BERMAIN golf sama sulitnya dengan berkebun sayur. Ini yang terjadi di lapangan golf Cimacan, Cibodas, Jawa Barat, yang tengah dibangun oleh PT Bandung Asri Mulya (BAM). Sabtu dua pekan lalu sekitar 150 petani yang mengaku sebagai penggarapnya menyerbu areal lapangan golf itu dan mencangkulinya beramai-ramai. Mereka tak lagi mengindahkan plang bertuliskan "Dilarang Masuk Tanpa Ijin" yang terpasang di situ. Bahkan hari itu para petani memasang plang tandingan yang berbunyi "Hidup Mati Kami dari Tanah Ini. Biarkan Kami Tetap Bertani". Pada hari ketiga, Bupati Eddi Soekardi mendatangi para petani yang sedang meradang itu, sembari membawa oleh-oleh peuyeum alias tape singkong. Tentu, Eddi meminta agar aksi pencangkulan itu dihentikan. Plang yang dipasang dan menantang itu pun dianjurkan agar dicopot saja. Perintah bupati itu diikuti dengan catatan plang PT BAM juga ditanggalkan. Eddi setuju. Kedua plang yang dipancangkan di atas tanah sengketa seluas 34 ha itu pun dicopot. PT BAM balik melancarkan aksi balasan dengan melaporkan perihal "pelanggaran" itu kepada polisi. Sejumlah nama pun dipanggil ke Polsek Pacet, yang membawahkan Cimacan, pekan lalu. Pemeriksaan belum dilakukan, kendati beberapa nama yang dimaksud telah datang ke kantor polisi "Bukan dibatalkan, tapi ditunda," ujar Kepala Polres Cianjur Letkol. Pol. Farouk M.S. Kenekatan para petani itu punya alasan. Mereka sebelumnya adalah penggarap tanah itu sejak tahun 1940-an. Bahkan sebagian tanah telah diwariskan secara turun-temurun. Kendati demikian, status tanah itu tetap sebagai titisara alias harta kekayaan desa. Sampai saat terakhir, para petani hanya dikenai uang sewa Rp 2.000 setiap patok (400 m2). Namun, tanpa persetujuan para penggarap, Pamong Desa Cimacan mengalihkan penguasaan tanah itu kepada PT BAM. Imbalan yang diterima sebesar Rp 90 juta untuk masa sewa 30 tahun. Para petani, yang diharuskan mengambil uang pangjeujeuh atau santunan Rp 30 per meter, mulai 1988 diharuskan menyingkir dari lahan kebun sayur itu. Dengan berbekal surat izin dari gubernur, PT BAM mulai merombak kebun sayur itu menjadi lapangan golf. Lebih dari 200 penggarap tergusur. Sengketa pun meletup. "Keinginan kami, uang sewa itu dikembalikan saja ke PT BAM, dan kami sanggup membayar Rp 5 juta setahun," ujar seorang penggarap. Untuk mencari jalan keluar, para penggarap itu kembali diajak berembuk, Jumat siang pekan lalu, di aula Mandala Kitri Cibodas. Dalam pertemuan itu hadir pula Bupati Eddi Soekardi, Kopolres Farouk M.S., Direktur PT BAM Isa Ali, dan petugas LBH Jakarta, yang bertindak sebagai pendamping para petani penggarap. Farouk, yang tampil sebagai moderator pertemuan itu, dengan bahasa Sunda yang patah-patah mencoba menjelaskan status hukum tanah titisara itu. Di ujung uraiannya, Farouk menyodorkan tiga alternatif pemecahan: cara kekeluaraan, cara hukum, atau kekerasan. Jika alternatif pertama yang dipilih, kata Farouk, penggarap berhak atas uang pangjeujeuh, di samping uang ganti rugi untuk tanaman yang rusak. "Lapangan kerja baru juga akan disediakan," ujarnya. Jika cara hukum yang akan diambil, Farouk mengatakan, "prosesnya berbelit-belit." Ia juga mengingatkan agar para penggarap tidak coba-coba menempuh cara kekerasan. "Akan banyak korban, dan para petani akan telantar" tambahnya. Farouk cuma berhasil menggiring forumitu membentuk tim, terdiri dari unsur Pemda Cianjur aparat Desa Cimacan, PT BAM, dan wakil penggarap, yang bertugas meneliti status hukum tanah sengketa itu.Putut Tri Husodo dan Agung Firmansyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini