KEGEMBIRAAN rakyat Ende memiliki lapangan terbang, tampaknya
berganti dengan kekecewaan. Setidaknya buat sementara. Karena
sejak 2 Maret lalu, mereka kembali harus menyisihkan isi
sakunya. Seperti diwajibkan Bupati Ende, meski terbatas kepada
para pedagang yang menggunakan fasilitas lapanan terbang
Ippi-Ende itu. Dengan memungut bea atas barang yang keluar masuk
bandar udara Ippi-Ende. Ketentuan ini tercantum dalam surat
Bupati kepada kepala Kantor Cabang Bea dan Cukai Ende.
Padahal pungutan sebesar Rp 300 perkepala, buat pembiayaan
pembuatan bandar udara tersebut, yang pernah dilaksanakan selama
2 tahun sejak 3 Desember 1971, sudah lama dihentikan. Sebab
biaya Rp 54 982.000 (Rp 30 jyta buat biaya pembangunan bandar
udara sisanya buat ganti rugi), melalui pungutan tersebut sudah
lama beres. Dan bandar udara yang dibangun dengan menggusur desa
Ekasila dan Mautapaga iu, sudah diresmikan pemakaiannya oleh
Gubernur NTT El Tari, 30 Mei 1973 Setelah terlebih dulu dicoba
dengan pendaratan pesawat kecil MAF berpenumpang 6 orang dan
terbukti lapangan terbang itu "nyaman". Kurang lebih setahun
setelah peresmian, Dirjen Perhubunan Udara Kardono, mencobanya
pula dengan pendaratan Twin Otter milik MNA. Juga hasilnya baik.
Tak berkepala
Berarti lapangan terbang tersebut, tak lagi memerlukan dana
tambahan dari rakyat -- yang selain dipungut dana juga bekerja
bakti dalam pembuatan. Karena bandar udara yang mempercepat
waktu warga Ende bila bepergian jarak jauh misalnya ke Surabaya
dan Kupang, mestinya sudah bisa hidup dari kegiatan
pengusahaannya sendiri. Apalagi ia sudah lumayan ramai didarati
rupa-rupa pesawat berbagai perusahaan penerbangan. Bahkan Dirjen
Kardono telah memutuskan pula sebagai salah satu lapangan
terbang perintis di NTT. Untuk itu sang Dirjen memberi bantuan
peralatan tehnis berupa drainage, SSB dan agregat kecil. Untuk
meningkatkan landasan udara perintis itu, disetujui pula bantuan
Rp 18.875.000 untuk navigasi dan telkom.
Keputusan Bupati tersebut, selain memberatkan masyarakat, juga
terasa agak janggal Apalagi SK-nya (bernomor Ek.
99/1/439/1976) cuma dibuat dalam selembar surat tak resmi
(kertas tak berkepala surat). Tanpa tembusan-tembusan pula. Dan
tatkala hal ini oleh pembantu TEMPO ditanyakan, Bupati Drs. H.J.
Gadi Djou cuma menjawab, "akan dikeluarkan SK resminya". Sedang
mengenai pungutan yang dihidupkan kembali itu Bupati cuma
menjawab: "Apakah lu mau bayar hutang pemerintah?" Tapi tak
jelas hutang apa dan berapa besarnya. Yang terang pungutan
tersebut, meski terbatas kepada para pedagang yang lewat bandar
udara, secara tak langsung akan jadi beban rakyat juga. Juga
pungutan ini, di luar pengetahuan DPRD Tingkat II Ende. Sedang
pada pungutan yang lalu, dalam pelaksanaannya ternyata terjadi
penyimpangan. Misalnya ketentuan bahwa penyumbang tak akan
dipungut biaya pembuatan KTP, dalam praktek masih dipungut Rp
250.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini