BU Guru Sriani kaget, kagum dan bangga. Ia mendapati
Haryanto, muridnya begitu cerdas. "Begitu saya selesai menulis
soal di papan, belum juga saya duduk, Haryanto sudah menyerahkan
jawabannya," tutur guru berhitung di kelas I SD Inpres 275
Kedung Baruk, 4 km dari Surabaya itu.
Tapi perhatian sang ibu guru--juga lingkungan di situ --
hanya sampai mengagumi. Dan memang begitulah umumnya perhatian
terhadap anak super cerdas di Indonesia. Berlawanan dengan sikap
yang diberikan kepada anak yang lamban belajar. Di sini guru,
orang tua, psikolog, semua cemas--dan katakanlah beramai-ramai
mencoba menolong, dengan memberinya pelajaran ekstra misalnya.
Padahal para pendidik dan psikolog setuju, bahwa "mubazir
sekali kalau potensi anak cerdas tak diperhatikan," seperti kata
Dr. Utami Munandar dari Fakultas Psikologi UI. Hanya, bagaimana
caranya?
Dalam dua kali seminar tentang sekolah luar biasa (SLB),
diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan tBP3K) Departemen P&K -- akhir
September dan akhir November lalu --untunglah soal sekolah
khusus untuk anak cerdas turut dibicarakan. Dari situ sejumlah
masalah muncul.
Misalnya, bagaimana kriteria anak cerdas itu. Bagaimana
pula sebaiknya bentuk pendidikannya. Sebab, mengelompokkan
anak-anak yang dinilai super cerdas dalam satu kelas tersendiri
misalnya, menurut Dr. qonny Semiawan, ahli pendidikan luar biasa
TKIP Jakarta, merugikan Ada kemungkinan bisa menimhulkan sikap
somhong -- merasa diri sendiri "kelompok elite intelektual yang
superior" katakanlah.
Bagaimana kalau pelajaran diberikan dengan sistem modul,
yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan kecepatan sendiri
Bisa. Hanya berdasar penelitian di beberapa SD di Jakarta tahun
ini, menurut Dr. Utami Munandar,. itu belum menutup kebutuhan
mereka. Sebab anak-anak jenis ini --menurut penelitian
itu--ternyata jelas sekali keinginannya untuk mendalami bidang
tertentu. Misalnya elektronika, astronami, peninggalan sejarahI
atau apalah -- yang tak ada dalam pelajaran.
Masih ada satu pilihan. yang oleh Dr. Conny Semiawan
disarankan: program pengayaan. Mudah sekali anak-anak itu
bersekolah seperti biasa, hanya di luar diberi kesempatan
memperdalam pengetahuan sesuai dengan minat masing-masing.
Dengan itu anak-anak tak perlu dikelompokkan tersendiri dan
terhindat dari rasa 'superior' tadi.
Yang tidak dijelaskan ialah, tidakkah kesempatan tambahan
itu, yang tentu saja terlalu tinggi untuk diikuti anakanak lain,
juga menyebabkan rasa "superior" yang sama.
Bahkan orang juga bisa sangsi terhadap timbulnya rasa
"superior" sendiri. Sudahkah dipikirkan misalnya, dalam
pendidikan khusus buat anak super cerdas itu diberikan juga
pendidikan budi, yang biasanya lewat agama--yang misalnya bisa
menyadarkan si anak, bahwa nilai manusia tidaklah 'semata-mata'
ditentukan oleh otaknya? Memang, itu terutama tergantung pada
cara pengajarannya.
Toh para guru dan kepala sekolah SD sudah menempuh suatu
cara dalam menghadapi anak jenis itu. Lazimnya dengan
menaikkannya satu tingkat lebih tinggi--misalnya dari kelas III
ke kelas V. Keberatannya, menurut Dr. Conny: anak-anak lalu
tidak mengalami semua lahap yang mestinya sangat berguna unruk
dirinya. Conny sendiri pernah menemukan seorang anak yang
diloncatkan kelasnya dan ternyata tak mampu mengalikan angka.
Itu, tentunya, karena tahap perkalian tak dialaminya--atau
tak diajarkan sebagai susulan.
Einstein, Edison
Tapi pokok pertama sebenarnya ialah: apa yang disebut anak
cerdas sendiri Dra. Yaumil Agoes Akhir, dalam 'Simposium
Pengembangan Metode Mengenal Anak Cerdas serta Trampil dari
Keluarga Tidak Mampu', akhir November lalu, mengetengahkan
beberapa cara mengenal anak jenis itu. Yang lazim, katanya,
kriterianya adalah penilaian guru. Tapi benarkah penilaian
guru selalu tepat?
Penelitian Yayasan Pengembangan Kreativitas, dari UI
bekerja sama dengan BP3K, tahun ini, membuktikan satu hal. Di
beberapa SD di Jakarta yang dianggap maju, guru diminta menunjuk
3 anak yang "paling cerdas". Ternyata hanya sekltar sepertiga
dari mereka yang punya IQ (tingkat kecerdasan) di atas 130--IQ
rata-rata adalah 100. Sementara anak-anak yang tak dinilai
cerdas ternyata lebih dari sepersepuluhnya punya IQ di atas 130
pula.
Lagipula, kalau kriterianya hanya penilaian guru--alias
anak yang menonjol di kelas--maka Albert Einstein, Thomas Alva
Edison atau lainnya tentu tak akan tergolong anak super cerdas.
Tes inteligensia dan tes bakat pun, menurut Dra. Yaumil,
tak mutlak bisa dipegang. Apalagi untuk mengetes berbagai anak
dari berbagai lingkungan dan latar budaya. Puyeng?
Untuk menyusun sebuah kebijaksanaan umum, mungkin ya. Tapi
agaknya tidak, bila yang dihadapi seorang-seorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini