Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kenapa Rusa di Monas Dimuliakan?

Gubernur Sutiyoso sebal lantaran ada menteri yang campur tangan urusan penggusuran. Para politikus Banteng khawatir digembosi.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK, saya tidak akan mendukung PDIP lagi," kata seorang warga yang tak mau disebut namanya, ketus. Bantuan bahan kebutuhan pokok dan pengobatan gratis yang diberikan para politikus dari PDI Perjuangan tak cukup menyembuhkan luka hatinya. Ia ingat betul, ketika tenda-tenda di bekas lahan gusuran Tanjung Duren, Jakarta Barat, dibakar dua pekan lalu, "Partai Banteng diam saja, tidak melakukan apa-apa," katanya. Tapi yang dikritik menangkis. Banteng Jakarta justru menyalahkan Gubernur DKI Sutiyoso. Langkah Bang Yos melakukan berbagai aksi penggusuran di Ibu Kota membikin para tokoh partai berkuasa itu gerah. Mereka tak habis pikir, kenapa sang Gubernur seperti hendak menggembosi partai yang telah menyokongnya kembali bercokol memimpin Ibu Kota itu. Bukankah ribuan wong cilik yang menjadi korban penggusuran adalah pendukung mereka? "Beliau jadi gubernur berkat dukungan kami. Ini ibarat pagar makan tanaman," ujar Audi Tambunan, anggota Badan Pemenangan Pemilu PDIP, masygul. Tambunan bukan antipenggusuran. Cuma, ia mengkritik tata cara pemerintah daerah yang kurang arif. Ia lalu mengontraskannya dengan upaya Sutiyoso menangani proyek pertamanan di Monumen Nasional (Monas), yang dijadikan paru-paru di pusat Kota Jakarta. Saat rusa belang putih dari Istana Bogor akan dimasukkan ke taman Monas, belum lama ini, dengan dana miliaran rupiah disiapkan taman dan pagar nan kukuh. Tingkat kebisingan pun diperhitungkan betul agar satwa-satwa itu tidak mengalami stres. "Tapi kok manusia malah dibuldoser begitu aja?" kata Audi. Sejawatnya, Maringan Pangaribuan, bersikap lebih gamblang. Ia memperkirakan, partainya bakal kehilangan sekitar 80 ribu pendukung akibat kebijakan Sutiyoso itu. Dari data di tiap ranting dan cabang PDIP di wilayah yang menjadi korban penggusuran, di Cengkareng, Kampung Sawah Taman Anggrek, Tegal Alur, dan lainnya, itu jelas terekam. Maringan mengklaim, korban gusuran itu merupakan pemilih Banteng pada Pemilu 1999 lalu. Akibat penggusuran, semua dokumen milik mereka ikut lenyap. Warga tercerai-berai. "Gimana mereka akan mendapatkan kartu pemilih? Di mana harus mencoblos?" kata Ketua Fraksi PDIP DKI itu, sengit. Rupanya kegelisahan para pentolan partai di tingkat wilayah itu sampai juga ke telinga Megawati Soekarnoputri. Presiden yang notabene Ketua Umum PDIP itu pun angkat bicara. "Kalau ada tanah kosong dilarang untuk mbangun, begitu ada satu orang yang membangun, mbok ya diberi tahu itu bukan buat membangun rumah. Tapi ini ndak, kan? Sering kali dibiarin saja, karena di situ juga ada duit," katanya saat berpidato di Bali, 9 Oktober lalu. Sutiyoso pun uring-uringan. Ia menampik tudingan tak sedap semacam itu. "Sumpah saya modar kalau nerima uang satu sen juga dari pengusaha," katanya. Ia makin geram ketika para pejabat pusat ambil peran. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno, dan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Siti Nurbaya secara bergilir menyambangi para korban penggusuran di Kali Adem, Pluit, Jakarta Utara. Merasa wibawanya dilecehkan, Sutiyoso pun berang. "Menteri itu jangan terlalu mengintervensi daerahlah. Urusi saja departemennya," katanya dengan muka masam. Urusan gawat ini akhirnya sampai ke Jalan Teuku Umar, rumah tinggal Megawati. Sebaliknya, gubernur kelahiran Semarang itu akhirnya meminta waktu untuk bertemu. Mega langsung merespons. Kamis pekan lalu, Sutiyoso diberi kesempatan berbicara empat mata dengan Megawati seusai menghadiri peresmian lembaga pemasyarakatan khusus narkoba di Cipinang. Saat menghadap, selama setengah jam Sutiyoso menegaskan kembali bahwa tak ada duit yang ikut nyelip di balik penggusuran. Dia juga bercerita panjang-lebar soal pembenahan Jakarta dari ancaman urbanisasi. Kepada sang bos, dia mengaku sengaja membuat keputusan yang tak populer. Sebab, jika tidak, Jakarta akan terus didatangi orang dari daerah secara tidak terkontrol. Sekarang ini, katanya, kepadatan penduduk sudah 14 ribu per kilometer persegi, sehingga jika tidak segera dicegah, tingkat kepadatan bisa benar-benar melebihi kapasitas ruang. "Dampak sosial yang bakal ditimbulkan pun luar biasa," katanya mengisahkan kembali pembicaraannya dengan bos besar. Sutiyoso juga mengingatkan ihwal sasaran penertiban yang tak cuma orang kecil, tapi juga orang-orang kaya. Ia lantas merujuk keputusannya yang "berani" saat menyegel PT Humpuss dan Hotel Mulia karena menunggak pajak. Ia juga pernah menindak puluhan rumah mewah di Kelapa Gading. Yos tak lupa menyinggung gelagat para mafia tanah yang begitu berkuasa menyewakan lahan milik orang lain. "Di Tanjung Duren itu ada satu orang yang punya 60 pintu untuk disewakan," katanya. Rupanya penjelasan itu cukup mengena di hati Presiden. Kabarnya, Mega mengerti dan manggut-manggut. "Malah beliau meminta agar urbanisasi bisa dikendalikan. Beliau pun ngeri," kata Sutiyoso kepada TEMPO beberapa jam setelah pertemuan di Jalan Teuku Umar itu. Sumber orang dekat Presiden menceritakan betapa Mega akhirnya memahami kebijakan Sutiyoso. "Soal kehilangan suara, itu sama sekali tak berarti bagi partai," kata sumber yang kerap menjadi pemikir Teuku Umar itu. Tiga hari sebelumnya, Sutiyoso juga berhasil melunakkan Amien Rais saat bertandang ke Balai Kota. Setelah berdiskusi selama 40 menit, Ketua Partai Amanat Nasional yang juga Ketua MPR itu mengaku dapat memahami persoalan teknis penggusuran yang begitu kompleks. "Jadi, penanganannya harus sabar juga. Selama tidak ada hak asasi manusia yang terlanggar, saya bisa mengerti," kata Amien. Larinya suara Banteng? Sutiyoso tak yakin. Sebab, dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, warga juga cukup lihai mencari simpati. Mereka akan mengibarkan bendera sesuai dengan partai yang tengah berkuasa. Karena itu, dia mewanti-wanti para elite PDIP untuk tidak mudah terkecoh. "Sekarang yang berkuasa itu siapa. Kalau sekarang yang berkuasa kuning, ya, mereka pasang bendera kuning," kata Sutiyoso. Kuning? Sudrajat, Edy Budiyarso, Reni Chairani/TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus