Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bagimana Mendidik Jenius

Indonesia memperoleh hadiah pertama dalam lomba cerdas cermat se-ASEAN tingkat Sekolah Dasar di Manila. (pdk)

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BU Guru Sriani kaget, kagum dan bangga. Ia mendapati Haryanto, muridnya begitu cerdas. "Begitu saya selesai menulis soal di papan, belum juga saya duduk, Haryanto sudah menyerahkan jawabannya," tutur guru berhitung di kelas I SD Inpres 275 Kedung Baruk, 4 km dari Surabaya itu. Tapi perhatian sang ibu guru--juga lingkungan di situ -- hanya sampai mengagumi. Dan memang begitulah umumnya perhatian terhadap anak super cerdas di Indonesia. Berlawanan dengan sikap yang diberikan kepada anak yang lamban belajar. Di sini guru, orang tua, psikolog, semua cemas--dan katakanlah beramai-ramai mencoba menolong, dengan memberinya pelajaran ekstra misalnya. Padahal para pendidik dan psikolog setuju, bahwa "mubazir sekali kalau potensi anak cerdas tak diperhatikan," seperti kata Dr. Utami Munandar dari Fakultas Psikologi UI. Hanya, bagaimana caranya? Dalam dua kali seminar tentang sekolah luar biasa (SLB), diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan tBP3K) Departemen P&K -- akhir September dan akhir November lalu --untunglah soal sekolah khusus untuk anak cerdas turut dibicarakan. Dari situ sejumlah masalah muncul. Misalnya, bagaimana kriteria anak cerdas itu. Bagaimana pula sebaiknya bentuk pendidikannya. Sebab, mengelompokkan anak-anak yang dinilai super cerdas dalam satu kelas tersendiri misalnya, menurut Dr. qonny Semiawan, ahli pendidikan luar biasa TKIP Jakarta, merugikan Ada kemungkinan bisa menimhulkan sikap somhong -- merasa diri sendiri "kelompok elite intelektual yang superior" katakanlah. Bagaimana kalau pelajaran diberikan dengan sistem modul, yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan kecepatan sendiri Bisa. Hanya berdasar penelitian di beberapa SD di Jakarta tahun ini, menurut Dr. Utami Munandar,. itu belum menutup kebutuhan mereka. Sebab anak-anak jenis ini --menurut penelitian itu--ternyata jelas sekali keinginannya untuk mendalami bidang tertentu. Misalnya elektronika, astronami, peninggalan sejarahI atau apalah -- yang tak ada dalam pelajaran. Masih ada satu pilihan. yang oleh Dr. Conny Semiawan disarankan: program pengayaan. Mudah sekali anak-anak itu bersekolah seperti biasa, hanya di luar diberi kesempatan memperdalam pengetahuan sesuai dengan minat masing-masing. Dengan itu anak-anak tak perlu dikelompokkan tersendiri dan terhindat dari rasa 'superior' tadi. Yang tidak dijelaskan ialah, tidakkah kesempatan tambahan itu, yang tentu saja terlalu tinggi untuk diikuti anakanak lain, juga menyebabkan rasa "superior" yang sama. Bahkan orang juga bisa sangsi terhadap timbulnya rasa "superior" sendiri. Sudahkah dipikirkan misalnya, dalam pendidikan khusus buat anak super cerdas itu diberikan juga pendidikan budi, yang biasanya lewat agama--yang misalnya bisa menyadarkan si anak, bahwa nilai manusia tidaklah 'semata-mata' ditentukan oleh otaknya? Memang, itu terutama tergantung pada cara pengajarannya. Toh para guru dan kepala sekolah SD sudah menempuh suatu cara dalam menghadapi anak jenis itu. Lazimnya dengan menaikkannya satu tingkat lebih tinggi--misalnya dari kelas III ke kelas V. Keberatannya, menurut Dr. Conny: anak-anak lalu tidak mengalami semua lahap yang mestinya sangat berguna unruk dirinya. Conny sendiri pernah menemukan seorang anak yang diloncatkan kelasnya dan ternyata tak mampu mengalikan angka. Itu, tentunya, karena tahap perkalian tak dialaminya--atau tak diajarkan sebagai susulan. Einstein, Edison Tapi pokok pertama sebenarnya ialah: apa yang disebut anak cerdas sendiri Dra. Yaumil Agoes Akhir, dalam 'Simposium Pengembangan Metode Mengenal Anak Cerdas serta Trampil dari Keluarga Tidak Mampu', akhir November lalu, mengetengahkan beberapa cara mengenal anak jenis itu. Yang lazim, katanya, kriterianya adalah penilaian guru. Tapi benarkah penilaian guru selalu tepat? Penelitian Yayasan Pengembangan Kreativitas, dari UI bekerja sama dengan BP3K, tahun ini, membuktikan satu hal. Di beberapa SD di Jakarta yang dianggap maju, guru diminta menunjuk 3 anak yang "paling cerdas". Ternyata hanya sekltar sepertiga dari mereka yang punya IQ (tingkat kecerdasan) di atas 130--IQ rata-rata adalah 100. Sementara anak-anak yang tak dinilai cerdas ternyata lebih dari sepersepuluhnya punya IQ di atas 130 pula. Lagipula, kalau kriterianya hanya penilaian guru--alias anak yang menonjol di kelas--maka Albert Einstein, Thomas Alva Edison atau lainnya tentu tak akan tergolong anak super cerdas. Tes inteligensia dan tes bakat pun, menurut Dra. Yaumil, tak mutlak bisa dipegang. Apalagi untuk mengetes berbagai anak dari berbagai lingkungan dan latar budaya. Puyeng? Untuk menyusun sebuah kebijaksanaan umum, mungkin ya. Tapi agaknya tidak, bila yang dihadapi seorang-seorang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus