TERHITUNG sejak Senin pekan ini—saat majalah edisi ini terbit— Sidang Umum MPR untuk memilih presiden masih lebih 130 hari lagi. Tapi "pagi-pagi" begini, para politisi di "atas" sudah mulai bicara soal deadlock alias jalan buntu, macet, tak ada kata akhir tentang siapa presiden.
Apa, sih, deadlock itu? Marzuki Darusman bilang bahwa itu adalah kondisi ketika konsensus tentang siapa calon presiden, misalnya Mega atau Habibie, tak tercapai. Dalam keadaan begitu, orang Golkar ini melihat bahwa perlu konsensus untuk mencari calon alternatif. Bagi Kiki—begitu ia dipanggil—konsensus adalah upaya penting yang harus dicapai. Voting merupakan pilihan terakhir karena, menurut dia, hanya membuat "keputusan numerik" dan bukan keputusan bersama. Deadlock, menurut anggota Komnas HAM ini, juga bisa terjadi kalau ada "kevakuman", artinya calon presiden ternyata tak ada, misalnya karena dua calon yang ada ditolak berbagai pihak di MPR nanti.
Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono juga melihat kemungkinan buntu itu, misalnya jika tak tercapai sepakat soal kriteria calon presiden, tata cara pemungutan suara. Maka, ia memandang perlu sikap proaktif untuk mencari mekanisme yang tepat agar tak ada kebuntuan nanti.
Para pakar punya banyak alasan yang lain. Ada yang melihat deadlock bisa terjadi jika Megawati dicalonkan sebagai presiden. PPP, contohnya, akan mati-matian berpegang kepada fatwa ulamanya yang menegaskan bahwa calon presiden harus putra terbaik—bukan putri—dan muslim yang memiliki ahlakul karimah. Mega juga dianggap "hijau" pengalaman karena baru aktif di politik sejak tahun 1980-an. Pendapat ini "bertabrakan" dengan pendapat lain yaitu Mega menang dalam pemilu, jadi dia pantas jadi presiden.
Faktor Habibie bisa juga menyebabkan buntu, kata politisi lainnya. Banyak partai menolaknya—mungkin kecuali PPP—karena dianggap dia adalah perpanjangan tangan Soeharto. Buktinya, ia enggan mengusut Soeharto. Tapi Habibie "berpengalaman" jadi presiden. Kapasitas pribadinya jelas lebih baik daripada Megawati, yang bahkan tak lulus sarjana. Cuma, Golkar yang mencalonkan Habibie kalah dalam pemilu.
Banyak faktor lain yang berpotensi membuat buntu pemilihan presiden, kata analis yang lain. Amien Rais, misalnya, yang hanya "nomor lima" dalam pemilu dan masih berpeluang maju, tapi menyatakan tak pantas bertarung. Tokoh seperti Jenderal Wiranto juga dianggap tak pantas maju karena "partainya" tak ikut pemilu. Wiranto digolongkan Kastorius Sinaga, pengamat politik, sebagai "kandidat presiden tak berkeringat" karena tak ikut berpayah-payah mengumpulkan suara rakyat. Tokoh lain yang tak berpartai juga masuk golongan ini, tentunya.
Dengan menyusun "skenario buntu" di kepala, ramailah para pakar meramalkan skenario lanjutan. Gus Dur memikirkan untuk memisahkan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan, jadi ada dua kursi tertinggi di negeri ini. Letjen (Purn.) Hasnan Habib mengusulkan triumvirat—menteri pertahanan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri—untuk memerintah karena terobosan ini diperbolehkan oleh ketetapan MPR. Ada usul lain: lima partai besar pemenang pemilu membentuk presidium pemerintahan. Bahkan, ada juga yang mengusulkan pemerintahan transisi jika jalan buntu terjadi nanti.
Semua skenario disusun seolah-olah macet di MPR sudah pasti terjadi. Siapa yang mendorong isu ini? Syamsuddin Haris memastikan isu ini datang dari elite politik. Pelakunya adalah mereka yang tak senang jika Megawati menjadi presiden, atau Habibie jadi presiden, atau keduanya jadi presiden. "Atau mereka yang ingin ada 'kuda hitam' yang tampil," kata peneliti LIPI itu. Kalau macet, dengan dibumbuhi dalih "demi kepentingan bangsa", menurut Haris, bisa saja TNI maju mengambil alih atau mengegolkan calon presidennya.
Haris yakin, dengan sistem satu orang satu suara, yang disepakati partai-partai, kemungkinan macet itu sangat kecil. Harun Alrasyid sepakat. "Saya berani menjamin, tak akan ada deadlock. Apa alasannya?" kata Wakil Ketua KPU ini. Anggota Partai Ummat Islam ini melihat justru pembentukan koalisilah yang berpeluang buntu, bukan pemilihan presiden. Jika ada lebih dari dua calon presiden, kata mantan guru besar UI ini, pemilihan presiden dilakukan secara berjenjang: pertama untuk memilih "dua besar", lalu dua besar itu dipilih sekali lagi menentukan presiden terpilih. Beres. Harun mengutip Ketetapan MPR Nomor 2 Tahun 1973.
Harun percaya, isu deadlock ini muncul karena kita belum terbiasa dengan calon presiden lebih dari satu. Atau, jangan-jangan, sengaja dimunculkan untuk meloloskan "pemimpin tak berkeringat" tadi.
Toriq Hadad, Hani Pudjiarti, Andari Karina, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini