Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Angin melemah dari senayan

Perkembangan peredaran ksob & tssb sejak januari 1988 menimbulkan pro & kontra di pelbagai daerah. perlu penelitian berskala nasional yang berbobot untuk memastikan dampak negatif kupon tersebut.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERUAN dan saran FKP agar pemerintah meninJau kembali pelaksanaan KSOB dan TSSB ternyata menimbulkan gema luas di delapan penjuru angin. Pro dan k,ontra segera muncul. Banyak yang memuji keberanian F-KP yang "melawan arus" itu. dan melihatnya sebagai upaya untuk benar-benar menyuarakan nurani masyarakat. Namun, ada juga suara-suara yang mempertanyakan apakah seruan itu sebelumnya sudah "dikonsultasikan" dengan DPP Golkar. Wajar, jika banyak yang khawatir bahwa seruan itu akan membentur tembok. Soalnya, dasar sikap F-KP itu adalah sinyalemen, bukan dilandasi suatu penelitian. Tanpa ada penelitian bcrskala nasional yang berbobot dan tidak bisa diragukan lagi kebenarannya, orang masih bisa bersilang pendapat tentang manfaat kupon-kupon tadi. Dan rupanya hingga kini penelitian dalam skala seperti itu belum pernah dilakukan. Memang ada usaha memantau pelaksanaan KSOB dan TSSB. Senin pekan lalu, Mendagri Rudini sudah memerintahkan para gubernur melaporkan dampak negatif peredaran kupon tebaktebakan itu di daerahnya masing-masing dalam waktu seminggu. "Saya ingln tahu betulkah sebagian besar dana hasil KSOB di daerah-daerah terserap ke pusat. Datanya bagaimana, sebab kalau kita bicara harus berdasarkan fakta." uiar Rudini seusai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Selasa pekan lalu. Bila benar? "Saya akan membuat laporan kepada Presiden," jawab Rudini. Tapi sampai Senin pekan ini, rupanya, belum ada laporan yang masuk dari daerah. "Pak Menteri juga maklum, kok, kenapa laporan itu belum masuk. Tidak mudah untuk mendapatkan data yang komplet dan dapat dipertanggungjawabkan. Itu makan waktu," ujar Feisal Tamin, Kepala Biro Humas Depdagri. Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto, juga bereaksi dengan mengeluarkan SK yang mengatur pengedaran KSOB dan TSSB di wilayah Ibu Kota. SK bertanggal 23 Juni 1988 itu, seperti diakui Wiyogo sendiri, "Antara lain karena adanya kritik F-KP itu." Maka, sejak surat keputusan itu dikeluarkan, seluruh pengedaran KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah) dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) harus seizin Gubernur DKI sebagaimana yang sudah terjadi di provinsi lain. Untuk setiap wilayah kecamatan di Jakarta hanya diizinkan berdiri paling banyak 40 loket penjualan TSSB dan KSOB. Di dalam jumlah ini dikecualikan loket penjualan TSSB seri A, yaitu kupon yang memiliki nomor dengan tujuh angka dan bagi penebak tepat (tujuh angka itu) diberikan hadiah Rp 500 juta. Selain itu, dilarang membuka loket di dekat rumah ibadat atau sekolah, apalagi menjualnya kepada pelajar atau anak di bawah usia 17 tahun. Dan, lebih penting setiap loket penjualan bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya tembusan kupon TSSB/KSOB. Artinya, bila tembusan kupon hilang, loket tetap diwajibkan membayar hadiah bagi pemenang. Mengapa Jakarta begitu terlambat mengatur KSOB dan TSSB? "Dalam mengatur sesuatu 'kan selalu ada kelambatankelambatan. Kayak deregulasi, peraturan menterinya sudah ada tapi pelaksanaannya belum," kata Wiyogo kepada TEMPO. Padahal, undian-undian itu sudah beredar di Jakarta sejak Januari yang lalu. Maka, selama enam bulan ini TSSB dan KSOB beredar luas di Jakarta tanpa kontrol dari Pemda DKI. Jangan heran kalau baru setelah ada SK Gubernur tadi, aparat DKI bergerak menginventarisasikan loket dan agen KSOB atau TSSB di wilayahnya. Untuk itu, menurut Sudarsin, Kepala Biro Humas DKI, diperlukan waktu yang tak sedikit. "Sulitnya, kelihatannya agen liar lebih banyak daripada yang resmi," kata Sudarsin. Yang dimaksud dengan liar di sini ialah para pengecer yang tidak diketahui ole h agen resmi. Contoh agen resmi itu adalah Tjong A Koy, pemilik loket KK dan TSSB di Jalan Lal)a Sinar, Tanjungpriok, Jakarta Utara. Untuk TSSB loketnya bernomor KI 90 dan KSOB nomor 061. Untuk memperoleh izin membuka loket-loket itu, ia sama sekali tak berurusan dengan pejabat DKI, tapi cukup menghubungi agen resmi KSOB dan TSSB dengan membawa fotokopi kartu keluarga, KTP, dan