Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI menetapkan empat orang pengurus dan mantan pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai tersangka pada Senin, 25 Juli 2022. Keempatnya adalah pendiri sekaligus mantan Ketua Dewan Pembina ACT, Ahyudin; Ketua Dewan Pembina Yayasan ACT, Novariadi Ilham Akbari; anggota Dewan Pembina Yayasan ACT, Heryana Hermai; dan Ketua Yayasan ACT, Ibnu Khajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Sub-Direktorat IV Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Komisaris Besar Andri Sudarmadi, mengatakan sementara ini penyidik menjerat para tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana kompensasi yang digelontorkan Boeing untuk para ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2019. ACT menjadi satu dari tiga lembaga yang dipilih Boeing Community Investment Funds (BCIF) untuk mengelola dana kompensasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Andri, BCIF mengirim dana kepada ACT sebesar Rp 138,52 miliar pada 25 Januari 2021. Sedianya, dana itu digunakan ACT untuk menjalankan program yang disepakati bersama 69 ahli waris di 93 lokasi sepengetahuan Boeing. Namun hasil penyidikan menemukan anggaran untuk program tersebut hanya terealisasi sebesar Rp 103,4 miliar. “Sisanya, Rp 34,5 miliar, digunakan untuk kepentingan di luar program Boeing,” kata Andri kepada Tempo, Selasa, 26 Juli lalu.
Kasus ACT mencuat setelah Tempo menerbitkan laporan utama bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat” pada edisi 2 Juli 2022. Tempo membeberkan dugaan pemborosan dan penyelewengan dana donasi, yang ditengarai melibatkan para petinggi ACT, sehingga lembaga penggalangan dan pengelolaan dana publik untuk kemanusiaan tersebut mengalami krisis keuangan pada 2021. Dana umat juga ditengarai digunakan untuk kepentingan pribadi dan memenuhi gaya hidup mewah petinggi ACT. Dugaan penyelewengan dana kompensasi Boeing untuk ahli waris korban kecelakaan Lion Air juga diurai dalam laporan tersebut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan (kiri) dan Wadir Tipideksus Bareskrim Polri, Kombes Helfi Assegaf (kanan) memberi ketetangan terkait kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Mabes Polri, Jakarta, 25 Juli 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Andri mengatakan para tersangka diduga memotong dana donasi di luar ketentuan dan turut menikmatinya melalui fasilitas, gaji, hingga tunjangan. ACT diduga mengelola dana donasi dengan lebih dulu memotong sebesar 20-30 persen untuk gaji, tunjangan, fasilitas, dan biaya operasional. Padahal, kata Andri, Undang-Undang Pengumpulan Uang atau Barang serta Peraturan Menteri Sosial tentang Pengaturan Pengumpulan Uang dan Barang menegaskan pungutan biaya operasional dari dana publik maksimal 10 persen.
Potongan dana donasi yang diduga melebihi ketentuan mengacu pada surat keputusan bersama dari pembina dan pengawas ACT nomor 12/SKB/ACT/V/2015 tentang ketentuan alokasi dana operasional Yayasan ACT. Surat ini menyebutkan pemotongan dana donasi sebesar 20-30 persen. Selain itu, kata Andri, hasil opini Dewan Syariah Yayasan ACT nomor 002/DS/ACT/III/2020 tentang dana operasional juga membolehkan yayasan memotong donasi untuk dana operasional maksimal 30 persen.
Ahyudin, kata Andri, ditengarai berperan sebagai pembuat kebijakan pemotongan donasi. Ahyudin juga disinyalir turut menerima gaji dari potongan donasi dan menggunakan dana kompensasi dari Boeing untuk kepentingan di luar program. "Sementara itu, Ibnu Khajar, Heryana Hermai, dan Novariadi Ilham Akbari berperan melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Ahyudin dan menerima kekayaan dari pemotongan donasi," kata Andri.
Dalam kasus dana Boeing, ahli waris sebelumnya mengajukan kompensasi yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan sekolah. ACT, yang kala itu mengetahui ihwal kecelakaan pesawat Lion Air, kata Andri, mengajukan permohonan ke BCIF sebagai lembaga yang memberikan dana kompensasi. Agar dikabulkan menjadi pengelola dana, ACT lebih dulu harus memenuhi protokol BCIF, termasuk di antaranya berupa formulir yang menyatakan para ahli waris setuju menyerahkan pengelolaan dana kompensasi kepada yayasan.
ACT kemudian mendatangi para ahli waris dengan membawa formulir tersebut, yang pada akhirnya ditandatangani oleh ahli waris. “Formulir itu menyebutkan bahwa pengelolaannya (dana kompensasi) melalui Yayasan ACT,” kata Andri.
Namun, dalam perkembangannya, dana itu ditengarai diselewengkan dalam beberapa modus. Dana kompensasi senilai Rp 8,7 miliar, misalnya, ditengarai dipakai untuk membangun Pesantren Peradaban di Tasikmalaya, yang diduga masih terafiliasi dengan keluarga Ahyudin. ACT juga disinyalir membelanjakan dana itu untuk pengadaan program Big Food Bus dan Rice Truck, masing-masing senilai Rp 2,8 miliar dan Rp 2 miliar.
Selain itu, Andri memaparkan, dana kelolaan disinyalir digunakan untuk menalangi utang perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan ACT. Penyidik mencatat sedikitnya 10 perusahaan terafiliasi dengan ACT, yaitu PT GWC, PT AWC, PT TWC, PT MFG, PT DWF, PT HPR, PT SMI, PT THFS, PT GIS, dan PT IMI. Bisnisnya meliputi sektor investasi, retail, digital, periklanan, penyelenggara acara, dan logistik.
Sejauh ini, dana kompensasi Boeing terindikasi dipakai untuk menalangi utang dua perusahaan afiliasi, masing-masing senilai Rp 7,8 miliar dan Rp 3,5 miliar. Selain itu, ACT diduga mengambil dana senilai Rp 10 miliar untuk Koperasi Syariah 212.
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar usai menjalani pemeriksaandi Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 12 Juli 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Menurut Andri, penyidik telah mengumpulkan dokumen-dokumen ACT, baik dari kantor lembaga maupun yang ditengarai sempat hendak disembunyikan di salah satu kantor pengelola dana wakaf. Sejak kemarin, penyidik mulai menelusuri aset-aset ACT. Bareskrim juga akan segera memohon dilakukannya pencegahan ke luar negeri terhadap para tersangka. “Perlu dilakukan pendalaman, bisa jadi ada tersangka lain,” kata dia.
Andri menyebutkan para tersangka dijerat pasal berlapis, yakni tindak pidana penggelapan dan/atau penggelapan dalam jabatan, tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, tindak pidana yayasan, serta tindak pidana pencucian uang. Ia mengatakan para tersangka terancam hukuman 20 tahun penjara.
Tempo telah menelepon serta mengirim pesan kepada Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain untuk mengklarifikasi kasus yang menjerat mereka sebagai tersangka di kepolisian. Namun keduanya tak merespons. Begitu pula upaya meminta tanggapan kepada Direktur Komunikasi ACT Foundation, Andria Wijaya, tak bersahut. Sementara itu, kuasa hukum Ahyudin, Teuku Pupun Zulkifli, menyatakan belum dapat memberikan tanggapan.
Perusahaan Boeing menggunakan jasa firma hukum Feinberg yang berbasis di Washington, DC, Amerika Serikat, untuk merancang, menerapkan, dan mengelola prosedur distribusi dana kompensasi. Pengelola dana dari Feinberg, Camille Biros, mengatakan kantornya mengelola distribusi dana kepada keluarga korban kecelakaan Boeing 737 Max dan kepada organisasi yang dipilih oleh keluarga korban.
Kepada Tempo, Camille mengaku telah mendengar pemberitaan ihwal dugaan penyelewengan dana oleh pengurus ACT. “Jika informasi yang dilaporkan akurat, sangat disayangkan,” kata dia. Kendati begitu, ia mengatakan belum mendengar informasi lanjutan selain yang beredar di media.
Camille mengatakan Feinberg sebelumnya telah mengundang keluarga korban dan perwakilannya untuk menyerahkan family application support. Formulir ini menunjukkan preferensi keluarga untuk pendanaan organisasi atau program amal yang memenuhi syarat kelayakan. Program yang dijalankan oleh lembaga, kata dia, juga direkomendasikan dan dipilih oleh keluarga secara langsung. “Agar memenuhi syarat untuk menerima dukungan keuangan, semua formulir aplikasi program harus memberikan bukti yang cukup kepada administrator untuk memastikan kepatuhan terhadap syarat dan ketentuan protokol,” kata dia, kemarin.
Menurut Camille, hingga saat ini, ACT belum memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Feinberg soal penggunaan dana. Laporan dari berbagai organisasi, kata dia, biasanya diterima bergiliran setelah program atau proyek rampung.
IMA DINI SHAFIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo