyid melihat, langkah itu tidak rasional. "Mereka kan utusan partai, bukan utusan golongan," katanya jengkel. Apalagi, sebelumnya, KPU sendiri telah memutuskan utusan golongan itu terdiri atas wakil kelompok agama, pemuda, wanita, dan lainnya—jadi jelas bukan dari unsur partai. Entahlah kalau keputusan itu nanti "disesuaikan" lagi.
Beberapa partai alit mulai merapatkan barisan. "Mereka sedang membentuk semacam kaukus kekuatan," kata seorang anggota KPU. Coba lihat gala dinner yang diprakarsai Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) di Hotel Hilton, Minggu malam dua pekan lalu. Namun, kepada Hardy Hermawan dari TEMPO, Sekretaris Jenderal PKP Sutradara Gintings membantahnya. "Pertemuan itu kan juga didatangi partai-partai besar," katanya. Tapi ia membenarkan bahwa pertemuan itu menghasilkan berbagai catatan, dari soal revisi Undang-Undang Pemilu sampai diskualifikasi Golkar dan Partai Daulat Rakyat, yang dituding menjadi biang kecurangan.
Cendekiawan Nurcholish Madjid punya kekhawatiran tersendiri soal kekisruhan di komisi ini. Menurut Cak Nur, salah satu tugas terpenting KPU di depan adalah mengubah model pemilu mendatang menjadi sistem distrik, yang lebih menjamin keterwakilan rakyat pemilih. Tapi, persoalannya, jangan-jangan model itu akan dijegal para wakil partai alit yang notabene masih mendominasi KPU. "Apa mereka tidak akan menghalangi ide penerapan sistem distrik?" kata Cak Nur waswas. Maklum, jika sistem distrik diterapkan, partai-partai cilik itu hampir pasti gigit jari.
Yang paling celaka, kabarnya, berbagai tuntutan itu tengah dijadikan bahan tawar-menawar dalam penetapan hasil pemilu. Jika persyaratan yang diajukan tak diterima, mereka tak akan sudi meneken pengesahan hasil pemilu. Modusnya, kata sumber TEMPO di KPU, dengan mengulur penghitungan suara—bahkan minta pencoblosan diulang—atas nama kecurangan pemilu. "Pemilu ini tidak sah. Kecurangan yang terjadi mempengaruhi 85 persen suara," kata Miftach.
Indikasi lain, kata seorang pemimpin KPU, terlihat dalam rapat Jumat pekan lalu. Beberapa wakil partai cilik masih mengutak-atik penghitungan suara di sembilan provinsi yang sudah dinyatakan selesai oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Mereka tak mau segera menggelar sidang untuk membahas pengesahannya. "Ini bagaimana? Penghitungan itu kan kewenangan PPI," katanya sewot. Pemimpin sebuah partai ternama juga mengungkapkan pernah dibisiki seorang petinggi PKP soal itu. Tapi hal ini dibantah keras oleh Gintings. "Itu tidak mungkin kita lakukan," katanya.
Kenyataannya, sampai sekarang, KPU belum juga memulai penghitungan suara secara nasional. Padahal, menurut jadwal, hal itu seharusnya sudah dilaksanakan Senin dua pekan lalu. Dan jika terus bertele-tele begini, itu akan menjadi ancaman serius bagi tahap penting berikut Republik: sidang umum MPR. Untuk itulah pengamat politik Andi Mallarangeng mengusulkan agar digunakan Peraturan Pemerintah Nomor 33/1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pemilu. Bunyinya: jika anggota KPU berkeberatan mengesahkannya, Panitia Pengawas Pemilu Pusat (Panwaspus) akan menyelidikinya selama tujuh hari. Dan jika ternyata hal itu dinilai sudah absah, Panwaspus bisa langsung mengetuk palu.
Jika indikasi ini benar, sikap tak ksatria dari sebagian partai alit itu patut disesalkan. "Pakailah sedikit budaya malu," kata Harun pedas. Seperti kata Cak Nur, rupanya mereka tak siap kalah dalam berdemokrasi.
Karaniya Dharmasaputra, Dwi Wiyana, Setiyardi, Hendriko L. Wiremmer, Budiyarso, Raju Febrian
Segudang Berkah dari KPU | Jenis Tunjangan *) | Nilai (Rp) | Keterangan |
Uang lelah Uang operasional Uang sidang
Mobil Kijang Bantuan bahan bakar Jas Handphone Ericsson Lencana emas KPU | 2.352.941 5.000.000 150.000 75.000 120.000.000 300.000 2.000.000 1.500.000 600.000 | per bulan diberikan satu kali per sidang pleno (1 hari) per sidang komisi (1 hari) diberikan satu kali 300 liter per bulan diberikan satu kali plus kartu pra bayar Simpati diberikan satu kali |
*) Diberikan untuk tiap anggota KPU