tiga pasfoto. Kemudian ia disuruh mengisi formulir yang menjelaskan nama dan alamat si pemohon dan keterangan apakah tinggal di rumah kontrakan atau milik sendiri. Beres. Seminggu setelah permohonan diajukan, kiriman kupon TSSB dan KSOB datang. Padahal, persis di depan rumah Tjong yang kini berfungsi sebagai loket TSSB dan KSOB itu cuma dipisahkan jalan selebar lima meter, terletak SD dan SMP Lagoa. Di samping loket itu -- hanya terpaut dua rumah ada pula langgar desa. Bukankah loket itu dilarang berlokasi dekat sekolah dan rumah ibadat? "Sebelumnya agen sudah datang survei kemari dan mereka tak bilang apa-apa. Itu artinya 'kan tidak dilarang," ujar Tjong. "Lagi pula, saya ini 'kan cuma pengecer kecil, masa saya harus beli rumah untuk buka loket ini ?" Tampaknya, pengecer seperti Tjong ini, yang lokasinya sebetulnya tidak memenuhi syarat, cukup banyak bertebaran di seantero penjuru Jakarta. Salah satu "kelemahan" sinyalemen F-KP adalah dugaan -- seperti pernah dikemukakan anggota F-KP di Komisi APBN, Indra Bambang Oetoyo -- bahwa dalam setahun KSOB dan TSSB menyedot dana yang besar sekali, Rp 1,2 trilyun. Dan itu mengganggu perekonomian di desa. Betulkah begitu banyak dana tersedot? Sumber TEMPO mengungkapkan omset KSOB cuma Rp 14,4 milyar/bulan (Rp 172,8 milyar/setahun) dan itu pun hanya 30% yang ditarik ke Jakarta (TEMPO 9 Juli 1988). TSSB disebutkan memiliki omset yang hampir sama, sehingga masih jauh di bawah angka yang disodorkan F-KP. Departemen Sosial memberi izin pada PT Sahabat Sukses, agen tunggal KSOB, untuk mencetak kupon cuma 10 juta/bulan. TEMPO sendiri sulit mengecek berapa kupon yang dicetak setiap bulan. Eddy Alamsyah Ratu Perwiranegara, pemilik PT Karya Unipres -- salah satu pe-rusahaan pencetak kupon TSSB -- menolak untuk diwawancarai. Tapi tampaknya sejak pekan lalu, suara-suara keras dari gedung DPR di Senayan, Jakarta, mulai mengendur. Ketua DPR Kharis Suhud, misalnya, menerjemahkan permintaan F-KP "untuk meninjau kembali izin pelaksanaan KSOB dan TSSB" itu tidak berarti meminta izin dicabut melainkan "hanya menertibkan peredarannya". "Ekses-eksesnya yang harus diberantas," kata Ketua DPR, Sabtu pekan lalu. Sebelumnya, Selasa pekan lalu, F-KP dan F-ABRI memang sudah mengadakan pertemuan dengan Menteri Sosial di Depsos membicarakan KSOB dan TSSB. Dalam pertemuan itu Mensos Haryati Soebadio dikabarkan membantah "penyedotan dana" yang dilemparkan F-KP itu. Haryati, misalnya, memberikan data bahwa cuma 30% dana undian itu yang disedot ke Jakarta. Menteri membantah pula tuduhan seolaholah KSOB dan TSSB bebas pajak. Ia memberitahukan bahwa pada 1987, YDBKS telah menyetorkan pajak yayasan dan pajak pemenang undian Rp 2,475 milyar untuk Porkas dan Rp 2,829 milyar untuk TSSB. "Untuk mencari tahu dampak KSOB dan TSSB, Menteri Sosial menyatakan akan melakukan peninjauan inkognito serta meminta laporan dari aparatnya di daerah," kata seorang anggota DPR yang mengikuti pertemuan. Mengendurnya angin keras dari Senayan itu tampak juga dari pernyataan KNPI. Ketua Umum KNPI Didiet Haryadi, yang sebelumnya menyamakan TSSB dan KSOB dengan "hama", Jumat pekan lalu menyatakan bahwa KNPI tak setuju KSOB dan TSSB dihapuskan karena sekalipun punya dampak negatif, banyak dampak positifnya, terutama untuk mengembangkan kegiatan olah raga. "Namun, harus dicari jalan keluar sehingga ekses atau hamanya itu bisa dihilangkan," kata Didiet. Yang paling berat adalah munculnya kritik keras terhadap sikap F-KP dari Alamsyah Ratu Perwiranegara, anggota Dewan Pembina DPP Golkar. Menurut bekas Menko Kesra itu, cara yang ditempuh F-KP -- yang disebutnya tanpa konsultasi lebih dahulu dengan menteri yang bersangkutan -- dalam soal KSOB dan TSSB itu tidak tepat. Cara seperti itu, termasuk perhitungan omset KSOB dan TSSB yang diungkapkan F-KP, kalau tidak hati-hati dapat mengundang interpretasi bahwa itu dilakukan dengan sengaja untuk memojokkan pemerintah. Entah angin apa lagi yang akan berembus. Tapi Ketua F-KP, Soeharto, menyatakan bahwa fraksinya tidak akan menarik sinyalemen yang mereka ungkapkan sebelumnya. Dan lebih penting lagi, Soeharto berkata, "F-KP tetap kompak." Artinya, fraksi itu menghadapi rapat kerja dengan Menteri Sosial di Komisi VIII, Selasa pekan ini, dengan suara yang bulat. Amran Nasution, Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus