Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sudah dua anggota DPR 2024-2029 dari PDIP yang dilaporkan ke MKD akibat pernyatannya.
Puan Maharani pernah dua kali dilaporkan ke MKD.
Bambang Soesatyo pernah dikenai sanksi teguran oleh MKD akibat pernyataannya tentang amendemen..
RIEKE DIAH PITALOKA menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2024-2029 yang kedua dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berurusan dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Anggota komisi bidang pertanian DPR itu dilaporkan ke MKD karena pernyataannya yang menentang pemberlakuan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 20 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MKD bergerak cepat merespons pengaduan tersebut dengan memanggil Rieke Diah Pitaloka untuk diperiksa pada Senin, 30 Desember 2024. Belakangan MKD menunda pemeriksaan itu karena anggota DPR masih menjalani reses hingga 20 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nanti, setelah masuk masa sidang, karena kami cek, anggota masih di daerah pemilihan. Ada yang masih Natalan juga," kata Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam, Ahad, 29 Desember 2024.
Sebelum Rieke, koleganya di DPR yang juga dari PDI Perjuangan, Yulius Setiarto, lebih dulu berurusan dengan MKD. Yulius dilaporkan ke MKD oleh seseorang bernama Ali Hakim Lubis akibat pernyataannya yang menuding keterlibatan “partai cokelat” dalam memenangkan pasangan calon kepala daerah tertentu pada pemilihan kepala daerah 2024, November lalu. Partai cokelat di sini mengarah kepada Kepolisian Republik Indonesia yang memiliki seragam berwarna cokelat.
MKD menindaklanjuti laporan tersebut dengan memeriksa pelapor dan Yulius. Kemudian MKD menyimpulkan Yulius terbukti melanggar kode etik anggota DPR karena menyampaikan informasi ke publik tanpa disertai bukti yang cukup. Yulius dikenai sanksi teguran tertulis.
Sebelum laporan tentang Yulius itu sampai ke MKD, beberapa anggota elite PDI Perjuangan memang sempat menyoal dugaan keterlibatan polisi dalam memenangkan pasangan calon kepala daerah tertentu pada pilkada 2024, di antaranya di Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Pasangan calon yang diusung oleh PDI Perjuangan di empat daerah tersebut kalah oleh jagoan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus—gabungan partai politik penyokong Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024. PDIP menggugat hasil pilkada di daerah tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Yulius Setiarto menjalani sidang klarifikasi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Desember 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Langkah MKD memanggil anggota DPR yang menyinggung ataupun mengkritik pemerintahan Prabowo Subianto menuai kontroversi. Upaya MKD ini dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap legislator yang berseberangan dengan pihak eksekutif serta bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Pasal 119 Undang-Undang MD3 menyebutkan MKD bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kemudian Pasal 122 ayat 1 undang-undang itu menyebutkan MKD berwenang menyelidiki dan memverifikasi setiap pengaduan terhadap legislator yang dianggap melanggar kode etik.
Kewenangan MKD diatur lebih rinci dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Pasal 2 ayat 2 butir c peraturan tersebut menyebutkan MKD dapat mengadakan persidangan untuk menerima tindakan dan atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh legislator sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang MD3 ataupun Peraturan DPR tentang Tata Tertib dan Kode Etik. MKD juga berwenang memanggil dan memeriksa legislator yang dianggap melakukan pelanggaran serta memutus perkara pelanggaran.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan MKD merupakan institusi yang dibentuk untuk menegakkan kehormatan dan martabat DPR serta mengadili pengaduan perkara dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Dewan. Namun, kata dia, pemanggilan terhadap Rieke Diah Pitaloka tersebut sudah kebablasan. Sebab, kebijakan pemerintah yang dikritik oleh Rieke merupakan persoalan yang menjadi perhatian publik. Bahkan publik juga menentang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
“Jika seperti ini, MKD tak ubahnya alat untuk menggebuk legislator yang cenderung mengkritik pemerintah,” kata Lucius, Rabu, 1 Januari 2025.
Menurut Lucius, Rieke ataupun legislator lain berhak menyatakan pendapat dan memiliki hak imunitas untuk melindungi pendapat tersebut. Pendapat anggota Dewan itu idealnya memperjuangkan kepentingan publik.
Lucius menilai pendapat Rieke tentang penolakan kenaikan tarif PPN 12 persen justru mewakili keinginan sebagian besar masyarakat. Dengan demikian, pendapat anggota Dewan yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat 7 itu semestinya disambut baik oleh MKD. Sebab, Rieke justru menjaga muruah anggota Dewan dengan jalan menegakkan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif.
“Kalau nanti pernyataan Rieke ini diproses, yang sebenarnya bermasalah secara etik adalah MKD,” ujar Lucius.
Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam serta Wakil Ketua MKD Tubagus Hasanuddin dan Aboe Bakar Alhabsyi belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Adapun Rieke mengatakan tak bisa memenuhi panggilan MKD karena tengah menjalani reses. Di samping itu, ia meminta informasi hasil verifikasi atas keterangan saksi dan ahli. Ia juga meminta informasi terverifikasi ihwal kerugian materil ataupun imateril akibat konten media sosial yang dimaksudkan oleh pengadu Alfadjri Aditia Prayoga. Rieke membutuhkan informasi tersebut untuk persiapan pemberian keterangan dalam sidang MKD.
Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima. dpr.go.id/Runi/Man
Politikus PDIP, Aria Bima, mengkritik langkah MKD membawa pernyataan Rieke tentang penolakan PPN 12 persen ke persidangan kode etik. Aria menilai MKD sudah bersikap latah dalam menyikapi setiap pernyataan legislator. Ia pun meminta MKD tidak melanjutkan agenda sidang etik terhadap Rieke. Alasannya, kritik yang disampaikan Rieke merupakan bagian dari tugas yang melekat pada diri anggota DPR.
“MKD jangan latah menanggapi hal yang dilontarkan anggota Dewan, bisa-bisa MKD yang dibubarkan,” kata Aria.
Sebelum perkara dugaan pelanggaran kode etik Yulius dan Rieke, MKD pernah memanggil Ketua DPR Puan Maharani pada November 2023. Politikus PDIP itu dilaporkan oleh lima organisasi perangkat desa atas tudingan memperlambat proses pembahasan revisi Undang-Undang Desa.
Laporan terhadap Puan itu tak berlanjut di MKD. Sebaliknya, DPR memuluskan revisi Undang-Undang Desa. Saat itu, perubahan Undang-Undang Desa ini diduga menjadi barter politik antara asosiasi kepala desa dan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menyokong pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam pemilihan presiden 2024.
Puan juga pernah berurusan dengan MKD, satu tahun sebelumnya. Putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu dilaporkan melakukan dugaan pelanggaran kode etik karena adanya perayaan ulang tahunnya dalam rapat paripurna DPR. Perayaan itu bersamaan dengan demonstrasi masyarakat yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Saat itu, Nazaruddin Dek Gam, yang menjabat Wakil Ketua MKD, menyatakan Puan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024, Bambang Soesatyo, juga pernah berurusan dengan MKD. Politikus Partai Golkar ini diadukan ke MKD akibat pernyataan yang menyebutkan seluruh partai politik telah sepakat mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya rencana mengembalikan fungsi MPR dalam memilih dan memberhentikan presiden serta wakil presiden. Hasil sidang MKD pada Juni 2024 memutuskan Bambang terbukti melanggar kode etik. Ia pun dikenai sanksi teguran tertulis.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan MKD memang perlu menyikapi setiap aduan atas dugaan pelanggaran anggota DPR. Namun MKD jangan latah dalam menyikapi setiap pernyataan legislator yang diadukan ke lembaganya.
Feri berpendapat, sebagai institusi yang memiliki kewenangan menegakkan kehormatan dan martabat legislator, MKD lebih baik memeriksa legislator yang abai terhadap persoalan publik. Dengan demikian, MKD tidak seharusnya memeriksa Rieke akibat pernyataannya yang justru sejalan dengan keinginan masyarakat. “Yang disampaikan (Rieke) soal PPN 12 persen ini adalah perhatian publik sehingga tak layak dipersoalkan,” katanya. ●
Nandito Putra dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo