Wajar jika kesabaran petani penggarap di Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, habis. Bagaimana tidak. Meski berbagai keputusan pejabat, dari kelas gubernur sampai menteri, memenangkan mereka, tetap saja lahan seluas 8.000 hektare itu masih dikangkangi PT Torganda. Karena itu, 26 Maret silam, ratusan warga ekonomi lemah itu mencoba merebut lahan tersebut secara paksa.
Tapi karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit itu tak berdiam diri. Mereka melawan. Bentrokan pun terjadi. Puluhan anggota Brimob kemudian diturunkan dan berhasil mencegah aksi petani berlama-lama menguasai lahan itu. Tentu saja dengan berondongan peluru. Adapun dua truk milik perusahaan tak sempat diselamatkan dan dibakar rakyat yang sedang marah. Selain itu, 22 karyawan yang sempat disandera rakyat, yang kali ini dibantu mahasiswa dan aktivis Pemuda Pancasila, juga dapat dibebaskan. Setelah berunding, untuk sementara, sengketa lahan sejak dua tahun lalu itu akan dibawa ke gubernur.
Bentrokan massal itu sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Kejadian serupa, bahkan lebih berdarah, berlangsung 23 Februari silam. Akibat perkelahian massal itu, sedikitnya 12 orang tewas, baik dari pihak karyawan PT Torganda maupun petani. Saat itu para petani juga dapat dipukul mundur oleh karyawan perusahaan, dibantu aparat keamanan.
Menurut Yan Rosa Lubis, salah satu petani, sengketa lahan bernomor register 40 itu bermula dari ulah Kepala Desa Ujung Batu Julu, Kecamatan Barumun Tengah. Secara sepihak, pertengahan Juni 1998, perangkat desa itu "menyerahkan" tanah tersebut ke PT Torganda. Sebagai ganti rugi, para petani penggarap dipaksa menerima Rp 300 juta untuk lahan seluas 8.000 hektare itu. Bersamaan dengan itu mereka diusir tidak boleh lagi berkebun sawit di sana.
Tentu saja para petani tidak terima. Sebab, lahan yang sudah mereka tanami kelapa sawit sejak 1994 itu sudah mulai membuahkan hasil. "Masa, kebun kelapa sawit yang sudah berbuah itu mereka bayar Rp 37 ribu per hektare," kata Yan Rosa, yang juga Ketua Gabungan Kelompok Perjuangan Tani Sejahtera Desa Ujung Gading Jae, Kecamatan Barumun Tengah.
Padahal, para petani itu sebelumnya juga sudah mengeluarkan biaya sebagai ganti rugi menggarap lahan. "Kami membayar Rp 100 ribu per hektare kepada kepala desa karena tanah itu milik adat Desa Ujung Batu Julu," tutur Yan Rosa. Dan lagi, 600 kepala keluarga penggarap itu sudah mendapat surat izin menggarap lahan bekas milik PT Rimba Baru itu. Sejak 1994, masa kontrak perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan itu memang sudah habis dan tidak diperpanjang lagi.
Merasa ditipu, petani pun mengadu ke Komandan Distrik Militer (Dandim) Tapanuli Selatan. Sayang, tidak ada tanggapan serius. Tentu saja, karena, "pengawas operasional PT Torganda di lapangan itu anggota Kodim," ujar Yan Rosa. Kepedihan petani kemudian dilaporkan ke Kepala Polres Tapanuli Selatan. Hasilnya sama saja. Bahkan, PT Torganda makin garang. Tukang pukul perusahaan itu tak segan-segan menganiaya petani yang berusaha masuk ke lahan tersebut.
Kesal dan sedikit putus asa, para petani akhirnya mengadu ke kantor Gubernur Sumatra Utara. Unjuk rasa pun digelar September 1998 silam. Gubernur berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut secepatnya. Selain itu, kepada Kapolda dan Pangdam, Gubernur juga melayangkan surat permintaan agar keamanan para petani dilindungi.
Janji tinggal janji. PT Torganda tetap saja beroperasi di lahan itu. Bahkan semakin banyak orang mengaku suruhan perusahaan yang melakukan intimidasi kepada para petani. Melihat kondisi tersebut, rakyat kecil itu, dibantu Lembaga Bantuan Hukum Medan, mengadu ke instansi yang lebih tinggi. Markas Besar Polri dan Komnas HAM pun mereka datangi, April 1999 lalu. Melalui "jasa" Komnas HAM, petani bisa dipertemukan dengan Darianus Lungguk Sitorus, Direktur Utama PT Torganda. Lagi-lagi tak menuai hasil. Dialog buntu.
Sementara itu, bentrokan antara petani yang terusir dari lahannya dan karyawan PT Torganda tetap saja berlangsung. Melihat suasana semakin panas, Abdul Wahab Dali Munthe, Wakil Gubernur Sumatra Utara, pada 22 Mei 1999 mengeluarkan surat perintah. Isinya, perusahaan milik D.L. Sitorus itu diberi kesempatan sampai 30 Juni 1999 untuk menghentikan dan mengosongkan lahan yang dikuasainya. Jika tidak, akan dilakukan upaya paksa. Surat tersebut dikuatkan pula oleh Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tertanggal 28 Mei 1999. Bahkan, dalam SK Menteri itu juga tertuang biaya pengusiran akan ditanggung Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Surutkah D.L. Sitorus? Ternyata tidak. PT Torganda bergeming di lahan tersebut. Seperti tidak ada apa-apa, kegiatan berkebun mereka berlangsung seperti biasa. Tentu saja rakyat makin marah. Aksi pun kembali digelar di depan Kantor Gubernur, September 1999 lalu. Mungkin karena risi melihat demonstrasi, penguasa daerah Sum-Ut itu mengeluarkan lagi surat perintah pengosongan. Tengku Nurdin Rizal, sang Gubernur, lagi-lagi minta bantuan Kapolda Sum-Ut dan Pangdam Bukit Barisan untuk menindak Torganda.
Tak cuma itu. Permintaan menindak Torganda juga datang dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan kepada Menteri Pertahanan. Surat bernada minta tolong tertanggal 4 November 1999 itu juga ditembuskan ke Kapolri, Gubernur, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sum-Ut. Usaha ini pun tampaknya sia-sia. Buktinya, hingga kini perusahaan yang juga menguasai perkebunan sawit di Kabupaten Kampar, Riau, itu masih saja nongkrong di lahan tersebut.
Tentu saja kebandelan itu memunculkan dugaan, telah terjadi kolusi antara perusahaan dan aparat keamanan. Atau, paling tidak, ada "orang kuat" di belakang PT Torganda yang menghalangi upaya itu. "Saya dengar Feisal Tanjung dan Mien Sugandhi punya saham di Torganda," kata Harijal Jalil, asisten peneliti dari Lembaga Kajian Hutan Indonesia untuk wilayah I Sumatra.
Kepemilikan saham Mien Sugandhi juga dibenarkan Yan Rosa. Bahkan, disebut-sebut D.L. Sitorus adalah "anak angkat" mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita di era Soeharto itu. "Mien juga yang membawa Sitorus ke elite politik dan menjadi bendahara umum Partai MKGR," tutur Yan Rosa.
Kekuatan D.L. Sitorus bisa jadi semakin bertambah, mengingat menantu Mien Sugandhi adalah Letjen (Purn.) Suyono, mantan Kepala Staf Umum ABRI dan bekas Sekjen Dephankam. "Jadi, ada kemungkinan, inilah yang membeking kenapa secara hukum kasus ini tak kunjung selesai," ujar Yan Rosa. Agak masuk akal. Meski mereka belum tentu terlibat, bisa jadi aparat di bawah "sungkan" menindak Torganda karena hubungan tersebut.
Benarkah Mien Sugandhi "orang kuat" yang dimaksud? Solihin, Sekretaris Ketua Umum Partai MKGR, membantah tudingan itu. Meski membenarkan bahwa bosnya punya sedikit saham di sana, Mien tak terlibat di dalamnya. "Saya tidak tahu-menahu apa kegiatan PT Torganda itu," kata Mien Sugandhi seperti dituturkan Solihin kepada TEMPO.
Menurut D.L. Sitorus, "Ibu Mien memang punya saham di PT Torganda, tetapi Pak Feisal Tanjung tidak." Lelaki berperawakan tinggi yang otobiografinya pernah ditulis Permadi itu juga menegaskan bahwa dirinya hanya aktif di organisasi massa MKGR, bukan di Partai MKGR. Terlepas apakah kegiatannya di partai atau ormas, aktivitas D.L. Sitorus di MKGR—yang pernah jadi bagian dari Golkar pada masa Orde Baru—tentu punya kekuatan massa dan politis. Dan bukan tak mungkin, pengaruh itu digunakan untuk berbisnis atau mendekati pejabat atau aparat.
Sitorus membantah adanya beking-bekingan. "Kami sudah mengantongi izin dan masyarakat sendiri yang minta agar saya mengerjakan tanah adat itu," ujar pria yang mengaku pernah jadi preman di Pematangsiantar dan Tanjungpriok itu. Lagi pula, menurut Sitorus, pihaknya hanya menyediakan biaya, sedangkan pengelolanya adalah Koperasi Bukit Harapan milik warga.
Sitorus juga meluruskan status dan jumlah ganti rugi yang dianggap merugikan para petani penggarap. Yang benar, menurut pria yang logat Bataknya masih kental itu, PT Torganda tidak mengganti rugi tanah yang dijadikan perkebunan tetapi hanya mengeluarkan biaya penggantian pembabatan hutan. Itu pun nilainya Rp 450 ribu per hektare. "Biasa, setelah lahan itu menghasilkan, pada berebut mengaku sebagai pemilik, padahal mereka bukan penduduk di situ," ujarnya.
Meski begitu, Sitorus tidak membantah bahwa sebagian petani memang mengantongi surat garapan dari Kepala Desa Ujung Batu Julu. Namun, mereka ada yang melakukan manipulasi data. "Tanah garapan hanya satu hektare, di surat garapan ditulis dua hektare," katanya.
Apa pun alasan D.L. Sitorus, aparat keamanan seharusnya tidak mendiamkan kasus tersebut berlarut-larut. Paling tidak segera membawa kasus itu ke pengadilan untuk membuktikan siapa yang benar. Jika tidak, bentrokan antara petani dan karyawan PT Torganda akan terus berkelanjutan, dan korban mungkin akan semakin besar.
Johan Budi S.P., Agus S. Riyanto, Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini