PESANTREN ternyata bisa menjadi pusat pengembangan teknologi pedesaan. Setidaknya, laporan dari 15 pesantren, 29-31 Januari lalu di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, menyatakan keberhasilan pesantren mengembangkan teknologi tepat guna kepada masyarakat lingkungannya. Adalah LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang mula-mula mengambil langkah. Tahun 1977 lembaga swasta itu mengadakan latihan pengembangan masyarakat untuk sejumlah kiai dan santri senior. Mula-mula bersifat nonteknis, misalnya memotivasikan produsen kerupuk agar menghemat bahan bakar. "Tapi, kami lalu terbentur soal yang teknis sifatnya," tutur Mufid A. Busyairi lulusan IAIN, salah seorang peserta latihan. Ternyata, diperlukan juga semacam pendidikan keterampilan. Maka, pada 1981, program itu menambahkan latihan teknologi tepat guna. Acara tiga hari di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo yang lalu itu untuk menilai program ini. Pesantren dipilih karena lembaga masyarakat ini "merupakan alternatif terbaik sebagai pelaksana pengembang masyarakat," kata Dawam Rahardjo direktur LP3ES. "Para kiai dengan mudah mengajak masyarakat bergotong-royong tanpa upah. Masyarakat menganggap pekerjaan ini sebagai amal," tutur Craig Carpenter Thorburn, orang Amerika Serikat yang menjadi konsultan LP3ES. Tak hanya itu. Teknologi lewat pesantren mudah diterima tanpa kecurigaan. Bahkan tak jarang masyarakat sendiri lantas mengembangkannya. Teknologi bambu semen, misalnya, yang dikembangkan di Pondok Pesantren An Nuqayah, Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Madura. Teknologi murah ini diperoleh dengan cara menggantikan kerangka besi dengan anyaman bambu untuk membuat beton. Seperti diceritakan H. Abdul Basith dalam pertemuan di Sukorejo itu, bambu semen sangat efisien untuk membuat bak penampung air. Menurut perhitungan, bak air bambu semen berkapasitas 8.000 liter hanya membutuhkan biaya setengahnya daripada bila dibuat dengan dinding beton biasa. Kini sudah lima bak air dibangun di Guluk-guluk. "Di Madura yang kebutuhan airnya tergantung hujan, bak itu sangat bermanfaat," kata A. Syafii, santri di situ. Operan ide herupa bambu semen itu kemudian dikembangkan menjadi genting serat semen, yang dibuat dan adonan serabut kelapa atau serabut nanas, pasir ayakan, dan semen. Selain lebih kuat, genting serat semen tak merusakkan lingkungan karena tidak menghabiskan tanah liat. Untuk memberikan pelajaran teknologi tepat guna kepada masyarakat pedesaan, diperlukan berbagai metode. Misalnya metode pamer. Ini dipraktekkan oleh Pesantren Asem Bagus, Situbondo, yang dipimpin oleh Kiai As'ad Syamsul Arifin. Tak mendapat tanggapan masyarakat ketika memperkenalkan pompa hidran, suatu saat para santri lantas mendemonstrasikan pompa hldran di tempat umum. Hasilnya, DomDa hidran kini memasyarakat di lingkungan Asem Bagus. Yang lain, dikisahkan oleh H. Achmad Zainal Djinan, pendiri Pesantren Al Qadiriyah, di Lampung Tengah, dalam memasyarakatkan pompa tali. Mula-mula, seorang santri membuat pompa itu untuk sumur pesantren. Kepandaian yang diperoleh dari LP3ES ini lantas ditularkan kepada temannya. Dan seterusnya, hingga kepala desa pun Ikut belajar membuat pompa, yang bisa menarik air dari sumur yang dalam tanpa penimba banyak mengeluarkan tenaga. Ini boleh disebut metode getok tular: - kampanye lisan, langsung dari orang ke orang. Kini ada 64 pesantren di Jawa, Sumatera Sulawesi, dan Kalimantan yang dibina LP3ES. Sukses gagasan ini antara lain berkat kesadaran para kiai. Misalnya Kiai Ali Yafi dari Sulawesi Selatan menemukan fiqih yang membahas lingkungan hidup. Kiai Hasyim Zainl dan Probohnggo, menurut Dawam, pernah mengatakan, "Sudah waktunya membahas fiqih teknologi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini