Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada pelesetan yang diulang-ulang di negara kita: NKRI, Negara Kepolisian Republik Indonesia. Karikatur dan meme di media sosial menunjukkan betapa kuatnya polisi dalam sistem peradilan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Candaan itu kontradiktif dengan keseriusan reformasi yang menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998. Reformasi tidak lengkap sampai sistem peradilan ditangani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, tentara merupakan institusi politik yang paling kuat. Mereka bisa mengesampingkan sistem peradilan pidana, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, untuk menindas lawan politik rezim.
Dikutip dari situs web Museum Polri dalam catatan “Masa Reformasi”, bergulirnya era reformasi memunculkan maraknya tuntutan masyarakat agar Polri memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Harapannya, agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi penegakan hukum.
Gerakan reformasi mendorong pemisahan militer dari politik sipil. Pada 2000, MPR mengeluarkan dua amendemen konstitusi yang mencabut kekuasaan militer atas polisi, memposisikan kepolisian sebagai institusi sipil. Amendemen tersebut memaksa militer melepaskan keterlibatannya dalam politik dan tanggung jawabnya atas keamanan internal, alih-alih menyerahkan tanggung jawab kepada polisi. Dampak dari perubahan konstitusi ini adalah polisi dipromosikan ke tingkat yang sama dengan militer. Polisi kini memiliki kewenangan konstitusional dalam penegakan hukum.
Namun reformasi membawa masalah baru. Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1981, rezim Soeharto mengendalikan sistem peradilan pidana dengan menempatkan polisi sebagai otoritas penuntutan pada sidang praperadilan dan jaksa penuntut umum hanya sebagai tukang pos. Meski demikian, amendemen konstitusi tidak mengatur hubungan antara kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Itu berarti polisi melanjutkan peran yang relatif otonom dalam penegakan hukum, bertindak sebagai petugas investigasi dan bahkan jaksa penuntut umum yang memutuskan apakah kasus tersebut diadili di pengadilan.
Petugas kepolisian terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, 2016. TEMPO/Subekti
Polisi Indonesia bukan hakim dan tidak dilatih di sekolah hukum. Peran mereka adalah mengumpulkan bukti, bukan menuntut di persidangan. Polisi beroperasi dengan keyakinan bahwa mereka memimpin proses peradilan pidana untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik.
Meski tidak lagi menjadi bagian dari militer, Undang-Undang Polri 2002 tetap menjunjung tinggi sifat militer. Sebagian besar tugas dan wewenang polisi dalam undang-undang disalin dari peraturan tentang peran militer dalam menjaga keamanan selama era pemerintahan Soeharto. Tidak mengherankan jika polisi terus menerapkan pendekatan keamanan yang represif dalam penyidikan tindak pidana, bukan yang sesuai dengan aturan hukum.
Pada akhirnya, polisi ditempatkan langsung di bawah kekuasaan presiden mulai 2002. Presiden Abdurrahman Wahid merealisasi pemisahan TNI dan Polri melalui penerbitan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Polri. Pasal 2 ayat 1 menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah presiden. Namun mantan Kapolri Awaloedin Djamin secara terbuka menyatakan bahwa, meski reformasi mengubah kepolisian menjadi organisasi sipil, polisi tetap mempertahankan karakter inti militernya.
Hierarki ketat seperti militer ini meluas ke cara polisi beroperasi. Penyidik kepolisian hanya dapat menangkap atau menahan tersangka atas perintah atasannya. Penyidik bahkan harus menyerahkan rencana penyidikan kepada pimpinan.
Seperti militer, polisi kebal dari tuntutan pidana atas korupsi, tindakan pemaksaan yang melanggar hukum, atau perlakuan buruk terhadap tahanan selama penyelidikan kriminal. Tuduhan perlakuan melawan hukum hanya dapat diselesaikan melalui "mekanisme sidang praperadilan" di pengadilan negeri, sebelum kasus dimulai. Seorang hakim tunggal memutuskan klaim dan tidak ada jalan lain untuk banding. Karena hakim praperadilan mempunyai waktu yang terbatas untuk memeriksa suatu perkara, dalam praktiknya, ia cenderung memeriksa perkara hanya untuk kebenaran administrasinya. Akibatnya, hakim praperadilan jarang memutuskan bahwa paksaan itu tidak sah.
Tuduhan pelanggaran polisi sepenuhnya bergantung pada kepemimpinan polisi untuk mengambil tindakan disiplin atau memulai proses. Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum dan Amnesty International, hal ini memungkinkan seorang polisi yang melanggar pidana berat berperilaku tanpa hukuman.
Pengenalan perlindungan hak asasi manusia ke dalam konstitusi pada 1999-2002 menyarankan bahwa proses pidana selanjutnya akan diatur oleh proses hukum. Namun KUHAP masih berlaku dan amendemen awal konstitusi memperkuat posisi polisi.
Pada tahun-tahun awal, para reformis tidak memprioritaskan acara pidana dan tampaknya jendela peluang telah tertutup. Hasilnya adalah polisi terus mendominasi penyelidikan tanpa banyak pengawasan magisterial. Penuntut umum masih memindahkan kasus dari kepolisian ke pengadilan tanpa mempengaruhi proses penyidikan dan pengadilan enggan memeriksa perilaku polisi selama penyelidikan.
Tidak akan mudah mengubah kenyataan ini. Polisi akan menjadi demokratis ketika mereka bertindak sebagaimana diizinkan oleh hukum; ketika hukum yang mereka ikuti memasukkan standar internasional hak asasi manusia; ketika mereka bertanggung jawab kepada otoritas di luar diri mereka sendiri; dan ketika mereka memberikan prioritas untuk menanggapi kebutuhan keamanan individu. Menghapus aspek militer dari UU Kepolisian dan menerapkan pengawasan yudisial terhadap paksaan polisi akan menjadi langkah pertama menuju kepolisian Indonesia yang lebih demokratis.
---
Tulisan Fachrizal Afandi dari Universitas Brawijaya ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di situs web 360 Info.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo