Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bawaslu merevisi peraturan tentang jumlah keterwakilan perempuan dalam perekrutan pengawas tingkat provinsi dan kota/kabupaten.
Bawaslu memasukkan klausa agar setiap tahap proses seleksi pengawas mesti memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Minimnya tingkat keterpilihan perempuan menjadi penyelenggara karena saat seleksi Bawaslu sangat bergantung pada perspektif tim seleksi.
JAKARTA — Badan Pengawas Pemilu merevisi peraturan tentang perekrutan pengawas tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Bawaslu memasukkan klausa setiap tahapan proses seleksi pengawas mesti memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Bawaslu Herwyn J.H. Malonda mengatakan, revisi perubahan tentang peraturan keterwakilan perempuan telah masuk tahap harmonisasi dengan undang-undang di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan yang direvisi itu adalah Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2019 tentang perubahan kedua Perbawaslu Nomor 19 Tahun 2017. ”Kami telah mengajukan revisi agar setiap tahap proses seleksi diperhatikan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen,” ujar Herwyn, Jumat, 23 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi terhadap Pasal 5 ayat 3 dalam Perbawaslu Nomor 19 Tahun 2017 diajukan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 92 UU Pemilu mengatur komposisi keanggotaan Bawaslu dari tingkat pusat hingga kota/kabupaten agar memperhatikan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Herwyn mengatakan, regulasi afirmasi atau penegasan keterwakilan 30 persen perempuan di Perbawaslu Nomor 19 Tahun 2017 belum diatur secara rinci. Menurut dia, klausul aturan itu seharusnya ada untuk setiap tahapan proses seleksi anggota Bawaslu dari tingkat provinsi sampai kota/kabupaten. Melalui revisi itu, kata dia, tim seleksi nantinya harus memperhatikan keterwakilan 30 persen perempuan. “Kami ubah agar, di setiap proses tahap, keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen tetap harus diperhatikan.”
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan sambutannya saat meluncurkan aplikasi Elektronik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (e-PPID) Terintegrasi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota di Gedung Bawaslu, Jakarta, 22 September 2022. ANTARA/Reno Esnir
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan keterwakilan perempuan menjadi penyelenggara pemilu memang masih rendah. Hal itu terlihat dari proses seleksi untuk 75 anggota pengawas periode 2022-2027 di 25 provinsi. Adapun perempuan yang terpilih dalam seleksi itu hanya sebelas orang atau 14,67 persen. ”Rendahnya keterwakilan perempuan karena Perbawaslu masih belum kuat mengatur hal tersebut,” ujarnya.
Hurriyah menegaskan, regulasi keterwakilan perempuan saat ini di Perbawaslu sudah seharusnya direvisi. Dari diskusi Puskapol UI dengan tim seleksi anggota Bawaslu provinsi, kata dia, mereka mempunyai kendala payung hukum untuk memberikan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam proses seleksi. Hurriyah mencontohkan, saat tes tertulis, banyak perempuan yang gagal. “Tim seleksi tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengambil langkah afirmasi keterwakilan perempuan,” ujarnya.
Dianggap Tidak Tegas
Hurriyah menilai Bawaslu semestinya mengikuti cara-cara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut dia, lembaga penyelenggara pemilu itu membuat peraturan lebih progresif untuk mengakomodasi keterwakilan perempuan. Di Peraturan KPU soal seleksi penyelenggara dari tingkat provinsi hingga kota/kabupaten itu, kata dia, keterwakilan perempuan di setiap tahap diberi kesempatan afirmasi 30 persen. Hurriyah mencontohkan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2020 tentang perubahan kelima PKPU Nomor 7 Tahun 2018 tentang seleksi anggota KPU provinsi dan KPU kota/kabupaten.
Dalam regulasi tersebut, KPU masih memberi ruang kepada dua calon anggota perempuan tingkat provinsi yang tidak memenuhi nilai ambang batas dalam tes tertulis untuk melanjutkan tahap berikutnya. Dalam aturan itu, calon anggota perempuan yang mempunyai nilai tertinggi pertama dan kedua akan diloloskan ke tahap seleksi selanjutnya.
"Akan tetapi di Perbawaslu, tim seleksi tidak bisa meloloskannya karena tidak ada payung hukumnya,” ucap Hurriyah. Di sisi lain, kata dia, komisioner Bawaslu juga tidak tegas dalam menyampaikan kepada tim seleksi untuk mengambil langkah afirmatif tersebut. Akibatnya, semua proses tahapan perekrutan sepenuhnya diserahkan kepada tim seleksi. “Kami lihat komisioner cuma pernyataan tanpa ada upaya tegas agar tim seleksi memperhatikan keterwakilan perempuan.”
Hurriyah menyesalkan angka keterwakilan perempuan untuk menjadi penyelenggara pemilu masih rendah. Berdasarkan catatan Puskapol, jumlah komisioner Bawaslu pusat periode 2017-2022 yang mewakili perempuan hanya 20 persen atau satu dari lima komisioner.
Adapun komposisi komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023 adalah 150 laki-laki (79,8 persen) dan 38 perempuan (20,2 persen). Lalu komposisi komisioner Bawaslu kabupaten/kota periode 2018-2023 adalah 1.599 laki-laki (83,5 persen) dan 315 perempuan (16,5 persen). “Semakin sedikit perempuan dalam lembaga pemilu, semakin sedikit juga keterwakilan politik perempuan dan semakin sedikit isu pemilu inklusif, baik dari kelompok pemilih difabel maupun kelompok rentan nanti juga akan semakin terabaikan.”
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Khoirunnisa Nur Agustyanti, juga menyesalkan menurunnya tingkat keterwakilan perempuan menjadi anggota pengawas di 25 provinsi yang baru terpilih. Padahal isu tersebut sudah didorong sejak lama. “Di setiap tahapan seleksi selalu diingatkan untuk mengupayakan 30 persen keterwakilan perempuan,” ucapnya.
Menurut dia, minimnya tingkat keterpilihan perempuan menjadi penyelenggara karena saat seleksi Bawaslu sangat bergantung pada perspektif tim seleksi. Padahal, kata dia, regulasi yang kuat tentu bisa mengikat kerja tim seleksi untuk memenuhi ketentuan 30 persen di setiap tahapan. “Regulasi tidak mengikat karena bahasanya hanya ‘memperhatikan’. Jadi, kata ‘memperhatikan’ itu dianggap sebagai imbauan saja.”
Herwyn mengatakan, dalam proses seleksi saat ini terdapat dua tahapan. Jadi, kata dia, jumlah perempuan yang terpilih masih bisa bertambah. Sebab, proses seleksi kemarin baru memilih tiga dari lima atau tujuh anggota Bawaslu di setiap provinsi. Proses seleksi untuk dua atau empat anggota lainnya Bawaslu provinsi periode 2023-2028 akan dilakukan pada tahun depan. “Proses dua kali seleksi ini konsekuensi setelah revisi UU Pemilu,” ujarnya.
Dalam UU Pemilu Nomor 15 Tahun 2011, kata dia, jumlah komisioner tingkat provinsi awalnya hanya tiga orang. Setelah direvisi, jumlah komisioner di tingkat provinsi ada yang lima atau tujuh orang. Bawaslu telah mengusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat agar proses seleksi digabung menjadi satu, tapi ditolak. “Dalam proses selanjutnya, keterwakilan perempuan akan lebih diperhatikan karena kami juga sedang mengajukan revisi Perbawaslu yang menyangkut soal itu.”
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo