Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritik kenaikan sanksi denda bagi perusahaan pers yang diatur dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan kenaikan besaran denda dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar itu bisa membangkrutkan perusahaan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya kira Dewan pasti mengerti bagaimana iklim hukum dan kondisi ekonomi media-media kita ini," kata Manan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 11 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan sanksi denda itu diatur dalam Pasal 87 RUU Cipta Kerja yang memuat perubahan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal perubahan, disebutkan bahwa media yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Manan mengatakan, pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 13 itu merupakan persoalan etik. Dia mempertanyakan apakah pelanggaran etik layak didenda sebesar itu. Menurut Manan, pemberian denda seharusnya bertujuan mendidik, bukan membangkrutkan.
"Ini menimbulkan pertanyaan bagi kami sebenarnya apa yang dicari pemerintah dengan menaikkan denda itu. Apakah mau menambah pendapat negara bukan pajak (PNBP)?" ujar dia.
Selain itu, AJI juga menyoroti perubahan Pasal 18 ayat (1) terkait denda bagi orang yang menghalang-halangi kerja pers.
Manan mengatakan, dalam praktiknya Pasal 18 ayat (1) UU Pers ini jarang digunakan oleh penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap wartawan. Misalnya dalam menindak orang yang memukul hingga membunuh jurnalis.
"Dalam kenyataannya pasal ini jarang dipakai, karena kecenderungan polisi menggunakan pasal pidana dan jarang menggunakan Undang-undang Pers," kata Manan.