Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bendahara JI di Negeri Orang

Taufik Rifqi, bendahara JI Filipina, dipastikan adalah warga Indonesia. Pemerintah menyiapkan bantuan hukum.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH Abu Mas'ud di Kampung Jogosuran, Kelurahan Danukusuman, Serengan, Solo, Jawa Tengah, "dikepung" wartawan siang-malam. Mereka sudah ngebet bertanya apakah Taufik Rifki, tersangka anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Filipina yang baru tertangkap di sana, memang putra Abu. Tapi pengumuman yang terpasang di kaca jendela rumah keluarga Abu membuat para hamba pers tersedak. "Tidak menerima wawancara. Konferensi pers 3 atau 4 hari lagi," begitu bunyinya. Padahal Taufik sudah mengakui dirinya warga negara Indonesia, dan pemerintah Indonesia pun siap menyediakan dampingan pengacara pada lelaki 29 tahun itu. Sikap membisu Abu bisa dipahami. Sebab, pensiunan pegawai Departemen Agama itu belum yakin betul Taufik yang tertangkap itu memang anaknya yang menghilang sejak enam tahun silam. Di Serengan, satu kerabat Abu bernama Abdurrahman berkata kepada Tempo News Room, Jumat pekan lalu, "Kami belum bisa memberi keterangan karena belum mendapat keterangan resmi dari pemerintah." Namun, Jumat pekan itu pula Taufik, yang dijerat di Guiteres Governor Avenue, San Pablo, Cotabato City, dipastikan berasal dari Solo. Kepastian ini didapat setelah sehari sebelumnya petugas Kedutaan Besar Indonesia di Filipina tiga jam menanyai Taufik. Hasilnya, "Informasi Taufik memberi kesimpulan dia memang berasal dari Indonesia. Namun, tidak ada dokumen, paspor, atau KTP yang menunjukkan dia warga negara kita," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa. Pengakuan Taufik pun klop seperti yang dikemukakan juru bicara Kepolisian Nasional Filipina (PNP), Kolonel Batawil, kepada TEMPO. "Saya orang Indonesia," ujar Taufik seperti ditirukan Batawil. Lahir di Surakarta, 19 Agustus 1974, Taufik anak kedua pasangan Abu Mas'ud dan Qomariyah. Pria bertubuh atletis itu menamatkan Teknik Mesin Program Energi Politeknik Negeri Semarang (dulu Politeknik Universitas Diponegoro). Ia merampungkan studinya (1995) dengan skripsi "Rancang Bangun Pompa Hidrolik Ditinjau dari Pengaruh Pengaturan Pompa Limbah Terhadap Kerja Pompa Hidrolik Rem". Ismin Taukhid menilai tiada yang aneh dalam diri Taufik. "Dia mahasiswa kritis, tapi tak ada yang aneh, termasuk dalam beragama," ujar Direktur Politeknik Negeri Semarang itu kepada Sohirin dari TEMPO. Taufik meninggalkan Solo pada Agustus 1998 bersama 10 kawannya menuju kamp pelatihan militer di Mindanao. Mereka masuk secara ilegal karena tanpa paspor. Di perjalanan, rombongan ini bertemu tujuh kawannya yang lain dengan tujuan sama. Di kamp itu Taufik memakai sejumlah alias, termasuk Izza Kufoman, Omar Kanacan, dan Abu Obadiah. Namun, Batawil punya versi berbeda. Katanya, Taufik direkrut JI pada 1992, dan pada 21 Agustus 2001 menyeberang ke Mindanao bersama 10 anggota JI lainnya. Tujuannya jelas: mengikuti latihan militer di Kamp Karuwa di kawasan Lana Dalsur. "Setelah itu, dia menetap di Mindanao. Ia sempat kuliah di satu perguruan tinggi di kota itu," tutur Batawil. Di Mindanao, menurut Taufik sendiri, ia ikut pendidikan militer bersama sekitar 30 temannya sesama JI. Ia malah dipercaya menjabat bendahara dan pernah menerima transfer dana 15 ribu peso dari anggota JI di Jawa. "Taufik mengakui menerima training senjata dan menggunakan bahan peledak, dan membaca peta," kata Marty. Sejak dibekuk 2 Oktober lalu, Taufik mendekam di Kamp Aquinaldo di Markas Intelijen Filipina di Quezon City. Hingga pekan lalu, ia sudah menandatangani tiga berita acara pemeriksaan, meliputi pelanggaran imigrasi, riwayat hidup, dan dokumen kesehatan. Tampaknya Taufik tidak hanya akan dijerat kasus pelanggaran ketentuan imigrasi. Ini merujuk pernyataan Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo, yang menyebut Taufik sebagai tokoh nomor dua JI di Filipina setelah almarhum Al-Ghozi. Ghozi, yang menjadi instruktur di kamp pelatihan, belum lama ini tertembak aparat Filipina dalam pelarian. Kata Marty, pengakuan Taufik memang bisa membuatnya terjerat pelanggaran hukum lain yang lebih serius dari sekadar pelanggaran keimigrasian. Karena itu, petugas KBRI di Filipina berpesan agar Taufik menolak meneken dokumen apa pun sebelum ada dampingan pengacara atau orang KBRI. "Petugas KBRI di sana sudah menyodorkan nama-nama pengacara untuk mendampinginya," kata Marty. Adi Prasetya, Imron Rosyid (Solo), TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum